Maqamat dalam Tasawuf

Maqam sering dipahami oleh para sufi sebagai tingkatan, yaitu tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhan nya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.

Menurut Abdurrazaq Al-Qasami, maqam adalah pemenuhan terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Jika seseorang belum memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam suatu maqam, ia tidak boleh naik ke jenjang yang lebih tinggi.

Di kalangan kaum sufi urutan maqam berbeda-beda. Al-Ghazali memberikan urutan maqam seperti berikut: taubat, sabar, syukur, khusuf, raja’, tawakkal, mahabbah dan syauq.

Menurut Ibnu Arabi dalam Al-Futuhat Al-Makiyyah, menyebutkan enam puluh maqam dan berusaha menjelaskan secara rinci tetapi tidak memperdulikan sistematika maqam tersebut.

Tahapan maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri atas taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakkal dan ridha

Taubat

Dalam ajaran tasawuf konsep taubat di kembangkan dan mendapat berbagai macam pengertian. Namun yang membedakan antara taubat dalam syariat biasa dengan maqam taubat dalam tasawuf diperdalam dan dibedakan antara taubatnya orang awam dengan orang khawas. Dalam hal ini dzu al-Nun an-Mishri mengatakan : “Taubatnya orang-orang awam taubat dari dosa-dosa, taubatnya orang khawas taubat dari ghoflah (lalai mengingat tuhan)”. Bagi golongan khowas atau orang yang telah sufi, yang di pandang dosa adalah ghoflah (lalai mengingat tuhan). Ghoflah itulah dosa yang mematikan. Ghoflah adalah sumber munculnya segala dosa. Dengan demikian taubat adalah merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghoflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat tuhan sepanjang masa.

Wara’

Dalam risalah al-qusyairiyah banyak membahas tentang makam wara’ beserta pandangan atau rumusan para sufi tentang hal ini. Wara’ adalah meninggalkan hal yang syubhat: tarku syubhat yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya.

Wara’ itu ada dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Allah. Dan wara’ batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali Allah SWT.

Zuhud

Sesudah maqam wara’ di kuasai mereka baru berusaha mengapai maqam (station) di atasnya, yakni maqam zuhud. Berbeda dengan wara’ yang pada dasarnya merupakan laku menjahui yang syubhat dan setiap yang haram, maka zuhud pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin dan tidak mengutamakan kesenangan duniawi.

Adapun zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasaranya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang apabila bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam tasawuf diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada dasarnya dibedakan zuhud pada tingkat awal (biasa) dan zuhud bagi ajaran sufi.

Fakir

Al-Faqr adalah tiidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.

Sabar

Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah maqam fakir. Karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir orang harus mencapai maqam fakir. Tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam penderitaan dan kepincangan. Oleh karena itu harus melangkah ke maqam sabar.

Tawakal

Tasawuf menjadikann maqam tawakkal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah.

Ridho

Setelah mencapai maqam tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Alloh, meniggalkan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam. Maqam ridho adalah ajaran menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana di katakana imam ghozali, rela menerima apa saja.

Post a Comment