Ukuran-Ukuran Sosiologi Terhadap Masalah Sosial


Didalam menentukan apakah suatu masalah-masalah problema sosial atau tidak, sosiologi menggunakan beberapa pokok persoalan sebagai ukuran, yaitu sebagai berikut :
a.      Kriteria Utama
Suatu maslah sosial, yaitu tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial.  Unsur-unsur yang pertama dan pokok masalah sosial adalah adanya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dengan kondisi-kondisi nyata hidupnya. Artinya, adanya kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang terjadi dalam kenyataan pergaulan hidup.
b.      Sumber-Sumber Sosial dan Masalah Sosial
Pernyataan tersebut diatas sering kali diartikan secara sempit, yaitu masAlah sosial merupakan persoalan-persoalan yang timbul secara langsung dari atau bersumber langsung pada kondisi-kondisi maupun proses-proses sosial. Jadi, sebab-sebab  terpenting maslah sosial haruslah bersifat sosial. Ukurannya tidaklah semata-mata pada perwujudannya yang bersifat sosial, tetapi juga sumbernya. Berdasarkan jalan pikiran yang demikian, kejadian-kejadian yang tidak bersumber pada perbuatan manusia bukanlah mer upakan maslah sosial.
c.       Pihak-Pihak  yang Menetapkan Apakah suatu Kepincangan Merupakan Masalah Sosial atau Tidak.
Dalam hal ini para sosiologi harus mempunyai hipotesis sendiri untuk kemudian diujikan pada kenyataan-kenyataan yang ada. Sikap masyarakat itu sendirilah yang menentukan apakah suatu gejala merupakan suatu maslah sosial atau tidak.
d.      Perhatian Masyarakat dan Masalah Sosial
Suatu masalah yang merupakan manifest social problem adalah kepincangan-kepincangan yang menurut keyakinan masyarakat dapat diperbaiki, dibatasi atau bahkan dihilangkan. Lain halnya dengan latent social problem yang sulit diatasi karena walaupun masyarakat tidak menyukainya, masyarkat tidak berdaya untuk mengatasinya. Di dalam mengatasi maslah tersebut, sosilogi seharusnya berpegang pada perbedaan kedua macam masalah tersebut yang didasarkan pada sistem nilai-nilai masyarakat; sosiologi seharusnya mendorong masyarakat untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan yang diterimanya sbagai gejala abnormal yang mungkin dihilangkan atau diatasi.

Masalah Sosial, Batasan dan Pengertian

Masalah sosial menyangkut nilai-nilai  sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan karena menyangkut tata kelakuan yang inmoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak. Oleh sebab itu, maslah-masalah sosial tak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Sosiologi menyangkut teori yang hanya dalam batas tertentu menyangkut nilai-nilai sosial dan moral, yang terpokok adalah aspek ilmiahnya.
Maslah sosial masyarakat menyangkut analisis tentang macam-macam gejala kehidupan masyarakat, sedangkan problema sosial meneliti gejala-gejala abnormal masyarakat dengan maksud untuk memperbaiki atau bahkan untuk menghilangkannya. Sosiologi menyelidiki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan masyrakat. Sementara itu, usaha-usaha perbaikannya merupakan bagian dari pekerjaan sosial. Dengan kata lain sosiologi berusaha untuk memahami kekuatan-kekuatan dasar yang berda di belakang tata kelakuan sosial. Pekerjaan sosial berusaha untuk menganggulangi gejala-gejala abnormal dalam masyarakat, atau untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau, menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial. Dalam keadaan normal terdapat integrasi serta keadaan yang sesuai pada hubungan-hubungan antar unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat. Apabila antar unsur-unsur tersebut terjadi bentrokan, maka hubungan-hubungan sosial akan terganggu sehingga mungkin terjadi kegoyahan dalam kehidupan kelompok.
Perumusan masalah sosial tidak begitu sukar, daripada usaha-usaha untuk membuat suatu indeks yang memberi petunjuk akan adanya masalah sosial tersebut. Para sosiologi telah banyak mengusahakan adanya indeks-indeks tersebut seperti misalnya indeks simple rates , yaitu angka laju gejala-gejala abnormal dalam masyarakat, angka-angka bunuh diri, perceraian, kejahatan anak-anak, dan seterusnya. Sering kali juga diusahakan sistem composite indices,  yaitu gabungan indeks-indeks dari bermacam-macam aspek yang mempunyai kaitan satu sama lainnya contohnya angka bunuh diri di hungkan dengan tingkat kemiskinan yang menjadi faktor melakukan tindakan tersebut. Namun demikian, ada beberapa ukuran umum yang dapat dipakai sebagai ukuran terjadinya suatu disorganisasi dalam masyarakat umpamanya adanya keresahan sosial. Karena terjadinya pertentangan antara golongan-golongan dalam masyarakat, frekuensi penemuan baru yang fundamental dalam kebudayaan dan masyarakat tersebut juga menyebabkan perubahan-perubahan.

Faktor Pendrorong Menjadi Waria

Faktor Intern

Faktor ini berasal dari dalam diri seseorang yang merasa dirinya mempunyai jiwa perempuan namun berada di dalam tubuh lelaki. Waria jenis ini memang kebanyakan dari waria yang ada, dimana mereka merasa tidak sesuai dan merasa ada yang mengganjal dalam diri mereka ketika mereka berperan menjadi lelaki.

Hal ilmiah yang menjelaskan fenomena adalah adanya kelaianan secara hoemonal dan kromosom, ini karena terjadi mutasi gen dimana model gen lelaki seharusnya XYY, namun kerena terjadi mutasi, gen wanita (Y) lebih mendominasi, sehingga pada lelaki tersebut mempunyai model gen XXY, maka muncullah kelainan kelainan seperti laki laki yang timbul buah dadanya, dan juga lelaki yang bernaluri seperti perempuan.

Jika mengutip isi dari kitab Fathul Bari di atas. Faktor ini seperti inilah yang islam memperbolehkannya, intinya adalah tidak adanya keterpaksaan dari awal dia menentukan dirinya menjadi waria.

seperti mami Vinolia Wakijo, waria yang menjadi ketua kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta). mengaku awal awal dirinya menjadi waria adalah karena dalam dirinya memang mempunyai jiwa wanita, namun tubuhnya lelaki.
Faktor Ekstern

Sedangkan faktor eksten dibagi menjadi 5 faktor :

b.1. Tuntutan Keluarga

Seorang yang sejak kecil sudah dibentuk menjadi karakter yang seperti lawan jenis oleh kedua orang tuanya, akan menjadikan dirinya menjadi waria, hal tersebut bisa dipicu oleh keinginan orang tuanya untuk memiliki anak dengan kelamin yang mereka inginkan.

Seperti Waria Mentul yang mengaku sejak kecil dia sudah dibentuk menjadi karakter seperti perempuan oleh kedua orang tua. Dia juga menyatakan bahwa hal tersebut dipicu oleh keinginan orang tuanya untuk memiliki anak perempuan.

b.2. Faktor Ekonomi

Sebagai masalah klasik ekonomi memegang peranan penting dalam pembeniukan karakteristik seseorang, orang akan melakukan apapun untuk memmenuhi kebutuhan ekonominya, tidak terkecuali ketika tuntutan kebutuhan yang meningkat, dan lapangan pekerjaan tidak memadai. Seseorang akan memilih jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan dengan cara yang mudah dan cepat.

Sifat waria ini biasanya hanya unutk mendapatakan uang semata (kepura-puraan), namun hal ini malah menjerat mereka menjadi keblabasan. Cara unutk memenuhi kebutuhannya pun beragam, ada yang menjadi pengamen, penari, pelaku hiburan, hingga pekerja seks komersial(PSK).

Seperti Hendra Gunawan alias indah. Waria taman lawang berusia 26 ini sudah menjadi waria sejak 3 tahun yang lalu, Indah mengaku alasanya merubah jati dirinya adalah karena keterbatasan ekonomi.

b.3. Traumatis

Faktor ini terjadi di masa lalu sesorang yang tidak bisa dilupakanya, sehingga ia merasa nyaman saat menjadi waria, sebagai cara yang bisa membuatnya lupa (pelampiasan), penyebab trauma ini biasanya berupa perlakuan tidak senonoh seperti tindak asusila, disakit, dihianati oleh lawan jenisnya.

Seseorang dengan trauma karena tindak asusila merasa dirinya sudah ternoda, atau dalam istilah lain sesorang merasa merasa sudah kepalang tanggung maka dari itu mereka mencari pelampiasan dengan merubah penampilan, dan saat merubah penampilan itulah dia merasa nyaman.

Seperti chacha, sejatinya dia sudah tunangan dan ada rencana menikah, namun, pacarnya main serong dan hamil oleh orangg lain. Chacha pun frustasi dan trauma menjalin cinta dengan perempuan sehingga dia kenal dengan dunia waria.

b.4. Faktor Lingkungan

Masyarakat di sekitar Tempat tinggal seseorang mempunyai peran yang cukup signifikan dalam pembentukan karakter sesorang.

Seorang laki laki yang dari kecil tinggal dikawasan lokalisasi atau, salon waria, atau berteman dengan perempuan dan bermain mainan perempuan menjadikan dirinya cenderung menumbuhkan sikap feminim, inilah benih benih waria dalam diri lelaki.

Selain itu terlalu ketatnya aturan atau norma yang berlaku menyebabkan sesorang mempunyai orientasi sex yang menyimpang.

Seperti Anwar yang merubah namanya menjadi bela karena statusnya menjadi waria, ia menjadi waria karena lingkungan tempat tinggalnya yang banyak tinggal waria. Dan orang tuanya sebagai penata rias di salon membolehakn bela berinteraksi tanpa batas dengan waria.

b.5. Faktor Budaya

Praktek waria sejatinya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu berawal dari cerita paling terknal di zaman nabi Luth, kemudian seorang raja Romawi Julius Caesar, (Alezander the great) Raja Macedonia yang juga mempunyai kepribadian ganda , seorang waria.

Sedangkan di indonesia sendiri praktek waria ada bahkan di daerah yang terkesan agamis. Daerah pertama yangg mempunyai budaya waria adalah Aceh. Ada sebuah tarian di Aceh yang di sebut tarian roteb sadati, seorang anak laki laki dandani mirip dengan perempuan.

Lebih parah di daerah Ponorogo. Ada sebuah budaya berbau mistis yang menjadikan seorang lelaki muda sebagai budak sex seseorang untuk mencapai kesaktiannya. Budaya ini terkenal dengan istilah warok.


Tahapan Menjadi Waria

Psikolog Amerika Robert Epstein (2006) melakukan peneliian dengan 18.000 relawan di 12 negara sebagai pengisi kuesioner , hasilnya adalah kurang dari 10 % orang orang murni sebagai heteroseksual ataupun homoseksual. Sedangkan sisanya yaitu 90% adalah biseksual atau penyuka semuanya[5]. Inilah bisa menjadi modal utama orang orang mempunyai penyimpangan suksual. Perlu diketahui bahhwa orientasi seksual manusia dibagi menjadi 3 yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual.

Dari hasil pengamatan penyusun, sebelum menjadi waria seseorang akan menyadari ada yang salah dengan dirinya. Dia tidak merasa nyaman dengan dirinya sendiri sebagai laki laki jika perempuan dan perempuan jika laki laki.

Kemudian ketika dia bersama dengan teman lawan jenisnya dengan segala pernak pernik lawan jenisnya, dia merasa nyaman. Berawal dari coba coba yang kemudian mulai mengubah penampilanya menjadi seperti lawan jenisnya. Selain itu, orientasi cinta dan sexnya mulai berubah. Pada tahapan ini seorang menjadi homosexual, baik itu gay ataupun lesbian.

Namun dalam Islam, fenomena waria dibagi menjadi 2, yaitu: Jenis pertama adalah yang golongan yang diciptakan dalam keaadaan seperti itu, dan dia tidak memberat-beratkan dirinya untuk berakhlaq dengan akhlaq wanita, berhias, bicara dan bergerak seperti gerakan wanita. Bahkan hal tersebut merupakan kodrat yang Allah ciptakan atasnya, maka yang seperti ini tidak ada ejekan, celaan, dosa dan hukuman baginya karena sesungguhnya dia diberi udzur karena dia tidak membuat-buat hal tersebut.

Ketika dilahirkan, waria ini kebanyakan memiliki kelamin ganda, sehingga penentuannya dapat dilihat saat pertama kali dia mengeluarkan air kencing, namun jika air kencing ini tidak keluar atau keluar pada 2 alat kelaminnya, maka kebiasaanlah yang menentukan.

Jenis kedua dari Al-Mukhonats yaitu yang kodratnya tidak seperti itu, bahkan dia berusaha berakhlak, bergerak, bertabiat dan berbicara seperti wanita dan juga berhias dengan cara wanita berhias.dalam islam ini dilarang dan merupakan hal yang menyalahi kodrat ilahi.

Memang tahapan waria selalu mengalami kendala dan penolakan baik dari jenis yang pertama maupun yang kedua. Penolakan masyarakat pada waria selama ini bukan saja karena penampilan fisiknya yang “aneh” tapi terlebih lagi karena perilaku seksualnya yang dianggap menyimpang. Mereka dianggap sebagai pendosa atau orang yang dikutuk Tuhan karena tertarik dengan sesama jenis (homoseks).

Namun dorongan dari diri sendiri yang kuatlah yang menjadikan waria bisa bertahan, meski tak jarang waria kembali menjadi laki laki tulen dan memadu kasih dengan lawan jenisnya.


Pengertian Waria


Allah menciptakan manusia hanya 2 jenis, yaitu wanita dan pria. Dan pada hakikatnya memang hanya ada dua kecenderungan itu. Bagaimanapun , Wanita adalah sesorang yang memiliki organ reproduksi berupa vagina dan rahim, untuk mengandung, melahirkan dan menyusui, yang tidak bisa dilakukan oleh pria, ini yang disebut dengan tugas perempuan/wanita/ibu.

Pria adalah lawan jenis dari wanita. Yaitu sesorang yang memproduksi sperma dan memiliki alat reproduksi berupa penis.

Sedangkan Waria (portmanteau dari wanita–pria) atau wadam (dari hawa–adam) adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme.

Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan biologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksualitas), maupun akibat pengondisian lingkungan pergaulan.

Bastaman dkk (2004:168) mengatakan bahwa transsexual yaitu keinginan untuk hidup dan diterima sebagai anggota kelompok lawan jenis, biasanya disertai dengan rasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan jenis kelamin, dan menginginkan untuk membedah jenis kelamin serta menjalani terapi hormonal agar tubuhnya sepadan dengan jenis kelamin yang diinginkan. Kartono (1989:226) mengatakan bahwa transsexual ialah gejala merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya[3].

Koeswinarno (2005:12) mengatakan bahwa seorang transsexual secara psikis merasa dirinya tidak cocok dengan alat kelamin fisiknya sehingga mereka memakai pakaian atau atribut lain dari jenis kelamin yang lain[4].

Dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalan mengatakan bahwa waria atau dalam bahassa arab di sebut Al-Mukhonats adalah laki-laki yang menyerupai wanita dalam gerakan, gaya bicara dan lain sebagainya, yang bisa dari bawaan lahir maupun kehendaknya sendiri.

Disinggung diatas bahwa ada 2 jenis gender sama saja meniadakan waria, hal ini dikarenakan waria sejatinya wanita, soul atau jiwa mereka manjadi wanita, namun kemasannya yang laki-laki inilah yang kemudian masyarakat menganggap sebagai masalah sosial.

Jadi waria adalah seorang laki laki ataupun wanita yang mempunyai kecenderungan untuk menjadi lawan jenis dengan mengubah dirinya menjadi sosok lawan jenis dan meninggalkan atribut dirinya yang asli.