Tokoh-Tokoh Ahli Sufi

Ibn Arabi

Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah ath-Tha’i al Haitami. Beliau lahir pada tahun 560 H. (1163 M) di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol. Dari keluarga yang berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal disana pada tahun 638 H.

Pada usia delapan tahun yaitu tahun 568 H / 1172 M Ibnu ‘Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat menuju kota Lisabon. Di kota ini ia menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yang berupa membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari gurunya, Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf. Kemudian ia pindah kekota Sevilla yang waktu itu merupakan pusat para sufi Spanyol, ia tinggal dan menetap disana selama 30 tahun.

Diantara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makkiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan dan kepintarann seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi di persia. Karya lainnya, sebagaimana dilaporkan oleh Muolvi, adalah Masyahid Al-Ashar, Mathali’Al-Anwar Al-Ilahiyyah, Hilyat Al-Abdal, Kimiya’ As-Sa’adat, Muhadharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasail Al-Ilahiyyah, dan beberapa karya lainnya.

Ajaran Tasawuf Ibn ‘Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajarannya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dan mengecam dan mengkritik ajaran sentral tersebut setidak-tidaknya, Ibn Taimiyah yang telah berjasa dalam memopulerkannya ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Khaliq juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk.

Menurut Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Ibn ‘Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam. Menurutnya, alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud sebenarnnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan) Tuhan. Ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu.

Dari konsep wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi, muncul lagi dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud, yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).

Al-Jili

Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Ia adalah seorang sufi yang terkenal di Bagdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M, kemudia belajar tasawuf dibawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal.

Ajaran Tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuha, seperti disebutkan dalam hadist: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”.

sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu.

Sebagai seorang sufi, Al-Jili dengan membawa filsafat Insan Kamil merumuskan beberapan maqam yang ahrus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia disebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkatan itu adalah:

Islam

Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.

Iman

Yakni membenarkan dengan sepennuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat yang lebih tinggi.

Shalah

Yakni dengan maqam ini, seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja. Tujuan ibadah ini adalah mencapai nuqthah ilahiah pada lubuk hati sang hamba.

Ihsan

Yakni maqam ini menunjukkan bahw seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan bberadda di hadapan-Nya.

Syuhada

Seorang sufi dalam tingkatan ini telah mencapai iradah yang mencirikan, mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, menngingat-Nya secara terus menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi.

Shiddiqiyah

Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari ‘ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, sampai haqq al-yaqin.

Qurbah

Tingkatan ini yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.

Imam Ghazali

Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali, secara singkat dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di Bagdad.

Ayah Al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama, dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya bernama Ahmad kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu seraya berkata dalam wasiatnya: “Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis, aku berharap mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua putraku ini). Sang sufi menjalankan isi wasiat itu dengan cara medidik dan mengajar keduanya.

Selanjutnya sufi menitipkan keduanya di madrasah untuk belajar sekaligus menyambung hidup mereka. Di madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan. Imam Al Ghozali termasuk penulis yang tidak terbandingkan lagi, kalau karya imam Al Ghazali diperkirakan mencapai 300 kitab, diantaranya adalah :

Maqhasid al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafah. Tahaful al falasifah (kekacauan pikiran para filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filusuf dengan keras. Miyar al ‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu).

Ihya’ ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat. Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.

Al-ma’arif al-aqliyah (pengetahuan yang nasional). Miskyat al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf. Minhaj al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap tuhan). Al iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam aqidah).

Ajaran tasawuf Al-Ghazali, tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecendrungan yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa dan lain-lainnya. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai kepada makrifat yang membantu menciptakan (Sa’adah).

Rabiyatul Adawiyah

Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.

Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).

Ajaran tasawuf Rabi’ah berdasarkan Mahabbah (Cinta kepada Allah). Sikap dan pandangan Rabi’ah al-‘Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Cinta Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh lebung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan.

Hasan Al-Bashri

Nama lengkapnya Hasan Bin Abil Hasan Al Basri, ia dilahirkan di Madinah pada tahun terakhir dari kekhalifaan Umar bin Khattab pada tahun 21 H. Keluarganya berasal dari misan, suatu desa yang terletak antara basrah dan wasith. Kemudian mereka pindah ke Madinah. Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya secara umum. Ia dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karyanya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.
Ajaran Tasawuf Hasan Basri Abu Nain Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, “ takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan ; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah. “pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sya’rani pernah berkata, “demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri). Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini.
  • Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentran yang menimbulkan perasaan takut.
  • Dunia adalah negeri tempat beramal.barang siapa bertemu dunia dengan perasaanbenci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun,barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya bertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak akan ditanggungnya.”
  • “tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal ataas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun banyakya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat ating dan pergi serta penuh tipuan.”
  • “dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.”
  • “orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut ; takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
  • “hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.”Banyak duka cita didunia memperteguh semangat amal saleh.” 





sumber

Aliran-Aliran Tarekat dalam Islam

Tarekat Qadiriyah

Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, Abd Al-Qadir Jailani, yang terkenal dengan sebutan Syekh’Abd Qadir Al-Jailani atau quthb al-awlia’. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai macam tarekat di dunia Islam.

Tarekat Syadziliyah

Pendirinya yakni Abu Al-Hasan Asy-Syadzili. Selanjutnya, nama tarekat ini dinisbatka kepada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat lainnya. Ia merupakan tariqah yang silsilahnya sambung menyambung sampai kepada Hassan Bin Ali Bin Abi Thalib r.a dan terus sampai kepada Rasulullah saw. Menurut kitab-kitabnya, Tariqah Syaziliyyah tidak meletakkan syarat-syarat yang berat kepada Syeikh tariqah, kecuali mereka harus meninggalkan segala perbuatan maksiat, memelihara segala ibadah-ibadah sunnah semampunya, zikir kepada tuhan sebanyak mungkin, sekurang-kurangnya seribu kali sehari semalam, istighfar sebanyak seratus kali sehari semalam, serta beberapa zikir yang lain. Kitab Syaziliyyah meringkaskan sebanyak dua puluh adab, lima sebelum memulakan zikir. Dua belas dalam mengucapkan zikir dan tiga sudah dzikir.

Tarekat Naqsabandiyah

Didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awasi Al-Bukhari di Turkistan. Tarekat Naqsabandiyah mempunyai dampak dan pengaruh sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Ciri menonjol tarekat Naqsabandiyah adalah: Pertama, mengikuti syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berdzikir di dalam hati. Kedua, uapaya yang serius dalam mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekati negara pada agama.

Tarekat Tijaniyah

Didirikan oleh syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani yang mahir di’Ain Madi, Aljazair Selatan.Al-Tijani diyakini oleh pengikutnya sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi dan memiliki banyak keramatt karena didukung oleh faktor geneologis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya. Bentuk amalan tarekat Tijaniyah. Pertama, Wirid wijabah, yakni wirid-wirid yang wajib diamalkan oleh setiap murid Tijaniyah, kedua, wirid ihktiyariyah, yakni wirid yang tidak mempunyai ketentuan kewajiban untuk diamalkan dan tidak menjadi ukuran sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah.

Tarekat Sammaniyah

Didirikan oleh Muhammad bin’Abd Al-Karim Al-Madani Asy-Syafi’i As-Samman. Sammaniya adalah tarekat yang pertama mendapat pengikut massal di Nusantara. Hal menarik dari tarekat ini yang menjadi ciri khasnya adalah corak wahdat al-wujud yang dianut dan syatahat yang terucap olehnya tidak bertentangan dengan syariat. Syekh Samman adalah seorang sufi yang telah menggabungkan antara syariat dan tarekat.




sumber

Tujuan dan Pokok Thariqah

Tariqah sebagai organisasi para salik dan sufi, pada dasarnya memiliki tujuan yang satu, yaitu Taqarrub(mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Akan tetapi sebagai organisasi, para salik yang kebanyakan diikuti masyarakat awam merupakan para Mubtadi’in,maka dalam tariqah terdapat tujuan-tujuan yang lain yang diharapkan dapat mendukung tercapainya tujuan pertama dan utama tersebut. Sehingga secara garis besar, dalam Tariqah terdapat tiga tujuan yang masing-masing melahirkan tatacara dan jenis-jenis amalan kesufian. Ketiga tujuan pokok tersebut adalah:

Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa)

Ia merupakan satu proses penyucian jiwa yang akan menghasilkan ketenteraman, ketenangan dan rasa dekat dengan Allah Swt, dengan menyucikan hati dari segala kekotoran dan penyakit hati atau penyakit jiwa. Tujuan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang salik atau ahli tariqah. Bahkan dalam tradisi tariqah, Tazkiyatun Nafs ini dianggap sebagai tujuan pokok. Dengan bersihnya jiwa dari berbagai macam penyakit, akan secara langsung menjadikan seseorang dekat kepada Allah Swt.

Zikrullah (Mengingati Dan Menyebut Allah) Adapun jalan atau cara menjalani proses Tazkiyatun Nafs ini adalah dengan Zikrullah (mengingat Allah). Zikrullah merupakan amalan khas yang mesti ada dalam setiap Tariqah.Yang dimaksudkan dengan Zikir dalam sesuatu tariqah adalah mengingati Allah swt dan menyebut nama Allah Swt baik secara Jahar (lisan) atau secara Sirr (rahsia). Di dalam Tariqah, zikrullah diyakini sebagai cara yang paling efektif untuk membersihkan jiwa dari segala macam kekotoran dan penyakit-penyakitnya sehingga hampir semua tariqah menggunakan cara ini. Selain zikrullah, Tazkiyatun Nafs ini juga diperolehi dengan:
  • Mengamalkan Syariat
  • Melaksanakan amalan-amalan sunnah
  • Berperilaku zuhud dan wara’

Taqarrub (Mendekatkan Diri Kepada Allah swt)

Taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah swt merupakan antara tujuan utama para sufi dan ahli tariqah. Ini diupayakan dengan beberapa cara yang tersendiri. Cara-cara tersebut dilaksanakan di samping perlaksanaan dan upaya mengingat Allah (zikir) secara terus-menerus, sehingga sampai tidak sedetik pun seorang salik itu lupa kepada Allah swt. Antara cara yang biasanya dilakukan oleh para pengikut tariqah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan lebih berkesan ialah:

Tawassul & Wasilah

Tawassul dan Wasilah dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah yang biasa dilakukan di dalam tariqah adalah suatu cara (wasilah) agar pendekatan diri kepada Allah swt dapat dilakukan dengan mudah dan ringan. Di antara bentuk-bentuk Tawassul yang biasa dilakukan adalah menghadiahkan bacaan Al-Fatihah kepada Syeikh yang memiliki silsilah tariqah yang diikutinya sejak Nabi Muhammad saw sampai kepada mursyid yang mengajar zikir kepadanya.

Muraqabah (Pengawasan)

Muraqabah ialah duduk bertafakkur atau mengheningkan perbuatan dengan penuh kesungguhan hati, dengan seolah-olah berhadapan dengan Allah swt. Meyakinkan diri bahwa Allah swt senantiasa mengawasi dan memerhatikannya. Sehingga dengan latihan Muraqabah ini, seorang salik memiliki nilai Ihsan yang baik, dan akan dapat merasakan kehadiran Allah swt di mana sahaja dan pada setiap masa. Khalwat & Uzlah (Mengasingkan Diri) Khalwat atau uzlah adalah mengasingkan diri dari hiruk pikuk urusan duniawi. Sebahagian tariqah tidak mengajarkan Khalwat ini dalam keadaan fizikal, karena mengikut golongan ini khalwat cukup dilakukan menerusi kehadiran hati (Khalwat Qalb). Sedangkan sebagian tariqah yang lain, mengajarkan Khalwat atau Uzlah secara fizikal, sebagai pengajaran untuk membawa penuntutnya dapat melakukan Khalwat Qalb. Ajaran tentang khalwat ini dilaksanakan dengan mengambil iktibar dari amalan Rasulullah saw pada menjelang masa pengangkatan kenabiannya. Dalam perlaksanaan Khalwat ini diisi dengan berbagai Mujahadah demi mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam tradisi sebagian tariqah di rantau Nusantara ini, Khalwat ini lebih dikenali dengan Suluk.

Tujuan lain-lainnya

Tariqah sebagai kumpulan yang menghimpunkan para calon sufi atau Salik, yang kebanyakannya terdiri dari masyarakat awam dan kedudukan mereka itu berperingkat Mubtadi’in (permulaan), maka dalam tariqah terdapat amalan-amalan yang menyesuaikan kepada keadaan masyarakat awam. Amalan-amalan tersebut bertujuan mengharapkan sesuatu imbalan ataupun pertolongan dalam melaksanakan tujuan pengamalan tersebut. Kadang kalanya amalan-amalan inilah yang biasanya memenuhi masa ruang para Salik. Di antara amalan-amalan tersebut ialah :

Wirid

Wirid adalah suatu amalan yang harus dilaksanakan secara istiqamah (berterusan), pada waktu-waktu yang khusus seperti setiap selesai mengerjakan sembahyang atau pada waktu-waktu tertentu yang lain. Wirid ini biasanya berupa potongan-potongan ayat, selawat atau pun nama-nama Allah. Perbezaannya dengan zikir adalah kalau zikir itu diijazahkan oleh seorang Mursyid dalam proses Bai’ah atau Talqin atau Hirqah. Sedangkan wirid tidak semestinya harus diijazahkan oleh seorang Mursyid dan tidak diberikan dalam suatu proses perjanjian (bai’at). Sedangkan dari sudut tujuan juga memiliki perbezaan antara keduanya. Zikir hanya dilakukan satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, sedangkan wirid biasa dikerjakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang lain, umpama memohon keberkahan rezeki, pertolongan dan sebagainya.

Ratib

Ratib adalah amalan yang harus diwiridkan oleh para pengamalnya. Tetapi Ratib ini merupakan kumpulan dari beberapa potongan ayat atau surah-surah pendek yang digabungkan dengan bacaan-bacaan lain seperti Istighfar, Tasbih, Selawat, Asmaul Husna, Kalimah Thayyibah dalam suatu jumlah yang telah ditentukan dalam pengamalan yang khusus. Ratib ini biasanya disusun oleh seorang mursyid besardan diberikan secara ijazah kepada para muridnya. Ratib ini juga biasa diamalkan oleh seorang dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan rohani dan merupakan wasilah (perantaraan) dalam doa untuk kepentingan hajat-hajat yang khusus.

Hizib

Hizib adalah suatu doa yang panjang, dengan susunan perkataan dan bahasa yang indah disusun oleh seorang sufi besar. Hizib ini biasanya merupakan doa pelindung bagi seorang sufi yang juga diberikan kepada muridnya secara ijazah. Hizib diyakini oleh kebanyakan masyarakat Islam sebagai amalan yang dimiliki daya yang sangat besar terutama jika diperhadapkan dengan ilmu-ilmu ghaib dan kesaktian.

Manaqib

Manaqib sebenarnya adalah biografi seorang sufi besar atau wali Allah seperti As-Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Syeikh Bahauddin An-Naqsyabandi. Diyakini oleh para pengamal tariqah sebagai mempunyai suatu kekuatan rohani dan barakah. Bacaan Manaqib ini seringkali dijadikan sebagai amalan, terutama untuk mengingati sejarah dan perjuangan para waliyullah dan untuk tujuan terkabulnya segala hajat- hajat yang baik dan khusus.

Secara rumusan, pokok dari semua Tariqah itu ada lima :

Pertama

Mempelajari ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan perlaksanaan segala perintah-perintah syara’.

Kedua

Mendampingi guru-guru dan teman setariqah untuk melihat bagaimana cara melakukan sesuatu ibadah.

Ketiga

Meninggalkan segala Rukhsah dan Ta’wil untuk menjaga dan memelihara kesempurnaan amal.

Keempat

Menjaga dan mempergunakan waktu serta mengisikannya dengan segala wirid dan doa guna kekhusyukan dan kehadiran jiwa.

Kelima

Mengekang diri, jangan sampai keluar melakukan hawa nafsu dan supaya diri itu terjaga daripada kesal.




sumber

Hubungan Tarekat dengan Tasawuf

Di dalam ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.

Di dalam tarekat yang sudah melembaga, tarekat mencakup semua aspek ajaran Islam seperti shalat, puasa, zakat, jihad, haji dan lain-lain, ditambah pengamalan serta seorang syekh. Akan tetapi, semua itu terikat dengan tuntunan dan bimbingan seorang syekh melalui ba’iat.

Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah.



sumber

Pengertian Tarekat

Asal kata ”Tarekat” dalam bahasa Arab ialah “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah “Jalan” yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thoriq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikn mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat iu tidak ditaati terlebih dahulu dengan seksama.
Menurut L. Massignon, sebagaimana dikutip oleh Aboe Bakar Atjeh, thariqah dikalangan sufi mempunyai dua pengertia. Pertama, cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. Kedua, thariqah bberarti suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani dalam segolongan orang Islam menurut ajarann dan keyakinan tertentu.

Sementara menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah, yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Tariqah kemudian mengandung arti organisasi [Tarekat]. Tiap tariqat mempunyai Syekh, upacara ritual, dan bentuk berdzikir sendiri.



sumber

Maqamat dalam Tasawuf

Maqam sering dipahami oleh para sufi sebagai tingkatan, yaitu tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhan nya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.

Menurut Abdurrazaq Al-Qasami, maqam adalah pemenuhan terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Jika seseorang belum memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam suatu maqam, ia tidak boleh naik ke jenjang yang lebih tinggi.

Di kalangan kaum sufi urutan maqam berbeda-beda. Al-Ghazali memberikan urutan maqam seperti berikut: taubat, sabar, syukur, khusuf, raja’, tawakkal, mahabbah dan syauq.

Menurut Ibnu Arabi dalam Al-Futuhat Al-Makiyyah, menyebutkan enam puluh maqam dan berusaha menjelaskan secara rinci tetapi tidak memperdulikan sistematika maqam tersebut.

Tahapan maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri atas taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakkal dan ridha

Taubat

Dalam ajaran tasawuf konsep taubat di kembangkan dan mendapat berbagai macam pengertian. Namun yang membedakan antara taubat dalam syariat biasa dengan maqam taubat dalam tasawuf diperdalam dan dibedakan antara taubatnya orang awam dengan orang khawas. Dalam hal ini dzu al-Nun an-Mishri mengatakan : “Taubatnya orang-orang awam taubat dari dosa-dosa, taubatnya orang khawas taubat dari ghoflah (lalai mengingat tuhan)”. Bagi golongan khowas atau orang yang telah sufi, yang di pandang dosa adalah ghoflah (lalai mengingat tuhan). Ghoflah itulah dosa yang mematikan. Ghoflah adalah sumber munculnya segala dosa. Dengan demikian taubat adalah merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghoflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat tuhan sepanjang masa.

Wara’

Dalam risalah al-qusyairiyah banyak membahas tentang makam wara’ beserta pandangan atau rumusan para sufi tentang hal ini. Wara’ adalah meninggalkan hal yang syubhat: tarku syubhat yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya.

Wara’ itu ada dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Allah. Dan wara’ batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali Allah SWT.

Zuhud

Sesudah maqam wara’ di kuasai mereka baru berusaha mengapai maqam (station) di atasnya, yakni maqam zuhud. Berbeda dengan wara’ yang pada dasarnya merupakan laku menjahui yang syubhat dan setiap yang haram, maka zuhud pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin dan tidak mengutamakan kesenangan duniawi.

Adapun zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasaranya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang apabila bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam tasawuf diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada dasarnya dibedakan zuhud pada tingkat awal (biasa) dan zuhud bagi ajaran sufi.

Fakir

Al-Faqr adalah tiidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.

Sabar

Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah maqam fakir. Karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir orang harus mencapai maqam fakir. Tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam penderitaan dan kepincangan. Oleh karena itu harus melangkah ke maqam sabar.

Tawakal

Tasawuf menjadikann maqam tawakkal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah.

Ridho

Setelah mencapai maqam tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Alloh, meniggalkan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam. Maqam ridho adalah ajaran menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana di katakana imam ghozali, rela menerima apa saja.

Perkembangan Tasawuf Islam

Sebenarnya kehidupan sufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad Saw. Dimana dalam sebuah kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, di sampiing menghabiskan waktunya untuk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai rasul Allah, beliau sering kali melakukan kegiatan sufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah.

Pada Waktu malam beliau sedikit sekali tidur, waktunya dihabislkan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan memperbanyak zikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terbuat dari balai kayu biasa dengan alas tikar dari daun kurma. Beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana daripada hidup bermewah-mewahan. Kehidupan Nabi semacam itu langsung ditiru oleh sahabatnya, Tabi’in dan turun-temurun sampai sekarang.

Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf mejadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai tasawuf salafi, tasawuf Akhlaqi, atau tasawuf Sunni. Tasawuf jenis ini banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf Falsafi. Tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, di samping sebagai sufi.

Pembagian dua jenis tasawuf di atas didasarkan atas kecenderungan ajaran yang dikembangkan, yakni kecenderungan pada perilaku atau moral keagamaan dan kecenderungan pada pemikiran.

Sejarah Perkembangan Tasawuf Salafi (Akhlaqi)

Abad Kesatu dan Kedua Hijriyah

Disebut pula dengan fase asketisme (zuhud). Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Fase asketisme ini tumbuhh pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Pada Fase ini, terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku asketis.

Abad Ketiga Hijriyah

Sejak abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang ketika itu, sehingga di tangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan semua orang. Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur berpikirnya. Pada abad ketiga terlihat perkembangan tasawuf yang pesat, ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka membaginya menjadi 3 macam, yaitu:
  • Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan-kejiwaan manusia kepada Khaliqnya, sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik. Inti tasawuf ini dijadikan dasar teori oleh psikiater zaman sekarang dalamm mengobati pasiennya.
  • Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak, yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang cara berbuat baik serta cara menghindarkan keburukan, yang dilengkapi dengan riwayat dari kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi.
  • Tasawuf yang berintikan metafisika, yaitu di dalamnya, terkandung ajaran yang melukiskan hakikat Ilahi, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-orang yang akan tajalli kepada-Nya.

Abad Keempat Hijriyah

Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan abad ketiga Hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya, kota Bagdad yang hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.
Sistem pengajaran tasawuf yang sering disebut tarekat, diberi nama yang sering dinisbatkan kepada nama penciptanya (gurunya), atau sering pula dinisbatkan kepada lahirnya kegiatan tarekat itu.
Ciri-ciri lain yang terdapat pada abad ini, ditandai dengan semakin kuatnya unsur filsafat yang mempengaruhi corak tasawuf, karena banyaknya buku filsabat yang tersebar dikalangan umat Islam dari hasil terjemahan orang-orang muslim sejak permulaan Dinasti Abbasiyah. Pada abad ini pula mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan ilmu batin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat macam, yaitu:
  • Ilmu Syariah
  • Ilmu Tariqoh
  • Ilmu Haqiqah
  • Ilmu Ma’rifah

Abad Kelima Hijaiyah

Tasawuf pada abad kelima Hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan demikian, abad kelima Hijaiyah merupakan tonggak yang menentukan bagi kejayaan tasawuf salafi (akhlaqi), Pada abad tersebut, tasawuf salafi tersebar luas di kalangan dunia Islam.

Abad Keenam Hijriyah

Sejak abad keenam Hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepriibadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik para muridnya.

Sejarah Perkembangan Tasawuf Salafi

Tasawuf Salafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Di dalam tasawuf filsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis sehingga daalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepakan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosof yang sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam.

Menurut Ibnu khaldun ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain sebagai berikut:
  • Pertama, latihan rohanian dengan rasa, intuisi, serta intropeksi diri yang timbul darinya.
  • Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersikap dari alam ghaib, seperti sifat-sifat rabbani, arsy, malaikat, wahyu, kenabian, roh.
  • Ketiga, peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk keramatan atau keluarbiasaan.
  • Keempat, menciptakan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya dan menyetujuinya. 




sumber

Tujuan Tasawuf

Menurut A. Rivay Siregar secara umum tujuan terpenting dari sufi adalah berada sedekat mungkin dengan Allah. Selain itu tasawuf juga bertujuan untuk mencapai ma’rifat dengan cara Fana. Arti Fana ialah leburnya pribadi pada kebaqaan Allah di mana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa ketuhanan dalam keadaan aman. Ketika itu antara diri dan Allah menjadi satu dalam baqanya tanpa hulul/ berpadu dan tanpa ittihad/bersatu dalam pengertian seolah-olah manusia dan Tuhan sama.
Terjadinya ma’rifatullah sebenarnya didahului oleh proses terbukanya hijab yang membatasi hati mutasawwif dengan Allah. Jika penutup itu hilang atau terbuka maka terjadilah ru’yatullah (melihat Allah) dan alam gaib lainnya dengan mata bathin.

Untuk mencapai ma’rifatullah ada beberapa upaya dalam bertasawuf. Upaya tasawuf dipahami sebagai proses Takhalli, Tahalli dan berujung pada Tajalli.

Takhalli

Adalah upaya keras untuk mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang rendah dan tercela. Menjauhkan diri dari perbuatan dosa besar dan kecil.

Tahalli

Adalah upaya keras menghiasi bathin dengan sifat-sifat terpuji dan mulia, melaksanakan sungguh-sungguh perbuatan yang wajib dan sunnah dalam agama, banyak banyak bertekun dalam ibadan dan zikir baik dengan emosi harap pada ridho Allah dan takut pada hukum dan marah-Nya. Maupun dengan emosi ridho dan mahabbah kepada-Nya.

Tajalli

Sebagai buah dan upaya dari tahalli maka muncullah karunia Tuhan berupa Tajalli. Yaitu menjadi tampak atau muncul penampakan Tuhan dalam pandangan batin mereka yang melakukan takhalli dan tahalli.




sumber

Alur Ajaran Tasawuf

Ajaran tasawuf dibentuk oleh tiga alur pemikiran.
Yang pertama memberikan gagasan berikut kepada tasawuf:
  • Asketisisme gurun Arab
  • Pengabdian total
  • Kecintaan yang kuat kepada Tuhan
  • Ungkapan puitis
Tokoh utama gerakan pertama ini adalah:
  • Abu Dzar AL-Ghifari, Madinah [32 H/625 M]
  • ‘Umar bin Abdul Aziz, Damaskus [101 H/720 M]
  • Al-Hasan Al-Bashri, Basrah [110 H/728 M]
  • Rabi’ah Al-Adawiyah, Basrah [185 H/801 M]
Alur kedua pemikiran yang memberikan sumbangan kepada tasawuf dicirikan oleh:
  • Genosis sebagai pengetahuan pasti
  • Tamsil cahaya/kegelapan
  • Memuji roh dan mengutuk materi
  • Mendukung kehidupan pertapaan daripada kehidupan aktif yang terikat
Tokoh Utama pemikiran ini adalah:
  • Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Bagdad [234 H/837 M]
  • Dzun Nun Al-Mishri, Iskandaria [245 H/ 859 M]
  • Abu Hasyim Al-Kufi, Basrah [160 H/776 M]
Alur atau gerakan ketiga menjelaskan gagasan berikut:
  • Menafikan (Fana’) jasad
  • Meninggikan ruh
  • Anti-dunia
  • Anti-masyarakat
Pendukung utama gerakan ini adalah:
  • Ibrahim bin Al-Adham [Amir dari Balkhi, Khurasan][161H/ 777M]
  • Abdullah bin Mubarak,Marw [181 H/797 M]
  • Syaqiq Al-Bakhi, Balkh [194 H/810 M]
  • Haytam Al-Ashamm, Balkh [237 H/852 M]
  • Abu Yazid Al-Bisthami, Bistham [261 H/875 M] 




sumber

Ciri Umum Tasawuf

Menurut Abu Al-Wafa’Al-Ghanimi At-Taftazani (Peneliti Tasawuf), secara umum tasawuf mempunyai lima ciri umum, yaitu:
  • Peningkatan Moral.
  • Pemenuhan Fana (Sinar) dalam realitas mutlak.
  • Pengetahuan intinuitif langsung.
  • Timbul rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah dalam diri seorang sufi.
  • Penggunaan simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung harfiah dan tersirat.

Tasawuf dalam Pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah

Dalam ajaran Tasawuf, banyak disebutkan dengan istilah at-taubah, khauf, raja’, az-zuhud, at-tawakkal, asy-syukur, ash-shabar, ar-ridho, az-zikir, shalatul lail dan sebagainya. Semua ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. (taqarrub illallah).

Dalil-dalil Al-Qur’an

Berkenaan dengan anjuran shalat malam (Shalatul lail) terdapat dalam QS Al-Isra’ 17:79. Artinya: dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.

Dalil-dalil As-Sunnah

Sama halnya dengan Al-Qur’an, As-sunnah banyak mengungkapkan berkenaan dengan perilaku dan pengalaman tasawuf. Diantaranya adalah sebagai berikut:

Aisyah berkata:

Artinya: “Adalah Nabi Saw bangun sholat malam (Qiyamul-lail), sehingga bengkak kakiknya. Aku berkata kepadanya,’Gerangan apakah sebabnya, wahai utusan Allah, engkau sekuat tenaga melakukan ini, padahal Allah telah berjanji akan mengampuni kesalahanmu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab, ‘Apakah aku tidak akan suka menjadi seorang hamba Allah yang bersyukur’? (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah Saw bersabda:

Artinya: “Demi Allah, aku memohon ampun kepada Allah dalam sehari semalam tak kurang dari tujuh puluh kali”.(HR. Al-Bukhari).

Rasulullah Saw bersabda:

“Zuhudlah terhadap dunia maka Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di tangan orang lain maka mereka akan mencintaimu.”(HR. Ibnu Majah)
Dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa dirinya adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datanganya wahyu. Selama di Gua Hira, Rasulullah hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid.

Kalangan sahabat pun ada yang mengikuti praktik bertasawuf sebagaimana yang dipraktikkan Nabi Muhammad Saw. Abu Bakar Ash-Shiddiq, pernah berkata,”Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, ke fana’an dalam keagungan dan kerendahan hati.” Khalifah Umar Ibn Khattab pernah berkhotbah di hadapan jamaah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sederhana. Khalifah Utsman Ibn Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Al-Qur’an. Baginya, Al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca kemana pun ia pergi.
Uraian dasar-dasar tasawuf diatas, baik Al-Qur’an, Al-Hadist, maupun suri tauladan dari para sahabat, ternyata merupakan benih-benih tasawuf dalam kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan kata lain, ilmu tentang moral dan tingkah laku manusia terhadap rujukannya dalam Al-Qur’an.



sumber

Pengertian Tasawuf & Tasawuf Islam

Secara Lughowi

Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan “ahlu suffah”, yang berarti sekelompok orang pada masa Rasulullah yang hidupnya diisi dengan banyak berdiam diri di Masjid dengan tujuan mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.

Secara Istilah

Pengertian tasawuf secara istilah telah banyak diformulasikan para ahli satu dan lainnya berbeda, sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing.
  • Menurut Al-Juhairi, ketika ditanya tasawuf, ia menjawab: “Masuk ke dalam segala budi (Akhlak) yang mulia dan keluar dari budi pekerti yang rendah”.
  • Menurut Al-Juhairi, Ia memberikan rumusan tentang tasawuf. “Tasawuf ialah kesadaran bahwa yang Hak Allah adalah yang mematikanmu dan menghidupkanmu.
  • Menurut Abu Hamzah. “Tanda seorang sufi yang benar adalah memilih hidup fakir setelah (Sebelumnya hidup) kaya, memilih menghinakan diri setelah (sebelumnya hidup) penuh penghormatan, memilih menyembunyikan diri setelah (sebelumnya hidup) terkenal.
  • Menurut ‘Amir bin Usman Al-Makki. Ia pernah berkata: “Tasawuf adalah melakukan sesuatu yang terbaik di setiap saat.
  • Menurut Muhammad Ali Al-Qassab. “Tasawuf adalah akhlak mulia yang timbul pada waktu mulia dari seorang yang mulia di tengah-tengah kaumnya yang mulia pula.”
  • Menurut Syamnun. Ia mengatakan, “Tasawuf adalah hendaklah engkau memiliki sesuatu dan tidak dimiliki sesuatu”.
  • Menurut Ma’ruf Al-Kurkhi. Ia mengungkapkan, “Tasawuf adalah mengambil hakikat dan tidak berharap terhadap apa yang ada di tangan makhluk.”
  • Menurut Al-Junaidi. Ia mendefinisikan, “Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa saja yang mengganggu perasaan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (Instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua orang, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.” 



sumber

Sejarah Asal Mula Tasawuf

Tasawuf dalam Islam, menurut ahli sejarah, sebagai ilmu yang berdiri sendiri, lahir sekitar abad ke 2 atau awal abad ke 3 Hijriyah. Pembicaraan para ahli tentang lahirnya tasawuf lebih banyak menyoroti faktor-faktor yang mendorong kelahiran tasawuf. Faktor-Faktor tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu:

Faktor Ekstern

  • Tasawuf lahir karena pengaruh dari paham Kristen yang menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri.
  • Tasawuf lahir atas pengaruh nirwana. Menurut ajaran Buddha bahwa seseorang meninggalkan dunia dan melakukann kontemplasi.
  • Tasawuf lahir karena pengaruh ajaran Hinduisme yang medorong manusia meninggalkan dunia dan berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan.

Faktor Intern

Sebagian ahli menekankan faktor intern. Menurut mereka, lahirnya tasawuf Islam dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang ada dalam Islam itu sendiri, bukan pengaruh dari luar. Faktor-faktor intern ditemukan dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, dan perilaku Nabi Muhammad Saw. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah 2:186 Artinya: dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.



sumber