PENGALAMAN ROHANI (FANA’, BAQA’, HULUL, DAN ITTIHAD)

PENGALAMAN ROHANI
(FANA’, BAQA’, HULUL, DAN ITTIHAD)


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak dan Tasawuf
Dosen Pengampu: Ibu Masturiyah




Disusun oleh,
Ardi Setiawan                 15650054;
Hasan Ma’ruf                15650031;
Fikri Wibowo                  15650044;
Annisa Solehatul J.         15650043.




JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Akhlak Tasawuf merupakan disiplin ilmu murni dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak sehingga bisa dikatakan bahwasanya At tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan al-akhlaqu bidayatut tashawwuf. Dalam tasawuf, digunakan pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi / wijdan. Intuisi di sini maksudnya adalah mengosongkan diri dari dosa. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Fana’, Baqa’, Hulul, dan Ittihad  yang merupakan salah satu komponen dari akhlak tasawuf.

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah,
1.      Apa pengertian Fana’, Baqa’, Hulul, dan Ittihad?
2.      Bagaimana pengalaman rohani Fana’, Baqa’, Hulul, dan Ittihad?

C.      Tujuan
1.      Dapat mengetahui pengertian Fana’, Baqa’, Hulul, dan Ittihad?
2.      Mengetahui pengalaman rohani Fana’, Baqa’, Hulul, dan Ittihad?

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Fana’
Dari segi bahasa Al-Fana’ berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana’ berbeda dengan Al-Fasad (rusak). Fana artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda –benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak!
Adapun artinya fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat yang tercela.
Dalam pada itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya indrawi atau kebasyariahan, yakin sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk. Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
B.      Tingkatan-Tingkatan Fana dan Hikmahnya

1.      Tingkat I. Fana Fi af-alillah |Fana pada tingkat pertama ini, seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ilham” tiba-tibaNur Ilahy terbit dalam hati sanubari muhadara atau kehadiran hati beserta Allah dalam situasi mana, gerak dan diam telah lenyap menjadi gerak dan diamnya Allah.
2.      Tingkat II. Fana Fissifat |Fana pada tingkat II ini, seseorang mulai dalam situasi putusnya diri dari Alma Indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan, artinya dalam situasi menafikan diri dan meng-isbatkan sifat Allah, memfanakan sifat-sifat diri kedalam kebaqaan Allah yang mempunyai sifat sempurna.
3.      Tingkat III. Fana Fil-Asma | Fana pada tingkat III ini, seseorang telah dalam situasi fananya segala sifat-sifat keinsanannya. Lenyap dari Alam wujud yang gelap ini, masuk ke dalam Alam ghaib atau yang penuh dengan Nur Cahaya.
4.      Tingkat IV. Fana Fizzat | Fana pada tingkat IV ini, seorang telah beroleh perasaan bathin pada suatu keadaan yang tak berisi, tiada lagi kanan dan kiri, tiada lagi muka dan belakang, tiada lagi atas dan bawah, pada ruang yang tak terbatas tidak bertepi. Dia telah lenyap dari dirinya sama sekali, dalam keadaan mana hanya dalam kebaqaan Allah semata-mata. Dapat disimpulkan bahwa segala-galanya telah hancur lebur, kecuali wujud yang mutlak.
C.      Hubungan Fana’ dan Baqa’
Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan, sebagai mana dinyatakan oleh para ahli tasawuf :
“Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqa’-lah yang kekal”
Tasawuf itu ialah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.
التصوف فانون عن انفسسهم و باقون بربهم بحضور قلوبهم مع الله
Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari dirinya, dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.[1]
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan Fana’ adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertobat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (Al-Fana ‘an Al-Nafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut al-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah:
“Fana seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu, sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”.
Kalau seorang sufi telah mencapai Al-Fana’ Al-Nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaniah. Menurut Harun Nasution, kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya Al-Fana’ Al-Nafs. Tak ubahnya dengan Fana’ yang terjadi ketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk di atas. Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang didasari hanya Tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan di mana seorang hanya menyadari kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatan lebih merupakan alat jembatan atau maqam menuju Ittihad (penyatuan rohani dengan tuhan).
D.     Ittihad
Berbicara Fana’ dan Baqa’ ini erat hubungannya dengan Al-Ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari Fana’ dan Baqa’ itu sendiri adalah Ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa Fana’ dan Baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham Ittihad. Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana dikatakan oleh Al-Badawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenar-benarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam Ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.
Dalam situasi Ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”.
Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya “maha suci aku”, maka yang dimaksud aku di situ bukanlah sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan, melalui Fana’ dan Baqa’.
E.      Tokoh yang Mengembangkan Fana’
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami disebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham Fana’ dan baqa. Nama kecinya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Ketika Abu Yazid telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan padahal sesungguhnya ia tetap manusia  biasa, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan tuhan. Di antara ucapan ganjilnya ialah; “tidak ada tuhan melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.” Selanjutnya Abu Yazid Mengatakan “Tidak ada tuhan selain aku, maka sembahlah aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.”
Selanjutnya diceritakan bahwa: seseorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya: “siapa yang engkau cari?” Jawabnya: “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan: “pergilah”. Di rumah ini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. “Ucapan yang keluar dari mulut abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam Ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan.
F.      Fana’, Baqa’, dan Ittihad dalam Pandangan Al-Qur’an dan Ulama
Fana’ dan Baqa’ merupakan jalan menuju Tuhan, hal ini sejalan dengan firman Allah surat Al-kahfi ayat 10 yang berbunyi:
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.”( Q. S. Al-Kahfi, 18: 110).
Paham Ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah swt. telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal Shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk (Fana’), meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kemudian ini tercakup dalam konsep Fana’ dan Baqa, hal ini juga dapat dipahami dari isyarat ayat di bawah ini:
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Al-Rahman: 26-27).
Dalam pandangan ulama’ lain, seperti Ibnu Taimiyyah, ia menentang paham Hulul dan Ittihad, yang terjadi pada waktu Fana’, pada waktu lenyap dan hanyut dalam keadaan tidak sadar diri, disebabkan cinta pada Allah, sebagaimana golongan yang menamakan dirinya ahli hakikat, dalam islam hal demikian dianggap kufur, menurut Ibnu Taimiyah. Paham mengenai bentuk penyatuan atau mencintai Tuhanya seringkali mengundang berbagai pendapat hadir di alamnya, di antaranya, untuk mewujudkan wujud itu hanya satu dan bersatu antara khalik dan makhluk, namun bukan seperti paham yang di bawa oleh Ibnu Taimiyyah, menurutnya bersatu dengan Tuhan itu dalam arti tujuan dan keindahan, seperti mencintai apa yang dicintai Tuhan, membenci apa yang dibenci Tuhan, jadi Hulul atau Ittihad dapat bersatu dzatnya dengan Tuhan. Menurut Ibnu Taimiyyah memang ada perkataan Hulul yang dapat diterima pengertiannya oleh ahli sunah, jika dimaksudkan, ketinggalan bekas dan sari dalam hati seseorang sesudah ia mengetahui, jika sari ilmu itu kemudian berbekas pada lidahnya, maka hati itu menjadi baik, dan jika kemudian berbekas pada anggotanya, maka hal itu menjadi lebih baik, seorang mukmin yang percaya kepada Tuhannya dengan hati dan anggota badanya, iman itu berkumpul pada hatinya sebagai ilmu dan sebagai Ikhwal, membenarkan dengan hati, mentaati dengan hati, dengan demikian menjadi satu perkataan, lidahnya dengan amal anggota badanya, maka lalu terjadilah hulul, membenarkan adanya Allah, menyerahkan diri pada Allah, itu merupakan pandangan dari Ibnu Taimiyyah. Mungkin pandangan ini berbeda dengan yang lain, karena wajar saja, mereka memahami dari sisi yang berbeda pula, namun apa pun bentuk dan pandangan dari paham ini, yang jelas adalah salah satu  bentuk kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya, bentuk pengagungan atas nikmat yang telah diberikan-Nya.[2]
Kemudian di sisi lain Kaum mutakallimin menganggap bahwa fana’ adalah proses menghilangnya sifat syai, sedang baqa’ adalah keabadian sifat-sifat tertentu, Dalam pengertian lain dijelaskan pula bahwa pengertian fana’ adalah, meninggal dan musnah, dan baqa’ berarti hidup dan selamanya[3]. Mustafa Zahri berpendapat bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya indrawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk.[4]
G.     Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Hulul
Secara harfiah Hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui Fana’. Menurut keterangan Abu Nasr Al-Tusi dalam Al-Luma sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan dalam tubuh itu dilenyapkan.
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Allah melihat pada zatnya sendiri dan Ia pun cinta pada zatnya sendiri, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari banyaknya ini.
Al-hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan terdapat sifat ketuhanan (nasut). Jika sifat ketuhanan pada diri manusia menyatu dengan sifat kemanusian pada diri Tuhan maka terjadilah Hulul.
Berdasarkan uraian tersebut  di atas, maka Al-Hulu dapat dikatakan sebagai suatu tahap di mana manusia dan Tuhan menyatu secara Rohaniah. Dalam hal ini Hulul pada hakikatnya istilah lain dari Al-Ittihad sebagaimana telah disebutkan di atas.
            Tujuan dari hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seseorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
H.     Tokoh yang Mengembangkan Paham Al-Hulul
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham Al-Hulul adalah Al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein Bin Mansur Al-Hallaj. Ia lahir tahun 244 H (858 M), di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun ia sudah belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin Ab-bashrah di Negri Ahwaz.
Dalam paham Al-Hulul yang dikemukakan Al-Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat. Pertama, bahwa paham Al-Hulul merupakan pengembangan.


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Fana’ adalah proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses Fana’ dalam penghancuran diri untuk mencapai makrifat. Secara singkat, Fana’ adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan Baqa adalah berdirinya sifat-sifat terpuji. Adapun tujuan Fana’ dan Baqa adalah mencapai penyatuan secara rohaniah dan bathiniyiah dengan Tuhan sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Sedangkan kedudukan Fana’ dan Baqa merupakan hal. Dalam sejarah tasawuf, Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham Fana’ dan Baqa adalah Abu Yazid al-Bustami. Ittihad adalah kondisi penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah melalui peniadaan diri, penyaksian, penemuan zat dengan rasa kenikmatan yang luar biasa, maka ini juga yang disebut kebahagiaan yang tinggi atau kebahagiaan yang sempurna. Hulul diartikan sebagai penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah zat-Nya melebur ke dalam tubuh hamba-Nya Wihdatu al-wujud yaitu kesatuan dari dua wujud yang berbeda yaitu wujud pencipta atau tuhan (al-khaliq)dan wujud ciptaan atau hamba (Al-Makhluq).

DAFTAR PUSTAKA
NATA, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Abu bakar, pengantar sejarah sufi dan tasawuf, solo, ramdhani, 1993, cet 7. Hlm 138-143
Khan shahib, Cakrawala Tasawuf, jakarta; rajawali, 1987, hlm 91
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/al-fana-al-baqa-al-ittihad.html, di akses pada tanggal 14 maret 2013, pukul 14:37
Abudin nata, Akhlak tasawuf, jakarta; PT raja grafindo persada, 2000,cet 3, hlm 233, dikutip dari mustafa zahri,kunci memahami ilmu tasawuf, surabaya; bina ilmu,1985, cet 1, hlm 234.





[1] Abudin nata, Akhlak tasawuf, jakarta; PT raja grafindo persada, 2000,cet 3, hlm 233, dikutip dari mustafa zahri,kunci memahami ilmu tasawuf, surabaya; bina ilmu,1985, cet 1, hlm 234.
[2] Abu bakar, pengantar sejarah sufi dan tasawuf, solo, ramdhani, 1993, cet 7. Hlm 138-143
[3] Khan shahib, Cakrawala Tasawuf, jakarta; rajawali, 1987, hlm 91
[4] http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/al-fana-al-baqa-al-ittihad.html, di akses pada tanggal 14 maret 2013, pukul 14:37

Post a Comment