Pemikiran Islam dan Praktik Pluralisme di Indonesia

Pemikiran Islam dan Praktik Pluralisme di Indonesia
Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transendenagama-agama (Transcendent Unity of Religions*). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik, karena itu yang satu menyalahkan yang lain.

Munculnya kedua aliran di atas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama, nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Sedangkan motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.

Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang disebut global theology. Selain Hick di antara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudulProblems of Religious Pluralism, yang menulis terjemahannya: kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Budha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.

Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa dirubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupunpostmodern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dariperspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep Sophia Perrenis atau dalam bahasa Hindu disebutSanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Hikmah al-kha’idah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakralyang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan berjalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama (all paths lead to the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rena Guanon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain.
Meskipun kajian-kajian di atas telah merespon paham pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Dan kajian pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru lebih cenderung merupakan sikap mental yang terbaratkan dari pada obyektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi Barat moderndan pos-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di Timur. Dalam kondisi pemikiran yang problematik ini sangatlah bijaksana jika kita tidak ke Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam.
Pluralisme di Indonesia adalah bentuknya modifikasi. Ada yang mengambil sebagian aliran global teologi dan sebagian mengambil dari Transendent Unity of Religions. Dan kedua aliran tersebut bertujuan sama, yaitu: keberadaan agama-agama sama derajatnya. Tetapi aliran yang diminati oleh kaum pluralis Indonesia adalah aliran transendent unity of religions. Sebab wacana agama Indonesia banyak dilatar belakangi oleh konflik sosial dari pada konflik teologi.






*Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007), hal. 92-98




gambar

Post a Comment