Maqam Dakwah dan Maqam Siyasah

Li kulli maqâm, maqâl. Wa li kulli maqâl, maqâm. Pada setiap kedudukan, ada standar dan etika pembicaraan. Dan untuk setiap pembicaraan, ada tempatnya sendiri-sendiri.

Pada maqâm dakwah, kita dianjurkan untuk berprasangka baik. Husn-u zhon. Bahkan, kepada pendosa besar sekalipun. Siapa tahu, suatu saat, sang pendosa akan menemukan jalannya kembali ke pangkuan Tuhan dan menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari kita yang hidup "secara biasa-biasa" saja.

Banyak contoh yang tercatat dalam sejarah panjang kehidupan kita. Sayyidinâ Umar ibn Khattâb adalah contoh sosok agung yang mengalami "shifting paradigm" dalam sejarah kita.

Bagaimana dengan maqâm siyâsah? Sependek yang saya tahu, rumusnya adalah rumus peperangan: al-harb khid'ah. Inti perang adalah adu strategi. Begitu pula jika kita masuk gelanggang politik alias maqâm siyâsah.

Pada maqâm ini, ber-husn-u zhon justru akan mencelakakan. Tapi, ber-sû'u zhon juga tidak dianjurkan. Yang harus dinyalakan adalah alarm kewaspadaan.

Hanya sedikit orang yang mampu berdakwah di maqâm siyâsah dan ber-siyâsah di maqâm dakwah. Di antara yang sedikit itu, ada Gus Dur.

Maqâm itu, tidak bisa diduduki oleh sembarang orang. Hanya mereka yang memiliki kalbu seluas samudera dan nyali sekokoh baja saja yang bisa mencapainya.

Jadi, kalau hati dan nyali kita masih ciut, jangan coba-coba meniru Gus Dur. Apalagi berbicara di depan publik seperti gaya Butet atau Gus Pur menirukan Gus Dur.

Jika Anda memaksakan diri meniru Gus Dur menggabungkan dua maqâm itu, pilihannya cuma dua: bakal ditertawakan atau dihujani makian...

#edisikangengusdur

Status FB Cak Dayat

Post a Comment