Hukum melakukan operasi plastik dengan tujuan untuk memperbaiki cacat yang dibawa sejak lahir (al-’uyub al-khalqiyyah) seperti bibir sumbing, atau cacat yang datang kemudian (al-’uyub at-thari`ah) akibat kecelakaan, kebakaran, atau semisalnya, seperti wajah yang rusak akibat kebakaran/kecelakaan, maka dapat dikategorikan sebagai mubah atau dibolehkan melakukan operasi tersebut.
Dalam ushul fikih, cacat atau akibat kecelakaan dapat dikategorikan sebagai mudharat atau disebut kemudaratan. Kemudaratan mengakibatkan ketidakbaikan yang akhirnya membuat orang yang mengalami kemudaratan ini tidak merasa nyaman beragama. Oleh karena itu, Islam memang bukan agama yang memudah-mudahkan sesuatu, tetapi bukan pula agama yang mempersulit. Kemudaratan mesti dihilangkan atau setidaknya menguranginya melalui operasi plastik.
Bolehnya menghilangkan kemudaratan berupa cacat sejak lahir atau cacat akibat kecelakaan adalah berdasarkan kaidah fikih yang berbunyi:
يزال الضرر
Artinya: Kemudaratan itu mesti dihilangkan”,
Sehingga operasi plastik pun legal dilakukan dengan ketentuan sesuai dengan tujuan yang disebutkan. Selain itu, bolehnya melakukan operasi plastik adalah berdasarkan keumuman (‘amm) dalil yang menganjurkan untuk berobat (at-tadawiy). Nabi SAW bersabda:
شفآء إ له أنزل لا دآء هالل مأأنزل
Artinya: Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah menurunkan pula obatnya. (HR Bukhari).[10]
Dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda pula:
شفآء له وضع إلا داء يصنع لم الله فإنّ تداوَوْ الله يآعباد
Artinya: Wahai hamba-hamba Allah berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan satu penyakit, kecuali menurunkan pula obatnya.” (HR Tirmidzi).[11]
Dalam ushul fikih disebutkan bahwa selama tidak ada dalil yang mengkhususkan dalil umum, maka selama itu pula dalil umum dapat diamalkan. Hadis di atas dipandang sebagai hadis yang umum, dan dapat diamalkan atau dapat dijadikan hujjah, karena tidak ditemukan adanya dalil yang mengkhususkannya.[12]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa operasi plastik dengan tujuan untuk kecantikan hukumnya haram dan apabila dilakukan untuk memperbaiki cacat yang dibawa sejak lahir seperti bibir sumbing, kaki pincang dan sebagainya atau memperbaiki cacat akibat kecelakaan, maka hukumnya mubah (boleh) sepanjang tidak ada ketentuan agama yang dilanggar.
[10]Hadits nomor 5246 dalam Program kutubuttis’ah.
[11]Hadits nomor 1961 dalam Program kutubuttis’ah.
[12] Bustanul Arifin, dan M. Atho Mudzar, Permasalahan Fiqih Kontemporer dalam Keluarga Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2002. H. 18