Dampak Perceraian terhadap Mantan Pasangan Suami dan Istri


Menurut Karim, konsekuensi utama yang ditanggung oleh mantan pasangan suami-istri pasca perceraian adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship) (melalui Ihromi, 2004:156).

Goode mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran sebagai suami-istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain adalah perubahan hubungan sosial ketika mereka bukan lagi sebagai pasangan suami-istri. Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk menjadi seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi sebagai mantan suami atau mantan istri (melalui Karim, 2004:156).Krantzler menyatakan perceraian bagi kebanyakan orang dipandang sebagai masa transisi yang penuh kesedihan, artinya masyarakat atau komunitas sekitar ikut berperan sebagai “wasit atau pengadilan” dalam menilai perceraian itu sebagai sesuatu yang “tidak patut” (melalui Karim, 2004:157).Waller menilai pasca perceraian sebagai masa yang kurang dan hilang dalam kehidupan pasangan suami-istri yang bercerai. 

Seseorang pada masa ini dilanda perasaan “ambivalen” antara melihat perceraian sebagai sesuatu yang membahagiakan dan membebaskan dan munculnya rasa sedih mengenang kebersamaan pada masa-masa indah dulu (melalui Karim, 2004:157). Sementara, Scanzoni dan Scanzoni (lewat Karim) menilai setelah perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu menghampiri kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan rasa benci dan ketidaksenangan hidup bersama lagi (melalui 2004:157).

Terdapat dua hal utama yang menjadi fokus pengamatan Goode terhadap pasangan suami istri yang bercerai yaitu perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan sosial di mana mereka bukan lagi sebagai pasangan suami istri serta peran sebagai suami atau istri dan memperoleh peran baru (2004: 165)Mel Krantzler (lewat Ihromi 2004), seorang konsultan masalah perceraian mengamati bahwa perceraian merupakan sebuah masa transisi yang penuh kesedihan. Masa penuh kesedihan atau kedukaan apabila dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat. Apabila masyarakat memandang perceraian sebagai sesuatu yang “tidak patut”, maka dalam proses penyatuan kembali, seseorang akan merasakan beratnya tantangan yang harus dihadapi karena perceraianPerceraian antara pasangan suami-istri menghasilkan dampak lain yaitu masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship), (Goode lewat Ihromi, 2005: 156)

Scanzoni and Scanzoni kemudian membuat sintesa atas konsep-konsep pemikiran Krantzler (lewat Ihroni 2004: 157) dalam tulisan “creative Divorce”. Menurut Kranztler perceraian memberikan peluang kepada seseorang untuk memperoleh pengalaman-pengalaman serta kreativitas baru guna mengisi kehidupan menjadi lebih baik dan menyenangkan dari sebelumnya. Krantzler berpendapat bahwa perceraian tidak harus diartikan sebagai kegagalan yang membawa kesedihan bagi seseorang. Untuk menguatkan pandangannya, ia mengutip tulisan Herman Hesse (penulis puisi dan novel) yang pernah mengalami perceraian sebanyak dua kali yaitu “Be ready bravely and without remorse to fin now light that old ties cannot give'”

Scanzoni and Scanzoni (lewat Ihroni 2004) mengatakan pasca perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian tidak harus ditangisi dan seseorang tidak perlu membenamkan dirinya dalam kesedihan atau kedukaan secara berlebihan karena kehilangan banyak yang pernah dimilikinya dan dirasakannya selama hidup bersama pasangannya. Scanzoni dan Scanzoni kembali mendengarkan, mantan pasangan suami istri seyogyanya menyadari bawah “kebersamaan” dan saling ketergantungan diantara mereka telah berakhir. Masalah orang tua tunggal Masalah utama bagi orang tua tunggal khususnya bagi wanita yaitu pada masalah ekonomi, dan bagi pria mereka lebih cenderuung mengalami kesulitan menjadi seorang ibu, yang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bagi wanita yang bersatatus ibu tunggal, yang diakibatkan oleh pergaulan bebas ataupun karena korban perkosaan, mereka cenderung sulit menerima kehadiran anaknya, belum siap menerima kenyataan bahwa dirinya kini sudah berstatus ibu, cibiran tetangga, dan masalah-masalah yang timbul selanjutnya yang beerhubungan dengan status anaknya, bahkan mungkin pertanyaan anaknya yang ingin mengetahui dimana ayah mereka.

Hal inilah yang membuat sebagian besar wanita mengalami depresi yang menyandang sebagai ibu tunggal. Namun tidak semua pula para ibu tunggal yang berfikiran seperti itu, misalnya salah satu selebriti papan atas yang mengaku siap menjadi orang tua tunggal, dan siap menerima segala konsekuensinya sebagai ibu tunggal dan baginya ia menikmati perannya sebagai ibu walaupun tanpa adanya sesosok ayah untuk anaknya.



Post a Comment