Tokoh-Tokoh Ahli Sufi

Ibn Arabi

Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah ath-Tha’i al Haitami. Beliau lahir pada tahun 560 H. (1163 M) di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol. Dari keluarga yang berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal disana pada tahun 638 H.

Pada usia delapan tahun yaitu tahun 568 H / 1172 M Ibnu ‘Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat menuju kota Lisabon. Di kota ini ia menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yang berupa membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari gurunya, Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf. Kemudian ia pindah kekota Sevilla yang waktu itu merupakan pusat para sufi Spanyol, ia tinggal dan menetap disana selama 30 tahun.

Diantara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makkiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan dan kepintarann seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi di persia. Karya lainnya, sebagaimana dilaporkan oleh Muolvi, adalah Masyahid Al-Ashar, Mathali’Al-Anwar Al-Ilahiyyah, Hilyat Al-Abdal, Kimiya’ As-Sa’adat, Muhadharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasail Al-Ilahiyyah, dan beberapa karya lainnya.

Ajaran Tasawuf Ibn ‘Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajarannya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dan mengecam dan mengkritik ajaran sentral tersebut setidak-tidaknya, Ibn Taimiyah yang telah berjasa dalam memopulerkannya ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Khaliq juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk.

Menurut Ibn ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Ibn ‘Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam. Menurutnya, alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud sebenarnnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan) Tuhan. Ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu.

Dari konsep wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi, muncul lagi dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud, yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).

Al-Jili

Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Ia adalah seorang sufi yang terkenal di Bagdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M, kemudia belajar tasawuf dibawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal.

Ajaran Tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuha, seperti disebutkan dalam hadist: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”.

sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu.

Sebagai seorang sufi, Al-Jili dengan membawa filsafat Insan Kamil merumuskan beberapan maqam yang ahrus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia disebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkatan itu adalah:

Islam

Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.

Iman

Yakni membenarkan dengan sepennuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat yang lebih tinggi.

Shalah

Yakni dengan maqam ini, seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja. Tujuan ibadah ini adalah mencapai nuqthah ilahiah pada lubuk hati sang hamba.

Ihsan

Yakni maqam ini menunjukkan bahw seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan bberadda di hadapan-Nya.

Syuhada

Seorang sufi dalam tingkatan ini telah mencapai iradah yang mencirikan, mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, menngingat-Nya secara terus menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi.

Shiddiqiyah

Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari ‘ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, sampai haqq al-yaqin.

Qurbah

Tingkatan ini yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.

Imam Ghazali

Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali, secara singkat dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di Bagdad.

Ayah Al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama, dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya bernama Ahmad kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu seraya berkata dalam wasiatnya: “Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis, aku berharap mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua putraku ini). Sang sufi menjalankan isi wasiat itu dengan cara medidik dan mengajar keduanya.

Selanjutnya sufi menitipkan keduanya di madrasah untuk belajar sekaligus menyambung hidup mereka. Di madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan. Imam Al Ghozali termasuk penulis yang tidak terbandingkan lagi, kalau karya imam Al Ghazali diperkirakan mencapai 300 kitab, diantaranya adalah :

Maqhasid al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafah. Tahaful al falasifah (kekacauan pikiran para filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filusuf dengan keras. Miyar al ‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu).

Ihya’ ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat. Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.

Al-ma’arif al-aqliyah (pengetahuan yang nasional). Miskyat al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf. Minhaj al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap tuhan). Al iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam aqidah).

Ajaran tasawuf Al-Ghazali, tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecendrungan yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa dan lain-lainnya. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai kepada makrifat yang membantu menciptakan (Sa’adah).

Rabiyatul Adawiyah

Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.

Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).

Ajaran tasawuf Rabi’ah berdasarkan Mahabbah (Cinta kepada Allah). Sikap dan pandangan Rabi’ah al-‘Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Cinta Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh lebung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan.

Hasan Al-Bashri

Nama lengkapnya Hasan Bin Abil Hasan Al Basri, ia dilahirkan di Madinah pada tahun terakhir dari kekhalifaan Umar bin Khattab pada tahun 21 H. Keluarganya berasal dari misan, suatu desa yang terletak antara basrah dan wasith. Kemudian mereka pindah ke Madinah. Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya secara umum. Ia dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karyanya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.
Ajaran Tasawuf Hasan Basri Abu Nain Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, “ takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan ; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah. “pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sya’rani pernah berkata, “demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri). Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini.
  • Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentran yang menimbulkan perasaan takut.
  • Dunia adalah negeri tempat beramal.barang siapa bertemu dunia dengan perasaanbenci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun,barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya bertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak akan ditanggungnya.”
  • “tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal ataas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun banyakya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat ating dan pergi serta penuh tipuan.”
  • “dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.”
  • “orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut ; takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
  • “hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.”Banyak duka cita didunia memperteguh semangat amal saleh.” 





sumber

Post a Comment