Latar Belakang Munculnya Gerakan Pluralisme di Indonesia

Latar Belakang Munculnya Gerakan Pluralisme di Indonesia
Paham ini muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.

Di Indonesia, gerakan ini muncul dari sebuah pemikiran Budy Munawar Rachman dan Djohan yang waktu itu masih mahasiswa yang ikut terlibat dan concern,terhadap nasib negeri ini di bawah penguasa rezim yang otoriter. Mereka membentuk sebuah Kelompok Studi Proklamasi (KSP).
Mereka tidak melakukan perlawanan frontal, hanya ingin memelihara dan menumbuhkan kritisisme dengan cara membangun informasi dan publikasi antar mahasiswa dan kaum intelektual, karenanya fokus kegiatan mereka adalah diskusi dan publikasi buku serta ingin merespon dan mengkritik dampak pembangunan orde baru yang dirasakan semakin menyengsarakan rakyat. Karena kalau dituntut secara demontrasi akan berakhir dengan tragedi pembantaian seperti yang terjadi pada mahasiswa di Cina oleh rezim penguasa di lapangan Tiananmen[1], telah memicu rasa solidaritas. 
Hal lain juga diakibatkan oleh adanya konflik agama dan politik.

Sebenarnya pluralisme itu sudah dilakukan oleh Muhammad Hatta, walaupun belum dikenal istilah plural. Ketika pemberlakuan ”Piagam Jakarta”, ia menyakinkan golongan Islam untuk menghilangkan ”tujuh kata” penting dalam Piagam Jakarta: ”Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”, dan digantikan dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa yang juga menegaskan semangat tauhid dan keislaman yang inklusif menjauhi dogmatisme yang kaku, berusaha mencari ”kalimatun sawa” atau ”common platform” dalam berbangsa dan bernegara.[2] Inilah awal mengapa gerakan pluralisme ada di Indonesia.





[1] Lihat, Michael Fathers et, Pembantaian Tiannanmen Tragedi Sebuah Gerakan Moral, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1990), h. 87.
[2] Abdul Rohim Ghazali (dkk), 70 Tahun Ahmad Syafi’I Ma’arif: Muhammadiyah & Politik Islam Inklusif, ((Malang: UMMPRESS, 2009), h. 42.





Post a Comment