Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama


Bahwa perbedaan suku dan ras berkat adanya agama bukan menjadi penghalang untuk menciptakan hidup persaudaraan yang rukun hal itu sudah terbukti oleh kenyataan yang menggembirakan dan hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Yang menjadi masalah disini ialah, apakah perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar umat manusia. Khususnya apakah dalam satu Negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan yang menerima adanya agama yang berbeda-beda bukannya membina dan memperkuat unsur penyebab yang lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan bangsa dan Negara itu.

Bahwa faktor ras itu sendiri terlepas dari agama sudah membuktikan bertambahnya permusuhan dan pencarian jalan keluarnya, dan kesemuannya itu menjadi bahan menarik dalam diskusi ilmiah maupun dalam kalngan kaum politisi, adalah merupakan masalah yang tetap actual yang tidak dijadikan sasaran dari pembicaraan kita sekarang ini. Masalah itu telah menjadi bahan pembicaraan ilmiah dari ilmu biologi dan politik namun demi lebih jernihnya masalah yang kita bicarakan ada satu hal sangat menarik dari kalangan sarjana biologi, perlu kita tampilkan disini. Asumsi yang terkenal itu dan telah mengundang banyak sanggahan yang gigi ialah dari Arthur de Gobineau, dalam karangannya yang menjadi klasik “Essai sur I’negalite des races humaines, tahun 1853-1855. Asumsi itu pada intinya menyatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras tertinggi bangsa manusia, dan bahwa ras itu dipanggil untuk membawakan obor kemajuan di dunia ini dan bahwa ras yang bukan kulit putih ditakdirkan untuk tidak dapat menhasilkan sesuatu yang yang berarti dalam bidang kemajuan.

Kesombongan rasial itu bertumbuh mencapai klimaksnya dalam pendirian bangsa Jerman bahwa bangsa itu merupakan “manusia super”, yang mendapat tugas di dunia ini dari kekuasaan ilahi, untuk menghancurkan jenis ras yang lebih rendah. Patut disayangkan bahwa ilusi congkak itu telah diwujudkan oleh regim Hitler dalam pembunuhan kejam terhadap jutaan manusia dari suku bangsa Yahudi. Namun dalam keseluruhan perbuatan anti rasial yang tak mengenal perikemanusiaan itu tidak ditemkan unsurperbedaan agama sebagai dasar pertimbangannya. Kebenaran asumsi akan lebih penuh bagi sekelompok bangsa yang berpendirian bahwa setiap bangsa mempunyai agamanya sendiri.Misalnya; agama Islam untuk bangsa arab, agama hindu dan budha untuk India, agama jawa untuk bangsa jawa.

Contoh lain yang memperkuat pendirian mengenai situasi konfliktual atas dasar perbedaan agama dan ras bersama-sama, dapat dilihat dalam wilayah Negara Indonesia tersendiri. Suku bangsa aceh yang beragama islam dan suku bangsa batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konfik fisik (sering terjadi) yang merugikan ketentraman dan keamanan. Demikian pula suku Flores yang beragam katolik dan suku bali yang memeluk agama hindu-bali hidup dalam jarak sosial yang kurang lancer. Masalah suku dan agama yang merupakan bagian dari apa yang disebut “SARA’’ itu belum ditangani oleh penelitian sosiologis. Yang perlu dicari jawaban ilmiahnya ialah soal sejauh mana perbedaan suku dan agama merupakan penghambat kesatuan nasional yang kuat.



Post a Comment