REGULASI TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

REGULASI TENTANG PERKAWINAN

A. PENDAHULUAN

            Sebelum Indonesia merdeka masalah pencatatan nikah, talak dan rujuk diatur dalam Huwelijksordonantie S. 1929 No. 248 Jo. S. 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijkordonantie Buitengewesten S. 1932 No. 482, yang kesemuanya itu merupakan peraturan  produk zaman Belanda.
            Karena peraturan tersebut diatas dianggap tidak sesuai dengan keadaan setelah Indonesia merdeka, maka dibuatlah peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pencatatan nikah, talak dan rujuk yang lebih sempurna dan memenuhi syarat keadilan sosial.
            Untuk memenuhi keinginan tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yang ditetapkan di Linggarjati  pada tanggal 21 Nopember 1946 yang berlaku untuk Pulau Jawa.  Kemudian sebagai tindak lanjutnya maka lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk diseluruh Daerah Luar Jawa dan Madura, yang disahkan di Jakarta  pada tanggal 26 Oktober 1954.
            Undang-Undang tersebut diatas, mengatur Pencatatan Nikah bagi umat Islam di Indonesia, untuk yang beragama lain diatur dalam: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Howelijks Ordonantie Christen Indonesia S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 No. 158).
            Karena begitu banyaknya Undang-Undang yang mengatur masalah perkawinan di Indonesia, maka pada tanggal 2 Januari 1974 lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.

B. LAHIRNYA UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN ASAS-ASAS YANG   DIGUNAKAN
            Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1874 tentang Perkawinan merupakan sebuah peristiwa sejarah yang penting dalam pembangunan nasional dibidang hukum Indonesia. Penyusunan Undang-undang tersebut mempunyai tujuan luhur baik dilihat dari segi hukum, segi kesejahteraan masyarakat maupun dari segi agama.
            Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diterangkan bahwa: ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa”. Rumusan pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 ini menggambarkan betapa perkawinan bukanlah sekedar menciptakan keluarga bahagia dan kekal menurut ukuran duniawi, lahiriyah dan material belaka, namun mencakup aspek bahagia dan kekal menurut ukuran ukhrowi, batiniyah dan ilahiyah yang berarti rumusan ini bersifat filosofis, abstrak, mendalam/inner dan batiniyah.
            Secara operasioanl keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa itu yang dicita-citakan oleh undang-undang ini adalah :
1.      Dimulai dari kehendak yang tulus dari masing-masing calon pengantin, diniatkan ibadah dengan memenuhi seluruh prosedur dan syarat-syarat yang ditetapkan agama;
2.      Masing pihak telah dewasa, matang kejiwaannya;
3.      Tidak bercerai;
4.      Hanya satu suami dan satu istri
5.      Dilaksanakan menurut hukum agamanya
6.      Saling cinta-mencintai, saling mengasihi, saling tolong menolong dan masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan setidaknya menganut asas: Ketuhanan Yang Maha Esa, kedewasaan pengantin, Perkawinan monogami dengan pengecualian, perceraian dipersulit, keseimbangan hak dan kedudukan suami istri.

1. ASAS KETUHANAN YANG MAHA ESA
            Perkawinan bagi orang Indonesia dipandang sebagai sesuatu yang sangat ”sakral”, salah satu bentuk ”ibadah”, bukan hanya perjanjian perdata. Masyarak Indonesia memandang bahwa perkawinan sebagai perbuatan sosial, perbuatan hukum sekaligus sebagai perbuatan ibadah seorang hamba kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. ASAS KEDEWASAAN CALON PENGANTIN
            Usia calon Pengantin berpengaruh terhadap kematangan calon pengantin baik fisik maupun mental, tingkat kesuburan dan kesehatan suami istri dan keturunannya termasuk juga dalam hal memperkecil angka perceraian karena pasangan yang belum dewasa sangat rentan dalam hal perceraian.

3. ASAS PERKAWINAN MONOGAMI DENGAN PERKECUALIAN
            Dalam sejarah, masyarakat Barat punya persepsi yang salah dan sentimen yang berlebihan tentang kedudukan poligami dalam Islam. Mereka beranggapan bahwa poligami merupakan pelecehan dan merendahkan kedudukan perempuan. Dan sekedar perbandingan, hukum perkawinan di Inggris melarang adanya poligami tapi para bangsawan (Lord) Inggris justru mempunyai mistress/istri selir/perempuan simpanan yang mereka (istri selir) itu tidak memperoleh sedikitpun harta ”suami” manakala suaminya meninggal.
            Berbeda dengan poligami yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dipandang ada jaminan sosial, penghormatan yang jauh lebih baik daripada ”pergundikan” yang ada di masyarakat. Diperbolehkannya poligami merupakan ”pintu darurat” bagi suami-istri yang ”daruri”, dan itupun dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan berat karena laki-laki yang boleh poligami harus mampu secara ekonomi, mental dan bertanggung jawab, dan yang lebih penting mendapatkan ijin dari istri sebelumnya.

4. ASAS PERCERAIAN DIPERSULIT
            Perceraian merupakn salah satu bentuk ancaman yang sangat ditakuti oleh semua keluarga manapun karena pasangan yang bercerai dianggap gagal dalam membangun rumah tangga. Besarnya angka perceraian dianggap sebagai indikator besarnya keluarga yang gagal dan tidak stabil.
            Selama tahun 2010 peristiwa perkawinan di Jawa Timur mencapai 381.389 peristiwa nikah dan angka perceraian mencapai lebih dari 65.000 peristiwa perceraian. Dan perlu diketahi bahwa seluruh Indonesia lebih dari 2 juta angka perceraian selama tahun 2010, dan Indonesia menurut Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI merupakan negara yang paling besar angka perceraiannya di dunia diantara negara Islam lainnya.
            Oleh karena itu dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dalam mempersulit angka perceraian adalah dengan syarat-syarat dan alasan-alasan yang sangat kuat yang diucapkan di depan sidang pengadilan. Alasan dan prosedur ini dituangkan dalam dalam pasal 39-40 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu: salah satu pihak atau dua-duanya zina/pemabuk yang sukar disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 tahun tanpa ijin, salah satu pihak dipenjara selama 5 tahun atau lebih, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan, salah satu pihak mendapatkan cacat badan sehingga tidak dapat melakukan fungsinya sebagai suami istri dan terus-menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan yang tidak mungkin disatukan lagi.

5. KESEIMBANGAN HAK DAN KEDUDUKAN SUAMI-ISTRI
            Perjuangan perempuan agar bisa sejajar dengan laki-laki bersifat universal, termasuk di Indonesia dilakukan melalui berbagai bidang terutama dalam ”Pengarus utamaan Gender” (PUG). Dan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 keseimbangan hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan ini dibuktikan dengan:
a.       Perkawinan harus disetujui kedua belah pihak dan tidak boleh ada pemaksaan (pasal 6 ayat 1);
b.      Pembentukan dan pembagian harta bersama (pasal 35 – 37).


c.       Kewenangan istri berbuat hukum, seperti mengelola harta bersama dan lain sebaginya (pasal 32 ayat 2)
d.      Pertumbuhan jumlah gugat cerai yang dilakukan oleh istri jauh lebih besar daripada jumlah cerai talak yang dilakukan suami, ini sebagai indikator kuat (walaupun tidak kita inginkan) bahwa hak istri sama dengan hak suami dalam hal memperjuangkan haknya sebagai manusia.

C. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
            Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan memang merupakan peraturan yang munomental, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih mengalami permasalahan yaitu :
1.      Meskipun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah berumur 40 tahun, namun pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap Undang-undang ini masih sangat rendah, maka perlu adanya penyuluhan dan sosialisasi yang lebih terencana, terpadu dan terus menerus dengan melalui berbagai media;
2.      Perlunya penegasan perkawinan antar agama, perkawinan orang-orang yang beragama selain agama yang diakui oleh pemerintah, perkawinan menurut tata cara aliran kepercayaan dan perkawinan adat. Hal ini perlu penegasan dan penjelasan agar masyarakat memperoleh kepastian dan perlindungan hukum yang wajar;
3.      Belum timbulnya kesadaran masyarakat untuk mencatatkan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup (life siclus) seperti: kelahiran, perkawinan, kepindahan dan kematian serta penataan administrasi pencatat peristiwa-peristiwa tersebut;
4.      Tingginya angka perceraian dalam masyarakat perlu pendekatan keagamaan dan pendekatan yuridis seperti yang telah banyak dilakukan terhadap keluarga-keluarga yang bermasalah, dan perlu dilakukan intervensi psikiatrik dalam upaya mencegah terjadinya perceraian;
5.      Tidak adanya sanksi pidana bagi mereka yang melanggar UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975, sehingga banyak sekali pelanggaran terhadap Undang-undang ini dengan banyaknya kawin dibawah tangan atau kawin sirri;


KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

A.      PENGERTIAN, KANDUNGAN DAN PROSES PEMBENTUKANNYA
          Suatu saat Ibnu Abbas mengatakan kepada Umar Ibn Khattab r.a: “Wahai Amirul Mukminin, Al Qur’an telah diturunkan kepada kita dan kita juga telah membacanya. Suatu kaum setelah kita juga akan membacanya, namun mereka tidak mengetahui dan memahami apa yang telah diturunkan. Maka dari sinilah setiap kaum memiliki pandangan, sehingga mereka berbeda pendapat”.
            Menilik apa yang disampaikan Ibnu Abbas tersebut, bisa pahami bahwa perbedaan itu sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Perbedaan bisa membuahkan kemudahan sekaligus menimbulkan perpecahan bahkan mungkin akan berakibat peperangan.
            Semakin jauh zaman ini dengan zaman Nabi Muhahammad SAW, semakin banyak pula perbedaan pendapat umat Islam. Agar umat Islam tidak tersesat pada pendapat yang salah dan jauh dari tujuan syari’ah, para ulama harus menyelamatkannya. Diantara usahanya adalah memilih pendapat yang benar dan sesuai dengan masyarakat yang dihadapinya. Dahulu usaha ini disebut madzhab. Sekarang, proses seleksi pendapat tersebut dan menghimpunnya dalam satu buku dinamakan “KOMPILASI”.
            Kompilasi berasal dari bahasa latin “compilare” yang berarti mengumpulkan bersama-sama. Dan dalam bahasa Inggris menjadi “compilation” yang berarti suatu kumpulan atau himpunan. Dari pemahaman bahasa diatas, dapat didefinisikan bahawa Kompilasi adalah: proses kegiatan pengumpulan bernagai bahan dan data yang diambil dari berbagai sumber buku sesuai dengan kebutuhan untuk disusun kembali ke dalam sebuah buku baru yang lebih terartur dan sistematis.
            Pengertian diatasmenunjukkan bahwa kompilasi dapat diterapkan dibidang hukum maupun diluar hukum. Pembuatan buku atau makalah dengan mengutip banyak sumber data tanpa analisis sedikitpun juga disebut kompilasi. Berbagai kitab fikih tentang perbandingan madzhab juga berisi kompilasi hukum Islam, seperti Bidayah al Mujtahid karya Ibnu Rusyd dan Al Mizan al Kubro karya Al Sya’rani.
            Dalam ilmu hukum, kompilasi masih digunakan dalam wilayah hukum Islam. Dalam hukum Islam terdapat aneka pendapat tentang suatu masalah yang berada dalam koridor Syari’ah, sedangkan diluar hukum Islam dikenal dengan “kodifikasi” yaitu: menghimpun peraturan perundang-undangan tentang bidang tertentu dalam satu buku, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
            Kompilasi bisa digunakan sebagai media untuk meningkatkan pendapat hukum menjadi perundang-undangan. Kompilasi saja tidak cukup karena belum memiliki kekuatan. Karenanya, kompilasi harus dilanjutkan hingga menjadi peraturan perundang-undangan. Proses demikian ini terjadi pada pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
            Gagasan pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dilontarkan tahun 1985, dan tidak ada kejelasan siapa yang melontarkan gagasan tersebut. Ada yang mengatakan pencetusnya Bustanul Arifin, Hakim Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Ada pula yang mengatakan bahwa pencetusnya Munawir Sjadzali, Menteri Agama RI, bahkan ada pula yang mengemukakan Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa MUI. Siapapun pencetusnya, yang jelas ketiga orang ini terlibat aktif dan strategis dalam melahirkan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
            Proyek pembentukan Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan oleh dua instansi, Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Kedua instansi ini mengangkat 16 orang sebagai pelaksana utama, delapan dari Mahkamah Agung, tujuh dari Depag dan satu orang dari MUI, KH. Ibrahim Hosen.
            Selain pelaksana utama, proyek KHI juga melibatkan para ulama seluruh Indonesia, para cendikiawan dari Perguruan Tinggi Agama Islam seluruh Indonesia. Tujuan proyek ini adalah mengkompilasikan aturan hukum Islam yang mencakup wilayah muamalah dan yurisdikasi pengadilan agama kedalam tiga kitab: (a) Kitab Perkawinan (b) Kitab Waris dan (c) Kitab Wakaf, Shadaqah, Hibah dan Baitul Mal.
            Bahan data yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan KHI adalah pendapat ulama seluruh Indonesia, serta hasil keputusan hakim di Peradilan Agama. Para ulama yang diwawancarai tercatat sebanyak 185 ulama seluruh Indonesia. Kitab-kitab yang menjadi kajian para cendikiawan sebanyak 38 kitab. Produk-produk yang diteliti berjumlah 16 buku himpunan yurisprudensi. Semua hasil kajian ini didiskusikan dalam beberapa lokakarya “Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi”. Selain itu hasil kajian juga diperkuat dengan hasil studi banding di tiga negara, yaitu: Maroko, Turki dan Mesir.
            Pada akhirnya, hasil semua kajian dirumuskan oleh pelaksana utama proyek KHI. Rumusan yang telah dianggap sempurna ini disampaikan dalam lokakarya yang terakhir kalinya. Begitu rumusan KHI telah disepakati, maka Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sebagai kekuatan hukum KHI. Inpres ini ditujukan kepada Menteri Agama RI agar menyebarluaskan rumusan KHI dan menggunakannya sebagai pertimbangan pengambilan keputusan hukum oleh hakim agama di Pengadilan Agama. Dengan demikian proses pembuatan KHI dimulai dari penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Hakim Agung dan Menteri Agama  tanggal 25 Maret 1985 hingga terbitnya Inpres 10 Juni 1991.

B.       KANDUNGAN POKOK DAN CORAK KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan dokumen paling penting mengenai syari’at yang tersebar luar di Indonesia. Pancasila melandasi KHI, pasal 1 dari penjelasan mengatakan: “Bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, ada hak atas eksistensi suatu hukum nasional tunggal yang akan menjamin kelangsungan kehidupan agama yang berdasarkan kepada prinsip Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang secara bersama-sama mewakili perwujudan kesadaran hukum komunitas dan rakyat Indonesia”.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukan undang-undang, tetapi “petunjuk terhadap undang-undang”. Ia dapat diterapkan oleh hakim Peradilan Agama dalm memecahkan perkara-perkara yang mereka hadapi (Penjelasan pasal 5). Pasal 3 dan 4 dari memorandum penjelasan KHI menyatakan bahwa “Undang-undang yang dapat diaplikasikan” didasarkan kepada urutan sumber-sumber Syari’at berikut: (a) teks-teks standar dari madzhab Syafi’i (b) teks-teks tambahan dari madzhab lain (c) fatwa-fatwa ulama, dan (e) situasi di negara lain. KHI diklaim sebagai ringkasan dari sumber-sumber tersebut untuk digunakan para hakim Pengadilan Agama.
KHI terdiri dari tiga buku, yaitu: (1) Buku I berkaitan dengan hukum perkawinan (pasal 1-170). Buku ini memuat 19 bab dan 170 pasal. (2) Buku II berkenaan dengan hukum waris (pasal 171-214). Buku III berkaitan dengan hukum wakaf (pasal 215-229) yang memuat lima bab dan 15 pasal. Legislasi kolonial telah mengatur tiga masalah yang sama tersebut, namun dalam KHI lebih terperinci.
Dari ketiga buku terswebut, masalah perkawinan paling banyak dibahas dibanding dua buku yang lain. KHI tidak saja membahas sisi hukum saja tetapi juga prosedur pelaksanaannya. Dalam hal ini terdapat 3 bentuk klausul KHI, yaitu: pernyataan hukum Islam pada pokok persoalan dengan rumusan yang sederhana; prosedur birokratis dalam pelaksanaan hukum; dan kontrol hukum oleh Pengadilan Agama. Sebagai contoh, pasal 129-142 dan 146-148 memerlukan prosedur sebelum perkawinan diputuskan berakhir dengan sah. Tanpa pemenuhan prosedur, hukum Islam tidak bisa diterapkan. Dengan demikian seorang suami yang ingin menyatakan talak harus melakukan permohonan secara lisan dan tulisan kepada Pengadilan Agama. Jika hakim mengizinkan talak maka salinan pernyataan dibuat dan didaftarkan sebagai “bukti perceraian”.
Tujuan pembatasan ini adalah untuk mengontrol status diri seseorang. Negara memiliki kepentingan besar dalam masalah ini, karena isteri yang dicerai dan anak-anak yang tanpa ayah akan menambah beban bagi negara. Ulama berargumen, talak diperbolehkan oleh syari’at, tapi secara sosial menyakitkan bagi semua pihak. Mempertahankan izin Tuhan dan merumuskan prosedur birokratis merupakan jawaban yang bijaksana.
KHI juga menjawab problem hukum Islam yang sering terjadi di masyarakat, tetapi jarang dikupas dalam kitab-kitab hukum Islam. Kehamilan di luar nikah sering terjadi di masyarakat akibat pergaulan bebas serta gaya hidup yang salah.

Oleh: Drs. H. Moh. Ersyad, M.HI

  • Penulis adalah: Staf Bidang Urusan Agama Islam Kantor Wilayah  Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur;