Dalil Dakwah

Dakwah merupakan kewajiban yang syar’i. Hal ini sebagaimana tercantum di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Beberapa Ayat Dakwah

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16]:125)


وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran [3]: 104)

Beberapa Hadits Dakwah

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
(رواه صحيح مسلم)

Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman”


اَنْفِذْ عَلَى رَسُلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ اُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ وَأَخْبِرْهُمْ بـِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ فِيْهِ فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
رواه البخارى

“Ajaklah mereka memeluk Islam dan beritahu mereka apa-apa yang diwajibkan atas mereka yang berupa hak Allah di dalamnya. Demi Allah, Allah memberi petunjuk kepada seseorang lantaran engkau, adalah lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah”

Pengertian Hutang Piutang dalam Islam

Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardhu. Makna Al-Qardhu secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qardhu yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardhu, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.

Hutang (qardhu) adalah harta yang diberikan oleh kreditor (pemberi hutang), agar debitor mengembalikan yang serupa dengannya kepada kreditor ketika telah mampu.[1] Sedangkan dalam terminologi fiqh mu’amalah, utang piutang disebut dengan “dain” Istilah “dain” ini juga sangat terkait dengan istilah “qardhu” (قشض ) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman. Dari sini nampak bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara “dain” dan “qardhu” (قشض) dalam bahasa fiqh mu’amalah dengan istilah utang piutang dan pinjaman dalam bahasa Indonesia.

Pertama, dalam terminologi fiqh mu’amalah, pinjaman yang mengakibatkan adanya utang disebut dengan “qardhu” (قشض ). Qardhu (قشض ) dalam pengertian fiqh diartikan sebagai perbuatan memberikan hak milik untuk sementara waktu oleh seseorang pada pihak lain dan pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan tanpa mengambil imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya kepada pihak pemberi pinjaman.[2]

Kedua, dalam bahasa perbankan pemberian utang atau pembiayaan disebut dengan “kredit”. Kata “kredit” secara kebahasaan berasal dari kata credo yang dalam pengertian keagamaan berarti kepercayaan. Adapun pengertian kata credo yang terkait dengan masalah financial adalah memberikan pinjaman uang atas dasar kepercayaan.[3]

Utang dalam pengertian masyarakat berarti menerima pinjaman dari pihak lain yang harus dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang dilakukan ketika transaksi. Secara umum, ketiga istilah di atas tidak mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Adanya perbedaan istilah antara utang, kerdit, dan dain hanya perbedaan bahasa saja yang dalam pengertian umum masyarakat tidak berbeda.

Utang piutang juga dikatakan penyerahan harta berbentuk uang untuk dikembalikan pada waktunya dengan nilai yang sama. Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa ia (orang yang meminjam) akan mengembalikan sesuatu tadi sejumlah yang diterimanya dalam jangka waktu tertentu.


[1] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Jakarta : PT Pena Pundi Aksara, 2009), h. 115.
[2] http://bmtzkapatuk.wordpress.com.
[3] Ibid

Politik Ekonomi Islam

Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia. Sedangkan politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (bacis needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan taip orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagi individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Oleh karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah Negara semata, tanpa memperhatikan terjamin tidaknya tiap orang menikmati kehidupan tersebut.

Ketika mensyariatkan hukum-hukum ekonomi pada manusia. Islam telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut kepada pribadi. Dengan itu, hokum-hukum syara’ telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan primer tiap warga Negara Islam secara menyeluruh, sebagai sandang, pangan, dan papan. Jelaslah bahwa Islam tidak memisahkan antara manusia dan eksistensinya sebagai manusia, serta antara eksistensinya sebagai manusia dan pribadinya. Islam juga tidak perah memisahkan antara anggapan tentang jaminan pemenuhan kebutuhan primer yang dituntut oleh masyarakat dengan masalah mungkin-tidaknya terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier mereka. Akan tetapi Islam telah menjadikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan apa yang dituntut oleh masyarakat sebagai dua hal yang seiring, yang tidak mungin dipisahkan antara satu dengan yang lain. Justru Islam menjandikan apa yang ditutuntut oleh masyarakat tersebut sebagai asa (dasar pijakan) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada.

Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut. Adalah fardhu. Allah swt. Berfirman:

“Maka, berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya.” (QS. Al-Mulk: 15) 

Banyak hadist yang mendorong agar mencari harta. Dalam sebuah hadist: Bahwa Rasulullah saw telah menyalami tangan Sa’ad bin Mu’adz r.a., dan ketika itu kedua tangan Sa’ad ngapal (bekas-bekas karena dipergunakan kerja). Kemudian hal itu ditanyakan oleh Nabi saw., lalu Sa’ad menjawab: “Saya selalu mengayunkan skrop dan kapak untuk mencari nafkah keluargaku.” Kemudian Rasulullah saw. menciumi tangan Sa’ad dengan bersabda: “ (Inilah) dua telapak tangan yang disukai oleh Allah swt.” Rasulullah saw juga bersabda: “Tidaklah seseorang makan sesuap saja yang ebih baik, selain ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”

Karaktersitik Ekonomi Islam


a. Harta kepunyaan Allah dan Manusia merupakan Khalifah atas harta.
  • Semua harta baik benda maupun alat-alat produksi adalah milik Allah SWT. Seperti tercantum dalam QS. Al-Baqarah ayat 284. “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
  • Manusia adalah khalifah atas harta miliknya. Seperti tercantum dalam surat al-Hadiid ayat 7. Terdapat pula sabda Rasulullah yang juga menjelaskan bahwa segala bentuk harta yang dimiliki manusia pada hakikatnya adalah milik Allah SWT semata dan manusia diciptakan untuk menjadi khalifah “ Dunia ini hijau dan manis. Allah telah menjadikan kamu khalifah (penguasa) di dunia. Karena itu hendaklah kamu membahas cara berbuat mengenai harta di dunia ini”.

b. Ekonomi Terikat dengan akidah, Syariah (Hukum), dan Moral
Bukti-bukti hubungan ekonomi dan moral dalam islam:
  • Larangan terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau kepentingan masyarakat. Sabda Rasulullah “ Tidak boleh merugikan diri sendiri dan juga orang lain” (HR. Ahmad)
  • Larangan melakukan penipuan dalam transaksi, ditegaskan dalam Sabda Rasulullah “Orang-orang yang menipu kita bukan termasuk golongan kita”.
  • Larangan menimbun emas, perak atau sarana moneter lainnya sehingga dapat mencegah peredaran uang dan menghambat fungsinya dalam memperluas lapangan produksi. Hal ini sperti tercantum dalam QS 9:34.
  • Larangan melakukan pemborosan karena dapat menghancurkan individu dalam masyarakat.
c. Keseimbangan antara Kerohanian dan Kebendaan
Aktivitas keduniaan yang dilakukan manusia tidak boleh bertentangan atau bahkan mengorbankan kehidupan akhirat. Apa yang kita lakukan hari ini adalah untuk mencapai tujuan akhirat kelak. Prinsip ini jelas berbeda dengan ekonomi kapitalis maupun sosialis yang hanya bertujuan untuk kehidupan duniawi saja. Hal ini jelas ditegaskan oleh surat al-Qashash ayat 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. “

d. Ekonomi Islam Menciptakan Keseimbanagan Antara Kepentingan Individu dengan Kepentingan umum.
Islam tidak mengakui hak mutlak dan atau kebebasan mutlak, tetapi mempunyai batasan-batasan tertentu termasuk dalam hak milik. Hal ini tercantum dalam surat Al Hasyr ayat 7, al maa’uun ayat 1-3, serta surat al-Ma’arij ayat 24-25.

e. Kebebasan individu dijamin dalam islam
Islam memberikan kebebasan tiap individu untuk melakukan kegiatan ekonomi namun tentu saja tidak bertentangan dengan aturan AlQuran dan AsSunnah, seperti tercantum dalam surat al Baqarah ayat 188.

f. Negara diberi kewenangan turut campur dalam perekonomian
Dalam islam, Negara berkeawjiban melindungi kepentingan masyararakat dari keridakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang taupun dai negara lain, berkewajiban memberikan kebebasan dan jaminan sosial agar seluruh masyarakat dapat hidup dengan layak. Seperi sabda Rasulullah “ Brangsiapa yang meninggalkan beban, hendaklah dia datang kepada-Ku, karena akulah maula (pelindung)nya” (Al-Mustadrak oelh Al-Hakim).

g. Bimbingan konsumsi
Dalam hal konsumsi, islam melarang hidup berlebih-lebihan, terlalu hidup kemewahan dan bersikap angkuh. Hal ini tercermin dalam surat al-A’raaf ayat 31 seta Al-Israa ayat 16.

h. Petunjuk investasi
Kriteria yag sesuai daalm melakukan investasi ada 5:
  • proyek yang baik menurut islam
  • memberikan rezeki seluas mungkin pada masyarakat
  • memberantas kekafiran,memperbaiki pendapatan dan kekayaan
  • memelihara dan menumbuhkembangkan harta
  • melindungi kepentingan anggota masyarakat.

i. Zakat
Adalah karakteristik khusus yang tidak terdapat daalm system ekonomi lainnya manapun, penggunaannya sangat efektif guna melakukan distribusi kekayaan di masyarakat. Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur social Islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Setiap muslim yang memenuhi syarat tertentu, berdasarkan dalil :
Surat at-Taubah 103

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.


j. Larangan riba
Islam sangat melarang munculnya riba (bunga) karena itu merupakan salah satu penyelewengan uang dari bidangnya. Seperi tercermin dalam surat al-baqarah ayat 275.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

Larangan riba dalam islam bertujuan membina suatu bangunan ekonomi yang menetapkan bahwa modal itu tidak dapat bekerja dengan sendirinya, dan tidak ada keuntungan bagi modal tanpa kerja dan tanpa penempatan diri pada resiko sama sekali. Karena itu Islam secara tegas menyatakan perang terhadap riba dan umat islam wajib meninggalkannya, akan tetapi islam menghalalkan mencari keuntungan lewat perniagaan (QS. 83:1-6)

Sumber Ekonomi Islam

1. Alquranul Karim
Alquran adalah sumber utama, asli, abadi, dan pokok dalam hukum ekonomi Islam yang Allah SWT turunkan kepada Rasul Saw guna memperbaiki, meluruskan dan membimbing Umat manusia kepada jalan yang benar. Didalam Alquran banyak tedapat ayat-ayat yang melandasi hukum ekonomi Islam, salah satunya dalam surat An-Nahl ayat 90 yang mengemukakan tentang peningkatan kesejahteraan Umat Islam dalam segala bidang termasuk ekonomi.

2. Hadis dan Sunnah
Setelah Alquran, sumber hukum ekonomi adalah Hadis dan Sunnah. Yang mana para pelaku ekonomi akan mengikuti sumber hukum ini apabila didalam Alquran tidak terperinci secara lengkap tentang hukum ekonomi tersebut.


3. Ijma'

Ijma' adalah sumber hukum yang ketiga, yang mana merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun cara cendekiawan Agama, yang tidak terlepas dari Alquran dan Hadis.


4. Ijtihad atau Qiyas

Ijtihad merupakan usaha meneruskan setiap usaha untuk menemukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Sedangkan qiyas adalah pendapat yang merupakan alat pokok ijtihad yang dihasilkan melalui penalaran analogi.


5. Istihsan, Istislah dan Istishab

Istihsan, Istislah dan Istishab adalah bagian dari pada sumber hukum yang lainnya dan telah diterima oleh sebahagian kecil oleh keempat mazhab.

Ekonomi Islam

Sudut pandang Ekonomi Syariah berdasarkan Ekonomi Keseimbangan adalah suatu pandangan islam terhadap hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat menurut Syariah Islam tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis, dan juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetap Islam mengakui hak individu dan masyarakat.

Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun ironinya, pada saat ini justru ummat Islam yang terpuruk dalam ekonomi. Bahkan lebih parah lagi, Islam dianggap sebagai factor penghambat dalam pembangunan ekonomi. Padahal, jika ummat Islam konsisten terhadap ajaran agamanya, maka jalan menuju kesejahteraan sebenarnya terbuka lebar, karena Al Qur’an sebagai Kitab Suci dalam berbagai ayatnya mengajarkan motivasi dalam berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sistem Ekonomi Syariah mengakui adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha, dan resiko. Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara yang kaya dengan yang miskin karena kesenjangan yang terlalu dalam tidak sesuai dengan Syariah Islam yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan saja karunia dari Allah bagi semua manusia, melainkan juga merupakan amanah.

Dalam sistem ekonomi syariah dikenal beberapa bentuk kemitraan dalam berusaha, namun yang umum dikenal ada 2 (dua), yaitu Mudharabah dan Musyarakah.

Mudharabah adalah sebuah bentuk kemitraan di mana salah satu mitra, yang disebut “shahibul-maal” atau “rabbul-maal” (penyedia dana) yang menyediakan sejumlah modal tertentu dan bertindak sebagai mitra pasif, sedangkan mitra yang lain disebut “mudharib” yang menyediakan keahlian usaha dan manajemen untuk menjalankan ventura, perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan mendapatkan laba.

Musyarakah merupakan suatu bentuk organisasi usaha di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi sama atau tidak sama. Keuntungan dibagi menurut perbandingan yang sama atau tidak sama, sesuai kesepakatan, antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal.

Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.

عليكم بالتجارة فان فيها تسعة اعشار الرزق
( رواه احمد)

“ Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu rezeki ada dalam bisnis” 
(H.R.Ahmad).

Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.

Prof. Dr. Muhammad N. Ash-Shiddiqy, dalam buku “Muslim Economic Thinking” meneliti 700 judul buku yang membahas ekonomi Islam. (London, Islamic Fountaion, 1976). Dr. Javed Ahmad Khan dalam buku Islamic Economics & Finance : A Bibliografy, (London, Mansell Publisihing Ltd) , 1995 mengutip 1621 tulisan tentang Ekonomi Islam.

Haramnya Shalat Berjamaah Bersama Orang yang Bukan Mahram

Haramnya Shalat Berjamaah Bersama Orang yang Bukan Mahram
“Tanpa ada mahram yang mendampingi”

Syari’at merupakan perintah Allah bagi seluruh hamba-Nya dan haruslah ditaati, karena hal tersebut merupakan kewajiban bagi kita sebagai hamba-Nya. Syari’at bukanlah sinonim dari fiqih, karena syari’at lebih luas dari pada fiqih. Lapangan syari’at lebih luas dari lapangan fiqih, karena lapangan syari’at adalah apa yang tercakup dalam ilmu kalam (tauhid) dan ilmu fiqih, atau dalam bahasa lain fiqih adalah sebagian dari isi syari’at karena pengertian syari’at adalah keseluruhan agama, bukan hanya fiqih saja.[1] Syari’at merupakan perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia atau dapat dikatakan norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, dan bahkan manusia dengan alam semesta.
Syari’at juga membahas masalah shalat lima waktu dan shalat berjamaah dan hal ini termasuk salah satu norma-norma yang telah Allah tetapkan, dan itu haruslah  dilaksanakan, karena apa yang Allah wajibkan untuk para hamba-Nya harus dilaksanakan dan dosa adalah buah dari melalaikan perintah Allah.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang syari’at menegakkan shalat berjamaah bagi dua orang yang bukan muhrim. Syari’at menegakkan shalat lima waktu adalah wajib bagi para pemeluk agama Islam, namun dalam mengerjakan shalat tentu ada aturan-aturan yang terdapat didalamnya yang mana aturan-aturan itu telah Allah tetapkan dalam al-Qur’an dan itu merupakan syari’at yang disampaikan melalui Rasul-Nya untuk para hamba-Nya agar tidak ada kesesatan yang nyata dalam pengerjaannya. Dalam shalat berjamaah ada banyak perkara yang harus diperhatikan dan dipelajari lebih dalam.
Dalam kasus yang menjadi judul makalah ini misalnya, ada seseorang mengatakan bahwa shalat berjamaah itu haram jika seorang laki-laki mengimami wanita yang belum menjadi mahramnya. Maka dari itu penulis akan membahas masalah itu dengan berlandaskan dalil-dalil yang sahih agar tidak terdapat perdebatan yang tidak berkesudahan.
Melaksanakan shalat berjamaah tentu ada tata caranya beserta rukun-rukunnya, yang mana hal-hal tersebut harus kita pahami sehingga shalat kita dapat berjalan dengan baik dan khusyu. Namun sebelum kita membahas kasus ini, alangkah baiknya jika kita mengetahui lebih mendalam apa itu pengertian syari’at baik pengertian secara menurut bahasa maupun menurut istilah beserta definisi syari’at menurut para ulama.
Banyak sekali buku yang membahas pengertian syari’at, yang pada intinya mengandung makna atau arti yang sama, dan berikut ini beberapa pengertian syari’at yang dapat ditemukan dalam beberapa sumber tertulis:
Kata syari’at merupakan mashdar dari kata syar’ yang berarti sesuatu yang dibuka untuk mengambil yang ada didalamnya. Syari’at adalah perintah Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia.[2]
Syari’at semula mempunyai arti “jalan kepada sumber air” atau “lembah yang menurun menuju air”. Secara harfiah, kata syara’a berarti “ menggambar jalan yang jelas menuju kepada sumber air”. Dalam penggunaan yang bersifat keagamaan, kata ini berarti “jalan kehidupan yang baik” yakni nilai-nilai keagamaan yang dinyatakan secara fungsional dan dalam makna yang konkret, yang bertujuan mengarahkan perilaku kehidupan manusia.[3]
 Syari’at adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial, maupun hubungan manusia dengan mahluk lainnya didalam lingkungan hidupnya.[4]
Sedangkan menurut istilah yang dikemukakan para ahli, syari’at memiliki beberapa pengetian, yaitu:
Pertama, syari’at menurut Syaltut, adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah yang ditujukan bagi segenap hamba-Nya untuk diikuti.
Kedua, syari’at menurut Muhammad Sa’id ash-Ashmawi, pada awalnya berarti “jalan Allah” pengertian itu mencakup aturan-aturan hukum yang diwahyukan dalam al-Qur’an dan aturan-aturan yang termuat dalam Hadits, dan selanjutnya tafsir, pendapat, ijtihad, fatwa ulama, serta keputusan hakim.
Ketiga, syari’ah, menurut Yusuf al-Qardlawi, adalah hukum-hukum yang tetap yang disyari’atkan oleh Allah melalui dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan hal-hal yang merupakan cabang darinya seperti ijma, qiyas, dan dalil-dalil lain.
Keempat, syari’ah, menurut ilmu Taimiyah, adalah konsep yang komprehensif yang mencakup kebenaran spiritual sufi, kebenaran rasional para filsuf dan teolog, dan hukum.
Kelima, syari’ah, menurut Amir syarifuddin, adalah hukum atau aturan hukum yang ditetapkan Allah yang menyangkut tingkah laku manusia.[5]
Dari beberapa pengertian dan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa syari’at adalah sekumpulan aturan atau ketentuan yang berisi perintah, larangan hukum (syari’at) yang ditetapkan Allah di dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh rasul-Nya untuk mengatur dan membina serta membatasi tindakan mukallaf untuk mencapai tujuan kehidupan yang baik sehingga jauh dari kerugian bahkan kesesatan di dunia dan juga kerugian di akhirat.
Setelah kita mengetahhui apa itu syari’at, maka sekarang kita akan membahas salah satu hal yang berkaitan dengan syari’at, yaitu tentang shalat. Shalat adalah kewajiban bagi umat muslim, shalat ada yang sunnah seperti shalat tarawih, shalat malam, shalat dhuha dan masih banyak lagi. Sedangkan  untuk shalat wajib, hanya ada lima atau yang biasa kita sebut shalat lima waktu. Dalam pengerjaan shalat wajib, alangkah baiknya jika dilakukan secara berjamaah, karena kita akan mendapat pahala berlipat ganda dibandingkan shalat wajib sendirian.
Dalam shalat berjamaan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan mulai dari rukun-rukunnya, tata caranya, dan juga keutamaannya. Karena shalat bukanlah perkara yang dapat dianggap sepele. Shalat adalah menjadi penghubung kita kepada Allah, shalat sudah menjadi sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah kepada kita hamba-Nya melalui Rasul-Nya.
Namun dalam mengerjakan shalat berjamaah harus sesuai apa yang telah disyari’atkan dan jangan mengerjakan shalat di luar syari’at atau dapat dikatakan shalatnya tidak memiliki landasan pengetahuan tentang shalat berjamah. Seperti shalatnya laki-laki yang mengimami wanita yang bukan mahramnya. Karena Islam menegaskan diharamkannya bagi laki-laki berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahramnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, Nabi SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita melainkan ketiganya adalah setan”. (HR Tirmidzi dan Ahmad). Dan dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali bersama mahramnya...” (HR Bukhori:3006,523, Muslim 1341, lihat Mausu’ah al-Manahi Asy-Syari’ah 2/102)
Oleh karena itu, jika shalatnya seorang wanita sebagai makmum di belakang seorang laki-laki yang bukan mahram menjadikan mereka berdua-duaan (khalwat), hukumnya tidak boleh karena ini menjadi sebab kepada sesuatu yang haram. Dan dalam kaidah fiqih dijelaskan sesuatu yang menyebabkan kepada yang haram maka hukumnya adalah haram. (as-Syarh al-Mumthi’, 4/25)
Dalam kitab, (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 4/277). Imam Nawawi menyatakan makruh hukumnya seorang laki-laki shalat dengan seorang wanita yang asing (bukan mahramnya) yang mana hal ini berlandaskan hadits Nabi SAW di atas. Lalu Imam Nawawi menegaskan yang dimaksud dengan makruh di sini adalah makruh tahrim (yaitu perkara yang diharamkkan dalam syariat dan dosa adalah konsekuensi yang akan didapat jika melakukannya, tapi berdasarkan dalil yang bersifat dzanni), yaitu jika laki-laki itu menjadi berdua-duaan dengan wanita tersebut.
Imam Nawawi melanjutkan, “Ulama mazhab Syafi’i mengataakan”, jika seorang laki-laki mengimami istri atau mahramnya dan berdua-duaan dengannya, hukumnya boleh karena ia dibolehkan berdua-duaan dengannya diluar waktu shalat. Sedangkan jika ia mengimami seorang wanita asing dan berdua-duaan dengannya maka itu diharamkan bagi laki-laki dan wanita tersebut berdasarkan hadits Nabi SAW, Ibnu Abbas RA pernah meriwayatkan, Ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan perempuan kecuali disertai seorang mahram, dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya.” Lalu, ada seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya termasuk yang terdaftar dalam perang ini dan itu, sedangkan istriku keluar untuk menunaikan ibadah haji.” Maka, Beliau bersabda, “Pergilah berhaji bersama istrimu.” (HR. Muttafaq alaih).[6]
Tetapi jika seorang laki-laki mengimami seorang wanita yang bukan mahramnya dengan ditemani seorang laki-laki lain atau mahramnya, maka hukumnya tidak jatuh haram. Hal ini dikarenakan di dalam shalat berjamaah tersebut telah terdapat mahram yang menyertainya.
Mengapa hal semacam ini diharamkan. Selain karena dalil yang telah tercantum di dalam hadits Nabi SAW, tentu masih ada alasan lain, yaitu menghindari fitnah. Sekalipun dalam kondisi ibadah, kita diperintahkan untuk meknghindari segala macam bentuk fitnah. Tak terkecuali fitnah syahwat. Untuk itu alangkah baiknya jika seseorang ingin melakukan shalat berjamaah didampingi oleh mahramnya dan jangan berdua-duaan.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa, syari’at merupakan ketentuan hukum Allah yang pasti dan harus ditaati yang mana syari’at yang telah Allah tetapkan itu terdapat di dalam al-Qur’an. Termasuk juga syari’at-Nya mengenai perintah shalat yang menjadi kewajiban bagi hamba-hambaa-Nya.
            Beberapa hal yang telah dijelaskan di atas terdapat beberapa alasan ulama tentang mengapa mengimami shalat berjamaah seorang wanita yang bukan mahram itu haram. Seperti landasana Imam Syafi’i yang menilai haramnya shalat berjamaah semacam ini adalah karena adanya larangan untuk berduaan bagi laki-laki terhadap wanita yang bukan mahramnya.
Hukum haram dijatuhkan karena adanya kondisi berdua-duaan, yang mana hal itu terlarang secara syariat, sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Israa’, (17: 32)  yang artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah sesuatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. Islam menutup rapat-rapat segala macam hal yang dapat menghantarkan seorang hamba kepada perbuatan yang keji, dan berdua-duaan bersama seseorang yang bukan muhrim adalah salah satu jalan itu dan harus dihindari baik dengan cara apapun.
Dalam shalat terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, karena jika shalat yang dikerjakan tidak sesuai apa yang telah disyari’atkan, maka kemungkinan besar ibadah kita yaitu shalat kita tidak akan diterima oleh Allah.
Shalat berjamaah yang dijatuhi hukum makruh tahrim adalah karena seorang laki-laki mengimami seoarang wanita yang bukan mahramnya. Sebenarnya hal semacam itu dapat dihindari dengan cara mengajak atau mengikut sertakan seorang mahram dalam shalat berjamaah.

Ali, Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar                 Grafika, 2006
Baits, Ammi Nur. Shalat Jamaah Berdua dengan Wanita yang Bukan Mahram, Diakses 05 September 2015, pukul 17.50 WIB. http://www.konsultasisyariah.com/shalat-jamaah-berdua-dengan-wanita-yang-bukan-mahram-hukumnya-haram/
Bahri, Syamsul. Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta: Teras, 2008
Dahlan, Muhammad. Epistemologi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Hanafi, Ahmad. Pengantar Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984



[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam  (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal 10
[2] Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Teras, 2008), hal 79
[3] Muhammad Dahlan, Epistemologi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 84
[4] Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 3
[5] Ibid., hal 85
[6] Ammi Nur Baits, Shalat Jamaah Berdua dengan Wanita yang Bukan Mahram, http://www.konsultasisyariah.com/shalat-jamaah-berdua-dengan-wanita-yang-bukan-mahram-hukumnya-haram/. Diakses 05 September 2015, pukul 17.50 WIB.

Oleh: Agus Hardiyanto
Nim : 14820061

REGULASI TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

REGULASI TENTANG PERKAWINAN

A. PENDAHULUAN

            Sebelum Indonesia merdeka masalah pencatatan nikah, talak dan rujuk diatur dalam Huwelijksordonantie S. 1929 No. 248 Jo. S. 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijkordonantie Buitengewesten S. 1932 No. 482, yang kesemuanya itu merupakan peraturan  produk zaman Belanda.
            Karena peraturan tersebut diatas dianggap tidak sesuai dengan keadaan setelah Indonesia merdeka, maka dibuatlah peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pencatatan nikah, talak dan rujuk yang lebih sempurna dan memenuhi syarat keadilan sosial.
            Untuk memenuhi keinginan tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yang ditetapkan di Linggarjati  pada tanggal 21 Nopember 1946 yang berlaku untuk Pulau Jawa.  Kemudian sebagai tindak lanjutnya maka lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk diseluruh Daerah Luar Jawa dan Madura, yang disahkan di Jakarta  pada tanggal 26 Oktober 1954.
            Undang-Undang tersebut diatas, mengatur Pencatatan Nikah bagi umat Islam di Indonesia, untuk yang beragama lain diatur dalam: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Howelijks Ordonantie Christen Indonesia S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 No. 158).
            Karena begitu banyaknya Undang-Undang yang mengatur masalah perkawinan di Indonesia, maka pada tanggal 2 Januari 1974 lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.

B. LAHIRNYA UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN ASAS-ASAS YANG   DIGUNAKAN
            Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1874 tentang Perkawinan merupakan sebuah peristiwa sejarah yang penting dalam pembangunan nasional dibidang hukum Indonesia. Penyusunan Undang-undang tersebut mempunyai tujuan luhur baik dilihat dari segi hukum, segi kesejahteraan masyarakat maupun dari segi agama.
            Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diterangkan bahwa: ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa”. Rumusan pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 ini menggambarkan betapa perkawinan bukanlah sekedar menciptakan keluarga bahagia dan kekal menurut ukuran duniawi, lahiriyah dan material belaka, namun mencakup aspek bahagia dan kekal menurut ukuran ukhrowi, batiniyah dan ilahiyah yang berarti rumusan ini bersifat filosofis, abstrak, mendalam/inner dan batiniyah.
            Secara operasioanl keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa itu yang dicita-citakan oleh undang-undang ini adalah :
1.      Dimulai dari kehendak yang tulus dari masing-masing calon pengantin, diniatkan ibadah dengan memenuhi seluruh prosedur dan syarat-syarat yang ditetapkan agama;
2.      Masing pihak telah dewasa, matang kejiwaannya;
3.      Tidak bercerai;
4.      Hanya satu suami dan satu istri
5.      Dilaksanakan menurut hukum agamanya
6.      Saling cinta-mencintai, saling mengasihi, saling tolong menolong dan masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan setidaknya menganut asas: Ketuhanan Yang Maha Esa, kedewasaan pengantin, Perkawinan monogami dengan pengecualian, perceraian dipersulit, keseimbangan hak dan kedudukan suami istri.

1. ASAS KETUHANAN YANG MAHA ESA
            Perkawinan bagi orang Indonesia dipandang sebagai sesuatu yang sangat ”sakral”, salah satu bentuk ”ibadah”, bukan hanya perjanjian perdata. Masyarak Indonesia memandang bahwa perkawinan sebagai perbuatan sosial, perbuatan hukum sekaligus sebagai perbuatan ibadah seorang hamba kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. ASAS KEDEWASAAN CALON PENGANTIN
            Usia calon Pengantin berpengaruh terhadap kematangan calon pengantin baik fisik maupun mental, tingkat kesuburan dan kesehatan suami istri dan keturunannya termasuk juga dalam hal memperkecil angka perceraian karena pasangan yang belum dewasa sangat rentan dalam hal perceraian.

3. ASAS PERKAWINAN MONOGAMI DENGAN PERKECUALIAN
            Dalam sejarah, masyarakat Barat punya persepsi yang salah dan sentimen yang berlebihan tentang kedudukan poligami dalam Islam. Mereka beranggapan bahwa poligami merupakan pelecehan dan merendahkan kedudukan perempuan. Dan sekedar perbandingan, hukum perkawinan di Inggris melarang adanya poligami tapi para bangsawan (Lord) Inggris justru mempunyai mistress/istri selir/perempuan simpanan yang mereka (istri selir) itu tidak memperoleh sedikitpun harta ”suami” manakala suaminya meninggal.
            Berbeda dengan poligami yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dipandang ada jaminan sosial, penghormatan yang jauh lebih baik daripada ”pergundikan” yang ada di masyarakat. Diperbolehkannya poligami merupakan ”pintu darurat” bagi suami-istri yang ”daruri”, dan itupun dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan berat karena laki-laki yang boleh poligami harus mampu secara ekonomi, mental dan bertanggung jawab, dan yang lebih penting mendapatkan ijin dari istri sebelumnya.

4. ASAS PERCERAIAN DIPERSULIT
            Perceraian merupakn salah satu bentuk ancaman yang sangat ditakuti oleh semua keluarga manapun karena pasangan yang bercerai dianggap gagal dalam membangun rumah tangga. Besarnya angka perceraian dianggap sebagai indikator besarnya keluarga yang gagal dan tidak stabil.
            Selama tahun 2010 peristiwa perkawinan di Jawa Timur mencapai 381.389 peristiwa nikah dan angka perceraian mencapai lebih dari 65.000 peristiwa perceraian. Dan perlu diketahi bahwa seluruh Indonesia lebih dari 2 juta angka perceraian selama tahun 2010, dan Indonesia menurut Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI merupakan negara yang paling besar angka perceraiannya di dunia diantara negara Islam lainnya.
            Oleh karena itu dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dalam mempersulit angka perceraian adalah dengan syarat-syarat dan alasan-alasan yang sangat kuat yang diucapkan di depan sidang pengadilan. Alasan dan prosedur ini dituangkan dalam dalam pasal 39-40 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu: salah satu pihak atau dua-duanya zina/pemabuk yang sukar disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 tahun tanpa ijin, salah satu pihak dipenjara selama 5 tahun atau lebih, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan, salah satu pihak mendapatkan cacat badan sehingga tidak dapat melakukan fungsinya sebagai suami istri dan terus-menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan yang tidak mungkin disatukan lagi.

5. KESEIMBANGAN HAK DAN KEDUDUKAN SUAMI-ISTRI
            Perjuangan perempuan agar bisa sejajar dengan laki-laki bersifat universal, termasuk di Indonesia dilakukan melalui berbagai bidang terutama dalam ”Pengarus utamaan Gender” (PUG). Dan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 keseimbangan hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan ini dibuktikan dengan:
a.       Perkawinan harus disetujui kedua belah pihak dan tidak boleh ada pemaksaan (pasal 6 ayat 1);
b.      Pembentukan dan pembagian harta bersama (pasal 35 – 37).


c.       Kewenangan istri berbuat hukum, seperti mengelola harta bersama dan lain sebaginya (pasal 32 ayat 2)
d.      Pertumbuhan jumlah gugat cerai yang dilakukan oleh istri jauh lebih besar daripada jumlah cerai talak yang dilakukan suami, ini sebagai indikator kuat (walaupun tidak kita inginkan) bahwa hak istri sama dengan hak suami dalam hal memperjuangkan haknya sebagai manusia.

C. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
            Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan memang merupakan peraturan yang munomental, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih mengalami permasalahan yaitu :
1.      Meskipun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah berumur 40 tahun, namun pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap Undang-undang ini masih sangat rendah, maka perlu adanya penyuluhan dan sosialisasi yang lebih terencana, terpadu dan terus menerus dengan melalui berbagai media;
2.      Perlunya penegasan perkawinan antar agama, perkawinan orang-orang yang beragama selain agama yang diakui oleh pemerintah, perkawinan menurut tata cara aliran kepercayaan dan perkawinan adat. Hal ini perlu penegasan dan penjelasan agar masyarakat memperoleh kepastian dan perlindungan hukum yang wajar;
3.      Belum timbulnya kesadaran masyarakat untuk mencatatkan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup (life siclus) seperti: kelahiran, perkawinan, kepindahan dan kematian serta penataan administrasi pencatat peristiwa-peristiwa tersebut;
4.      Tingginya angka perceraian dalam masyarakat perlu pendekatan keagamaan dan pendekatan yuridis seperti yang telah banyak dilakukan terhadap keluarga-keluarga yang bermasalah, dan perlu dilakukan intervensi psikiatrik dalam upaya mencegah terjadinya perceraian;
5.      Tidak adanya sanksi pidana bagi mereka yang melanggar UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975, sehingga banyak sekali pelanggaran terhadap Undang-undang ini dengan banyaknya kawin dibawah tangan atau kawin sirri;


KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

A.      PENGERTIAN, KANDUNGAN DAN PROSES PEMBENTUKANNYA
          Suatu saat Ibnu Abbas mengatakan kepada Umar Ibn Khattab r.a: “Wahai Amirul Mukminin, Al Qur’an telah diturunkan kepada kita dan kita juga telah membacanya. Suatu kaum setelah kita juga akan membacanya, namun mereka tidak mengetahui dan memahami apa yang telah diturunkan. Maka dari sinilah setiap kaum memiliki pandangan, sehingga mereka berbeda pendapat”.
            Menilik apa yang disampaikan Ibnu Abbas tersebut, bisa pahami bahwa perbedaan itu sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Perbedaan bisa membuahkan kemudahan sekaligus menimbulkan perpecahan bahkan mungkin akan berakibat peperangan.
            Semakin jauh zaman ini dengan zaman Nabi Muhahammad SAW, semakin banyak pula perbedaan pendapat umat Islam. Agar umat Islam tidak tersesat pada pendapat yang salah dan jauh dari tujuan syari’ah, para ulama harus menyelamatkannya. Diantara usahanya adalah memilih pendapat yang benar dan sesuai dengan masyarakat yang dihadapinya. Dahulu usaha ini disebut madzhab. Sekarang, proses seleksi pendapat tersebut dan menghimpunnya dalam satu buku dinamakan “KOMPILASI”.
            Kompilasi berasal dari bahasa latin “compilare” yang berarti mengumpulkan bersama-sama. Dan dalam bahasa Inggris menjadi “compilation” yang berarti suatu kumpulan atau himpunan. Dari pemahaman bahasa diatas, dapat didefinisikan bahawa Kompilasi adalah: proses kegiatan pengumpulan bernagai bahan dan data yang diambil dari berbagai sumber buku sesuai dengan kebutuhan untuk disusun kembali ke dalam sebuah buku baru yang lebih terartur dan sistematis.
            Pengertian diatasmenunjukkan bahwa kompilasi dapat diterapkan dibidang hukum maupun diluar hukum. Pembuatan buku atau makalah dengan mengutip banyak sumber data tanpa analisis sedikitpun juga disebut kompilasi. Berbagai kitab fikih tentang perbandingan madzhab juga berisi kompilasi hukum Islam, seperti Bidayah al Mujtahid karya Ibnu Rusyd dan Al Mizan al Kubro karya Al Sya’rani.
            Dalam ilmu hukum, kompilasi masih digunakan dalam wilayah hukum Islam. Dalam hukum Islam terdapat aneka pendapat tentang suatu masalah yang berada dalam koridor Syari’ah, sedangkan diluar hukum Islam dikenal dengan “kodifikasi” yaitu: menghimpun peraturan perundang-undangan tentang bidang tertentu dalam satu buku, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
            Kompilasi bisa digunakan sebagai media untuk meningkatkan pendapat hukum menjadi perundang-undangan. Kompilasi saja tidak cukup karena belum memiliki kekuatan. Karenanya, kompilasi harus dilanjutkan hingga menjadi peraturan perundang-undangan. Proses demikian ini terjadi pada pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
            Gagasan pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dilontarkan tahun 1985, dan tidak ada kejelasan siapa yang melontarkan gagasan tersebut. Ada yang mengatakan pencetusnya Bustanul Arifin, Hakim Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Ada pula yang mengatakan bahwa pencetusnya Munawir Sjadzali, Menteri Agama RI, bahkan ada pula yang mengemukakan Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa MUI. Siapapun pencetusnya, yang jelas ketiga orang ini terlibat aktif dan strategis dalam melahirkan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
            Proyek pembentukan Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan oleh dua instansi, Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Kedua instansi ini mengangkat 16 orang sebagai pelaksana utama, delapan dari Mahkamah Agung, tujuh dari Depag dan satu orang dari MUI, KH. Ibrahim Hosen.
            Selain pelaksana utama, proyek KHI juga melibatkan para ulama seluruh Indonesia, para cendikiawan dari Perguruan Tinggi Agama Islam seluruh Indonesia. Tujuan proyek ini adalah mengkompilasikan aturan hukum Islam yang mencakup wilayah muamalah dan yurisdikasi pengadilan agama kedalam tiga kitab: (a) Kitab Perkawinan (b) Kitab Waris dan (c) Kitab Wakaf, Shadaqah, Hibah dan Baitul Mal.
            Bahan data yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan KHI adalah pendapat ulama seluruh Indonesia, serta hasil keputusan hakim di Peradilan Agama. Para ulama yang diwawancarai tercatat sebanyak 185 ulama seluruh Indonesia. Kitab-kitab yang menjadi kajian para cendikiawan sebanyak 38 kitab. Produk-produk yang diteliti berjumlah 16 buku himpunan yurisprudensi. Semua hasil kajian ini didiskusikan dalam beberapa lokakarya “Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi”. Selain itu hasil kajian juga diperkuat dengan hasil studi banding di tiga negara, yaitu: Maroko, Turki dan Mesir.
            Pada akhirnya, hasil semua kajian dirumuskan oleh pelaksana utama proyek KHI. Rumusan yang telah dianggap sempurna ini disampaikan dalam lokakarya yang terakhir kalinya. Begitu rumusan KHI telah disepakati, maka Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sebagai kekuatan hukum KHI. Inpres ini ditujukan kepada Menteri Agama RI agar menyebarluaskan rumusan KHI dan menggunakannya sebagai pertimbangan pengambilan keputusan hukum oleh hakim agama di Pengadilan Agama. Dengan demikian proses pembuatan KHI dimulai dari penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Hakim Agung dan Menteri Agama  tanggal 25 Maret 1985 hingga terbitnya Inpres 10 Juni 1991.

B.       KANDUNGAN POKOK DAN CORAK KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan dokumen paling penting mengenai syari’at yang tersebar luar di Indonesia. Pancasila melandasi KHI, pasal 1 dari penjelasan mengatakan: “Bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, ada hak atas eksistensi suatu hukum nasional tunggal yang akan menjamin kelangsungan kehidupan agama yang berdasarkan kepada prinsip Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang secara bersama-sama mewakili perwujudan kesadaran hukum komunitas dan rakyat Indonesia”.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukan undang-undang, tetapi “petunjuk terhadap undang-undang”. Ia dapat diterapkan oleh hakim Peradilan Agama dalm memecahkan perkara-perkara yang mereka hadapi (Penjelasan pasal 5). Pasal 3 dan 4 dari memorandum penjelasan KHI menyatakan bahwa “Undang-undang yang dapat diaplikasikan” didasarkan kepada urutan sumber-sumber Syari’at berikut: (a) teks-teks standar dari madzhab Syafi’i (b) teks-teks tambahan dari madzhab lain (c) fatwa-fatwa ulama, dan (e) situasi di negara lain. KHI diklaim sebagai ringkasan dari sumber-sumber tersebut untuk digunakan para hakim Pengadilan Agama.
KHI terdiri dari tiga buku, yaitu: (1) Buku I berkaitan dengan hukum perkawinan (pasal 1-170). Buku ini memuat 19 bab dan 170 pasal. (2) Buku II berkenaan dengan hukum waris (pasal 171-214). Buku III berkaitan dengan hukum wakaf (pasal 215-229) yang memuat lima bab dan 15 pasal. Legislasi kolonial telah mengatur tiga masalah yang sama tersebut, namun dalam KHI lebih terperinci.
Dari ketiga buku terswebut, masalah perkawinan paling banyak dibahas dibanding dua buku yang lain. KHI tidak saja membahas sisi hukum saja tetapi juga prosedur pelaksanaannya. Dalam hal ini terdapat 3 bentuk klausul KHI, yaitu: pernyataan hukum Islam pada pokok persoalan dengan rumusan yang sederhana; prosedur birokratis dalam pelaksanaan hukum; dan kontrol hukum oleh Pengadilan Agama. Sebagai contoh, pasal 129-142 dan 146-148 memerlukan prosedur sebelum perkawinan diputuskan berakhir dengan sah. Tanpa pemenuhan prosedur, hukum Islam tidak bisa diterapkan. Dengan demikian seorang suami yang ingin menyatakan talak harus melakukan permohonan secara lisan dan tulisan kepada Pengadilan Agama. Jika hakim mengizinkan talak maka salinan pernyataan dibuat dan didaftarkan sebagai “bukti perceraian”.
Tujuan pembatasan ini adalah untuk mengontrol status diri seseorang. Negara memiliki kepentingan besar dalam masalah ini, karena isteri yang dicerai dan anak-anak yang tanpa ayah akan menambah beban bagi negara. Ulama berargumen, talak diperbolehkan oleh syari’at, tapi secara sosial menyakitkan bagi semua pihak. Mempertahankan izin Tuhan dan merumuskan prosedur birokratis merupakan jawaban yang bijaksana.
KHI juga menjawab problem hukum Islam yang sering terjadi di masyarakat, tetapi jarang dikupas dalam kitab-kitab hukum Islam. Kehamilan di luar nikah sering terjadi di masyarakat akibat pergaulan bebas serta gaya hidup yang salah.

Oleh: Drs. H. Moh. Ersyad, M.HI

  • Penulis adalah: Staf Bidang Urusan Agama Islam Kantor Wilayah  Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur;