|
Positif dan Negatif Pluralisme |
Pluralisme, yang belakangan menjadi wacana paling hangat dikalangan umat beragama, menyusul fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang paham ini, memang masih dipahami masyarakat secara beragam (plural) pula. Ya, terjadi pluralisme dalam memahami pluralisme. Bagaimana solusi untuk mengatasi beda pemahaman ini?
Melihat praktik pluralisme yang dikembangkan sejumlah ormas dan partai Islam beserta tokoh-tokoh muslim di dalamnya, dan melihat fatwa MUI yang melarang faham keberagaman, tentu menimbulkan prasangka: ada apa di balik semua ini? Mengapa fatwa itu datang tanpa ada sebab yang memadai, terkecuali fatwa tentangliberalisme yang dapat dikaitkan dengan Jaringan Islam Liberal. Kelompok progresif-liberal yang dipimpin pemikir muda Ulil Abshar Abdala itu belakangan dianggap makin ”menggelisahkan” sebagian kaum muslimin di Indonesia.
Dalam forum Munas Ke-7 di Jakarta, yang berakhir 29 Juli lalu, MUI mengeluarkan 11 fatwa. Salah satunya menyatakan bahwa pluralisme, sekularisme,dan liberalisme bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, ada tiga fatwa lain yang berkaitan dengan kehidupan beragama di Tanah Air.
Pertama, fatwa bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antara orang-orang yang berbeda agama. Ketiga, doa bersama yang dilakukan orang-orang Islam dan nonmuslim tidak dikenal dalam Islam, dan itu termasuk bid’ah. Haram hukumnya apabila orang muslim dan nonmuslim melakukan berdoa bersama secara serentak.
Berbeda dari fatwa lain yang disikapi hampir seragam, misalnya ajaranAhmadiyah yang dinyatakan berada di luar Islam dan sesat, sikap umat Islam terhadap fatwa (terutama) plularisme ini disikapi secara beragam. Sebagian ulama atau tokoh Islam yang lain menyebutnya sebagai ”fatwa kontroversial”. Sebab implikasinya sangat luas di tengah masyarakat yang memiliki beragam pola pikir dan pemahaman mengenai agama.
Sejumlah tokoh agama seperti Dawam Rahardjo, Uli Abshar Abdala, dan Djohan Effendi segera menemui Ketua Umum Dewan Syuro PKB KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur yang dikenal sebagai pluralis langsung menentang keras fatwa tersebut. ”Indonesia bukan negara yang didasari satu agama tertentu. MUI juga bukan institusi yang berhak menentukan apakah sesuatu hal itu benar atau salah,” kata dia.
Pluralisme, menurut Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, justru merupakan dasar hubungan antar umat beragama di Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk. ”Ini bisa merisaukan suasana yang kondusif bagi penciptaan kerukunan hidup beragama. Sebab masyarakat kita tidak tahu apa yang dimaksud dengan pluralisme oleh MUI,” tegas Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam konteks berprasangka baik (husnudz dzon), barangkali memang ada pemahaman berbeda di antara elite MUI dan sebagian ulama tentang artipluralisme itu sendiri. Bahkan, perbedaan pemahaman itu juga muncul di kalangan nonmuslim. Di kalangan umat Nasrani, sosok pluralis makin langka sepeninggal Pendeta Dr Th Sumartana dan Romo Mangun (YB Mangunwijaya).
Azyumardi pun menduga ada beda pemahaman mengenai pluralisme,sekularisme, serta liberalisme antara wacana akademik (termasuk sebagian pemikir Islam) dengan cara pandang MUI. Misalnya, liberalisme yang diharamkan MUI yaitu pemikiran yang menggunakan pikiran manusia secara bebas (bukan pemikiran yang berlandaskan pada agama).
Sekularisme yang diharamkan adalah paham yang mengangap agama sekadar mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, sementara hablu minan naas tak bisa diatur agama. Kemudian pluralisme yang diharamkan adalah pandangan bahwa semua agama sama, relatif, dan tak boleh mengklaim agamanya itu sebagai satu-satunya jalan kebenaran.
Di sisi lain, sebagian tokoh Islam melihat pluralisme ini dari sudut pandang yang berbeda. Karena itu, sangat penting bagi masing-masing pihak untuk duduk bersama guna menyamakan persepsi mengenai pluralisme. Namun hingga sepekan setelah fatwa itu diumumkan ke publik, belum ada upaya dialog antara tokoh-tokoh agama dan MUI dan pemerintah untuk mencairkan kebekuan ini.
Sikap ini akhirnya diambil oleh Gus Dur yang langsung mendatangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana. Isu utamanya tak lain menyoal fatwa MUI, baik mengenai ajaran Ahmadiyah maupun pluralisme, sekularisme, danliberalisme. Sedangkan Wapres Jusuf Kalla hanya meminta para ulama memberi pemahaman dan pencerahan kepada masyarakat tentang bagaimana cara menyikapi perbedaan pandangan ini.
Ya, pluralisme masih sering dipahami secara keliru. Yang seringkali terjadi adalah pandangan bahwa semua agama yang berbeda itu sebagai sebuah kesamaan. Sebagian pluralis, antara lain M Syafi’i Anwar, menilai paham ini ”hanya” sekadar mengakui keberagaman orang lain, termasuk dalam beragama, tapi tidak harus setuju.
Sikap seorang pluralis itu tidak serta merta diterjemahkan sebagai toleran(tolerant) terhadap ajaran dan pemeluk agama lain, melainkan sekadar penghormatan(respect). Dalam konteks kebangsaan, atau keindonesiaan, sikap saling menghormati menjadi wacana yang amat penting di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Bahkan, keberagaman menjadi bagian paling fundamental serta inhern dengan hak asasi manusia, apalagi dalam kehidupan modern, hampir tidak ada kelompok masyarakat yang anggotanya homogen. Meski dalam kelompok kecil, mereka selalu terdiri atas masyarakat yang majemuk, baik mengenai suku, bahasa, warna kulit, agama, atau sebagainya.
Keberagaman merupakan hukum Allah (sunatullah) yang siapa pun tidak bisa menolaknya. Banyak faktor yang bisa dikemukakan mengenai kemajemukan umat manusia. Ibnu Khaldun pernah menganalisa kemajemukan manusia dari pengaruh alam dan cuaca, dengan membaginya dalam berbagai zona.
Dalam seminar ”Agama dan Masyarakat” yang digelar UKSW Salatiga (1997), cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat menggambarkan pluralismedengan sangat menarik. ”Kita ini berada dalam satu ruang yang sempit, dalam ‘perahu’ yang satu, dalam planet bumi yang satu, bahkan dalam bilik yang satu, yaitu Indonesia. Kalau kita berantem, ya lemari hancur, komputer hancur, dan sebagainya”.
Di negara Barat, tokoh pluralis bahkan menggunakan kalimat lebih ”keras”, untuk menyadarkan arti penting keberagaman. Paul Knitter (1985), misalnya, menganggap semua agama relatif: terbatas, parsial, dan tidak lengkap dalam melihat sesuatu. ”Menganggap agama yang satu lebih baik dari agama lain adalah ofensif, berpandangan sempit,” ujarnya.*
*http://www.suaramerdeka.com/harian/10/01/11/nas12.htm