HUMANISME ISLAM ABAD XXI




Apakah humanisme Islam dapat diimplementasikan dalam pelataran hidup umat manusia pada abad XXI, ternyata merupakan sebuah tanda tanya besar. Tetap tak ada jawaban pasti hingga kini, apakah humanisme Islam memiliki tempat yang istimewa dalam perkembangan sejarah kaum Muslim pada abad XXI.

Memang, Islam hadir sebagai agama berpengaruh di dunia justru karena mengandung ajaran yang menjunjung tinggi humanisme. Islam memandang bermakna kehidupan umat manusia (Al Qur’an, 21/Al Anbiyaa’: 10).

Itulah mengapa, sejak abad X Islam berhasil mendorong lahirnya kebudayaan dan peradaban yang kemudian memberikan penekanan pada pentingnya warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai “Renaisans Islam”. Sekitar dua abad kemudiaan setelah itu, yakni pada abad XII, Renaisans Islam diduplikasi oleh Renaisans Barat .Apa yang kemudian bisa disimpulkan adalah ini. Jika Renaisans Islam pada abad X merupakan momentum waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno, maka Renaisans abad XII di Barat merupakan sebuah kurun waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan Yunani Kuno dan warisan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.

Realitas Suram

Pertanyaannya kemudian, apakah pengalaman historis memasuki fase Renaisans abad X itu dapat humanisme?

Ternyata, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidaklah cukup mengembirakan. Abad XXI kini justru ditandai oleh munculnya apa yang disebut the problem with Islam (lihat Sam Harris, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason [London: The Free Press, 2005], hlm. 108-152). Etika, epistemologi dan praksis kehidupan umat Islam kini tak sejalan dengan cita-cita humanisme Islam yang muncul pada abad X. Realitas yang terbentang dalam kehidupan kaum Muslim pada abad XXI kini justru mengingkari keagungan Islam sendiri sebagai agama yang mampu menyuntikkan spirit untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan (Al Qur’an, 58/Al Mujaadilah:11).

Umat Islam malah lekat dengan gambaran radikalisme, terorisme dan keterbelakangan dalam bidang sosial maupun ekonomi. Umat Islam yang besar secara kuantitas bukanlah kekuatan yang berdiri di garda depan perkembangan dahsyat ilmu pengetahuan dan filsafat. Umat Islam benar-benar laksana buih di lautan yang dihempaskan ombak ke pantai. Para cendekiawan Muslim yang sadar akan kenyataan ini lantas berhadapan dengan pertanyaan besar: Apakah abad XXI kini merupakan episode keterjatuhan umat Islam hingga pada titik nadir yang sangat dalam?

Realitas suram dalam kehidupan umat Islam pada abad XXI dapat disimak pada berbagai kontras yang terjadi antara dulu dan kini. Ketika para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan berhasil menemukan aljabar, mengembangkan ilmu pengetahuan eksperimental serta menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles dalam bidang filsafat, humanisme Islam abad X sesungguhnya memiliki bentuk secara lebih kongkret dibandingkan dengan humanisme sekuler yang berkembang kemudian di Eropa sejak sekitar abad XII. Mengingat tak pernah ada jejak anti-ilmu pengetahuan yang tertoreh ke dalam Al Qur’an, maka warisan paling berharga dari Renaisans Islam adalah the great kingdom of reason.

Itulah mengapa, secara substansial, kaum Muslim tak pernah berada dalam satu titik pertentangan antara rasio dan dan wahyu (reason and revelation).

Sebagaimana tampak pada pengaruhnya di Eropa Barat melalui jalan penyebaran Islam di Spanyol, keberagamaan kaum Muslim benar-benar melahirkan kebudayaan dan peradaban. Sementara, kebudayaan dan peradaban itu memberi tempat secara terhormat kepada humanisme. Sayangnya, kenyataan itu tak cukup diapresiasi pada abad XXI kini. Umat Islam telah mencerai-beraikan keyakinan keagamaan mereka dengan humanisme. Tak mengherankan jika muncul pola-pola keberagamaan yang garang, tetapi kemudian dibanggakan sebagai suatu bentuk keber-Islam-an yang gagah perkasa.

Pada berbagai negara bangsa dengan umat Islam sebagai yang terbesar secara demografis, perbenturan wahyu dan rasio benar-benar mengemuka sebagai persoalan. Tragisnya lagi, persoalan tersebut mengejawantah ke dalam dunia politik. Praktik keberagamaan Islam dalam konteks ini benar-benar kehilangan watak humanistiknya. Atas nama Islam, sekelompok orang dengan mudahnya mengembangkan radikalisme dan terseret ke dalam aksi-aksi teror. Bukan saja umat Islam semakin tampak gamblang kejumudannya, lebih dari itu ekspresi keber-Islam-an kaum Muslim telah sedemikian rupa mengingkari arti penting penghargaan terhadap humanisme.

Islam di Indonesia

Di Indonesia, umat Islam mengambil pilihan-pilihan politik tanpa disertai oleh kesadaran yang utuh terhadap tantangan humanisme abad XXI. Berapa banyak partai Islam yang lahir selama kurun waktu pasca-Orde Baru, ternyata tidaklah memiliki kejelasan koherensi dengan tantangan untuk kembali mengutuhkan humanisme Islam yang begitu agung sebagaimana tampak pada perkembangan selama abad X. Partai-partai Islam justru hadir hanya untuk mempertegas kecenderungan politisasi agama. Dengan demikian berarti, Islam hanya dijadikan basis legitimasi untuk meraih kekuasaan politik. Maka, bukan hal yang aneh jika kehadiran partai-partai Islam selama kurun waktu pasca-Orde Baru tak berbanding lurus dengan Renaisans Islam. Bahkan, Renaisans Islam tak tercakup ke dalam agenda partai politik Islam.

Dalam contoh soal lahirnya qanon atau peraturan daerah di Aceh berisikan hukum jinayat, sekali lagi sebuah persoalan dalam kaitannya dengan humanisme Islam muncul ke permukaan. Salah satu bentuk sanksi yang disahkan dalam hukumjinayat itu adalah hukuman rajam hingga meninggal dunia bagi pelaku zina yang terbukti serta pelakunya sudah memiliki pasangan resmi atau telah menikah. Partai-partai Islam yang mendukung qanon ini sesungguhnya tak cukup memiliki argumentasi untuk menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum jinayat koherens dengan humanisme Islam pada abad XXI. Seorang politikus dari sebuah partai Islam hanya berbicara tentang tak adanya alasan untuk menunda pengesahan dan penerapan hukum jinayat dan hukum acara jinayat di Aceh. Namun apa landasan pelaksanaan hukum jinayat sejalan dengan realitas sosiologis masyarakat Aceh, ternyata tak pernah jelas filosofinya.

Dalam humanisme Islam, manusia didewasakan untuk mencapai kesadaran eksistensial melalui pedagogi yang bersifat dialogis. Humanisme Islam meniscayakan tak adanya distorsi antara dimensi sakral dan profan, baik pada realitas hidup personal yang kreatif maupun dalam orde kemasyarakatan yang dinamis. Artikulasi peran sosiologis seseorang di tengah kancah kehidupan publik dipersyaratkan oleh tak adanya benturan antara dimensi sakral dan profan (Al Qur’an, 91/Asy-Syams: 9). Pedagogi dalam konteks humanisme Islam melahirkan perilaku sakral dalam ruang profan. Inilah hakikat rahmatan lil ‘alamin dalam maknanya yang hakiki. Maka, masyarakat zero perzinaan bukanlah resultante dari berlakunya hukum jinayat, tetapi lebih karena berlangsungnya pedagogi humanisme Islam.

Masyarakat zero perzinahan, dengan demikian, dikonstruksi melalui: (1) ketepatan materi dan proses pengajaran dalam dunia pendidikan, (2) terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi, serta (3) terselenggaranya kesetaraan gender dalam relasi maskulinitas-feminitas. Ini berarti, dibutuhkan cara hidup berbangsa dan bernegara berlandaskan pada kebenaran. Tentu saja, pembicaraan tentang perzinahan dalam konteks ini hanyalah sebuah contoh soal yang mengilustrasikan adanya jalan pragmatis partai-partai politik Islam.

Mereka lebih memilih upaya-upaya heroik melalui jalan legal-formal ketimbang mengambil opsi pedagogis ke arah terwujudnya humanisme Islam. Jelas pada akhirnya, bahwa pada abad XXI Islam di Indonesia belum merupakan sesuatu yang menarik. Seperti di belahan dunia Muslim yang lain, Islam di Indonesia masih harus bercermin untuk memperbaiki diri. Dan apa boleh buat, cermin itu adalah Renaisans Islam yang pernah ada dalam sejarah.



sumber

Post a Comment