Stoicisme

 
Mazhab Stoic, institusi akademik Athena terbesar yang terakhir, mempunyai asal mula yang sejaman dengan Epicureanisme. Namun demikian, sejarahnya lebih panjang, doktrinnya tidak begitu kaku, dan pengaruhnya jauh lebih besar. 

Sebagaimana dikembangkan Stoicisme, ia secara gradual lebih menganggap aspek-aspek positif dari pada yang ia tunjukan pada langkah-langkah sebelumnya. Idenya mengenal masyarakat mistik di mana semua orang setara di bawah satu hukum alamiah yang universal mulai memperoleh maknanya dalam konteks politik. Alih-alih polis kuno, pemikiran orang-orang Stoic menggantikan kosmo polis dengan kewargaannya, persaudaraan manusianya dan pengikatan hukum universal terhadap semua rakyat. Negara ideal harus meliputi seluruh dunia sehingga seseorang tidak perlu mengatakan, “saya orang yunani” atau “saya orang sidon”, melainkan “saya warga dunia.” Negara-negara yang ada hanyalah kebutuhan temporer, sementara orang-orang yang bijak berada sejauh mungkin darinya seraya mengharapkan persaudaraan semua manusia dalam kewargaan dunia. Aspek universal Stoicisme mengharap orng-orang Romawi yang agaknya ditakdirkan untuk membawa semua ras ke dalam kontrol politik mereka. Untuk bisa terima oleh filsafat politik mereka, Stoic harus dibersihkan dari unsur-unsur kesendirian menuju kehidupan publik dan dijadikan untuk lebih bisa diaplikasikan secara langsung pada ideal-ideal politik. Tugas merevisi ini jatuh pada Panaetius dari Rhodes (189-109 SM). 

Panaetius, sebagaimana koleganya dari yunani, polybius, merupakan seorang raja sangat bergairah. Keduanya merupakan teman akrab Scipto Africanus dan mereka dikelilingi oleh masyarakat Romawi yang hebat dan cerdas. Dalam lingkaran ini telah dapat pengaruh pentransmisian filsafat Yunani ke Romawi baru. Panaetius, sebagai penafsir utama pemikiran Yunani selama masa ini, mengembalikan filsafat Stoic menurut arahan Plato dan Aristoteles. 
 
Dengan cara demikian, dia berhasil menghadirkan Stoicisme kepada sahabat-sahabat Romawinya yang berpengaruh dalam bentuk yang bisa diterima. Alih-alih menolak aktivitas politik Panaetius menyebukan bahwa pekerjaan tertinggi manusia adalah mendedikasikan dirinya pada persoalan publik. Stoicisme merupakan mazhab yang mendidik negarawan sebaik para filsuf. Bersama-sama dengan doktrin hukum universal dan kewargaan dunia, Stoic baru tampaknya menyeru kepada temperamen dan pandangan orang-orang Romawi yang dimasukan ke dalam sistem politik dan hukum mereka. Marcus Aurelius, tokoh terkemuka dari mazhab Stoic, merepresentasikan tipe baru kebajikan Stoic. Dia bukan hanya menghabiskan waktu secara sungguh-sungguh untuk meditasi namun mencurahkan 16 jam setiap harinya pada pemerintah kerajaan Romawi. Tetapi apa yang terbaik dari semua pelayanan publik ini jika, sebagaimana klaim Stoicisme, dunia tidak berarti dan jika kesehatan, kekayaan atau kekuasaan yang ada pada mereka tidak berguna? Bagi Aurelius dan kaum Stoic baru, jawabannya sangat jelas, bahwa hidup adalah seperti permainan. Apa yang nyata adalah bahwa permainan bisa dihadirkan secara benar dan para pemain bisa memenuhi bagian-bagian mereka secara benar. Tuhan memberi setiap individu suatu peran: seseorang mungkin berada dalam kasta penguasa, yang lain mungkin sebagai budak. Pemain yang baik harus bisa memainkan keduanya, yang penting baginya adalah menerima peran tersebut tanpa berlebihan atau mengeluh dan menjalankannya dengan baik. Bagian dalam permainan, sebagaimana semua hal di dunia ini, semuanya tidak berguna. Namun untuk menjadi pemain yag baik seseorang harus menjalankan fungsinya, apa pun peran yang harus dilakukan. Dia harus berupaya menuju kesempurnaan apakah dengan berperan sebagai raja ataukah budak karena kebaikan watak terletak pada perbuatan menuju kesempurnaan tersebut. Dengan penalaran itu Stoicisme bisa memberikan bimbingan untuk para wali maupun pelayan publik. 
 
 
 
 
 

Post a Comment