Hukum Melakukan Operasi Plastik dengan Tujuan untuk Kecantikan


Allah menyukai yang indah-indah dan Islam juga membolehkan seseorang untuk berhias atau mempercantik diri selama tidak berlebih-lebihan, apalagi sampai mengubah ciptaan Allah.. Kalau kita pikir secara logika, apa ruginya Allah apabila ada yang melakukan operasi kecantikan, sebab sesuatu yang telah baik diberikan Allah kemudian dilakukan lagi upaya lain agar pemberian tersebut menjadi super lebih baik, tentunya kalau dipikir-pikir Allah pasti senang, terlebih Allah juga menyukai hal-hal yang indah-indah.[2]

Persoalan inilah yang perlu kita sadari bahwa tidak semua yang dilakukan manusia yang menurut manusia baik adalah baik pula dalam pandangan Allah. Merubah bentuk salah satu anggota tubuh yang berbeda dari apa yang diberikan Allah, dalam logika manusia dipandang baik, karena akan lebih cantik, tampan dan menarik. Asalnya kulit yang diberikan Allah hitam kemudian dirubah menjadi putih atau warna lainnya. Asalnya hidung yang diberikan Allah pesek kemudian dirubah menjadi mancung dan sebagainya. Namun demikian, apa yang dilakukan sebenarnya merupakan tindakan yang tidak percaya dengan pemberian Allah dan dapat dikatakan sebagai bentuk penghinaan terhadap Allah.[3]

Oleh karena itu merubah ciptaan atau pemberian Allah sebagaimana dideskripsikan di atas sebenarnya bertentangan dengan kodrat dan iradat Allah. Seharusnya manusia menyadari bahwa apapun yang diciptakan Allah di dunia ini bukan merupakan hal yang sia-sia (lihat Q.S. al-Baqarah ayat 26):

Artinya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.[4] adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan Ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah,[5] dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,

Menurut pandangan manusia atau seseorang yang melakukan operasi bahwa salah satu anggota tubuhnya kurang menarik, sehingga ia pun berkeinginan untuk merubahnya melalui operasi. Padahal dalam pandangan Allah pemberian-Nya itu yang dipandang manusia kurang menarik, sebenarnya memiliki manfaat yang luar biasa, hanya saja ia tidak mengetahui dan menyadarinya. Mestinya manusia dapat bersyukur terhadap apa yang diberikan Allah dan memberdayakan pemberian tersebut dengan baik.[6]

Selain itu, apabila persoalan di atas dikembalikan kepada sumber hukum Islam yaitu Alquran, maka Alquran telah secara jelas menyatakan orang yang merubah ciptaan-Nya adalah orang yang mengikuti jalan dan ajakan syaithan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. an-Nisa ayat 119 

Artnya: Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya,[7] dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya".[8] barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.

Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa melakukan operasi plastik, yang hanya bertujuan mempercantik diri termasuk perbuatan syetan yang dilaknat Allah. Contohnya, operasi untuk memperindah bentuk hidung, dagu, buah dada, atau operasi untuk menghilangkan kerutan-kerutan tanda tua di wajah, dan sebagainya. Persoalan ini apabila dilihat dari kaidah yang disebutkan sebelumnya bahwa operasi plastik dengan tujuan untuk mempercantik [jirahah at-tajmil], maka hukumnya adalah haram.[9]




[2] Ibid, h. 58 

[3]http://sukriyanahcute.blogspot.com/2012/03/makalah-opresi-plastik.html 

[4] Diwaktu Turunnya surat Al Hajj ayat 73 yang di dalamnya Tuhan menerangkan bahwa berhala-berhala yang mereka sembah itu tidak dapat membuat lalat, sekalipun mereka kerjakan bersama-sama, dan Turunnya surat Al Ankabuut ayat 41 yang di dalamnya Tuhan menggambarkan Kelemahan berhala-berhala yang dijadikan oleh orang-orang musyrik itu sebagai pelindung sama dengan lemahnya sarang laba-laba. 

[5]Disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat. 

[6] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer: Jilid 2. Jakarta: Gema 
Insani Press, 1995, h. 69 


[7] Menurut kepercayaan Arab jahiliyah, binatang-binatang yang akan dipersembahkan kepada patung-patung berhala, haruslah dipotong telinganya lebih dahulu, dan binatang yang seperti Ini tidak boleh dikendarai dan tidak dipergunakan lagi, serta harus dilepaskan saja. 

[8] Merubah ciptaan Allah dapat berarti, mengubah yang diciptakan Allah seperti mengebiri binatang. Ada yang mengartikannya dengan merubah agama Allah. 

[9] Yevita, 2012, Pandangan Agama Terhadap Masalah dan Tindakan , http://yevitadiaries.wordpress.com/2012/04/07/pandangan-agama-terhadap-masalah-dan-tindakan/ , 11122012 jam 10.10 

Wewenang Polisi

Polisi memiliki wewenang secara umum yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang–Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu sebagai berikut:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. Mencari keterangan dan barang bukti;
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu

Adapun wewenang yang dimiliki kepolisian untuk menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana menurut Pasal 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
e. Melakukan pemeriksaan – pemeriksaan surat.
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
h. Mengadakan penghentian penyidikan.
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Polri sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya juga berwenang:

a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
k. Melaksnakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.




sumber

Dasar Hukum Kepolisian

Dasar hukum atau Undang-Undang yang mengatur tetang Kepolisan adalah sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 tentang Tugas Kepolisian.
  4. PERKAP NOMOR 14 TAHUN 2011, tentang Kode Etik Profesi Kepolisian.



sumber

Pengertian Gabungan Hukuman

Samenloop dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus. Dalam makalah ini akan digunakan istilah “gabungan”. Hukuman dalam bahasa Arab disebut Iqab atau `uqubah merupakan bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara` yang ditetapkan Allah dan Rasul-NYA untuk kemaslahatan manusia. Menurut kamus bahasa indonesia karangan S. Wojo Wasito Hukuman berarti, siksaan atau pembalasan kejahatan.

Sedangka Abdul Qadir Audah memberi definisi hukuman sebagai berikut:

العقوبةهيالجزاءالمقررالمصلحةالجماعةعلىعصيانامرالشارع

Artinya :
“Hukuman adalah pembalasan atau pelanggaran perintah syara` yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat”.

Tujuan hukuman ialah menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan yang menimbulkan kerugian.Dalam Islam mempunyai dua aspek; perventif (pencegahan) dan represif (pendidikan). Kedua aspek tersebut akan menghasilkan kemaslahatan, yaitu terbentuknya moral yang dilandasi Agama.

Pada dasarnya dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah mempunyai ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman jenis hukuman yang terdapat dalam hukum Islam seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat seseorang yang melakukan beberapa jarimah atau jarimah ganda.

Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah khusus. Namun dalam pengertian ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang pengertian delik gabungan dan tentang rentetan pelanggaran yang mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.

Gabungan hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabungan jarimah. Gabungan terjadi apabila seseorang melakukan beberapa macam jarimah, dimana pada masing-masing jarimah tersebut belum mendapat keputusan terakhir. Gabungan jarimah adakalanya terjadi dalam lahir saja, dan adakalanya benar-benar nyata. Gabungan dalam lahir terdapat apabila pelaku melakukan suatu jarimah yang dapat terkena oleh bermacam-macam ketentuan.

Contohnya, seperti seseorang melakukan penganiayaan terhadap seorang petugas yang melaksanakan tugasnya. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena penganiayaan dan melawan petugas. Gabungan jarimah nyata adalah apabila terjadi beberapa macam perbuatan jarimah dari pelaku, sehingga masing-masing jarimah bisa di anggap sebagai jarimah yang berdiri sendiri.

Contohnya seperti tukang pencak yang dengan kakinya melukai seseorang, dan dengan tangannya menikam orang lain sampai mati. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena melakukan penganiayaan dan pembunuhan.Dari penjelasan tersebut terlihat jelas perbedaan antara gabungan dengan pengulangan, sebagaimana telah di uraikan di atas.Letak perbedaan antara keduanya adalah dalam hal apakah pelaku dalam jarimah pertama atau sebelumnya sudah dihukum (mendapat keputusan terakhir) atau belum.Kalau belum, itu termasuk gabungan dan kalau sudah, itu termasuk pengulangan.Seharusnya pelaku pada gabungan jarimah tidak dijatuhi hukuman atas semua jarimah yang dilakukannya, meskipun gabungan jarimah tersebut menunjukkan jiwa kejahatannya. Hal ini karena ketika ia mengulangi suatu perbuatan jarimah, ia belum mendapat hukuman dan pengajaran dari jarimah sebelumnya. Berbeda dengan pengulang kejahatan yang telah mendapat hukuman, dan dengan hukuman itu dimaksudkan agar ia tidak mengulangi perbuatannya.

Jadi gabungan hukuman adalah serangkaian saksi yang diterapakan kepada seorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah (pidana) secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah yang satu dengan yang lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.

Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya gabungan adalah: Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;
  • Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan);
  • Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
  • Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.



sumber

Pengertian Cyber Law


Perkembangan teknologi yang pesat pada zaman ini, membuat berbagai kegiatan yang tergolong cyber crime makin marak dan tak terkandali. Oleh karenanya, Pemerintah membuat suatu aturan yang disebut dengan Cyber Law. Cyber law menurut Sunarto (2006:42) adalah upaya untuk melindungi secara hukum yang berkaitan dengan dunia maya atau internet. Tujuan dari dibentuknya cyber law sendiri menurut Sunarto (2006:42) adalah :
  • Melindungi data pribadi
  • Menjamin kepastian hukum
  • Mengatur tindak pidana cyber crime
Sedangkan, pengertian cyber law yang lain adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Dari kedua pengertian cyber law diatas, kita simpulkan bahwa setiap kegiatan yang melanggar ketentuan hukum di dunia maya, maka kegiatan tersebut dapat dipidanakan alias pelakunya dapat diberi hukuman tertentu.

Menurut Jonathan Rosenoer dalam Cyber Law – The Law Of Internet menyebutkan ruang lingkup cyber law adalah :

1. Hak Cipta (Copy Right)
2. Hak Merk (Trademark)
3. Regulation Internet Resource (Regulasi Pengembangan Internet)
4. Privacy (Keamanan)
5. Duty Care (Kehati-hatian)
6. Consumer Protection E-Commerce, E- Government (Proteksi terhadap konsumen)

Dari sekian banyak kasus Cybercrime, pada bab berikutnya kami akan membahas kasus Cybercrime yang paling marak di Indonesia yaitu kasus Pornografi.

sumber

Kesalahan Relevansi


Kesalahan ini akan terjadi jika antar premis tidak punya hubungan logika dengan kesimpulan. Misalnya, bukti peristiwa atau alasan yang diajukan tidak berhubungan atau tidak menunjang konklusi. Jadi, perlu berhati-hati, ketika sebuah argumen bergantung pada premis yang tidak relevan dengan konklusi, maka tidak mungkin dibangun kebenarannya. Terdapat beberapa jenis kesesatan relevansi yang umum dikenal, berikut penjelasannya:

a) Argumentum ad hominem: terjadi jika kita berusaha agar orang lain menerima atau menolak suatu usulan, tidak berdasarkan alasan penalaran, akan tetapi karena alasan yang berhubungan dengan kepentingan si pembuat usul.

b) Argumentum ad verecundiam: terjadi karena orang yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa dan dapat dipercaya, jadi bukan terjadi karena penalaran logis.

c) Argumentum ad baculum (menampilkan kekuasaan): terjadi apabila orang menolak atau menerima suatu argumen bukan atas dasar penalaran logis, melainkan karena ancaman atau terror (bisa juga karena faktor kekuatan/kekuasaan).

d) Argumentum ad populum (menampilkan emosi): artinya ialah ditujukan untuk massa/rakyat. Pembuktian secara logis tidak diperlukan, dan mengutamakan prinsip menggugah perasaan massa sehingga emosinya terbakar dan akhirnya akan menerima sesuatu konklusi tertentu. Contoh sederhananya seperti demonstrasi dan propaganda.

e) Argumentum ad misericordian (menampilkan rasa kasihan): disebabkan karena adanya rasa belas kasihan. Maksudnya, penalaran ini ditunjukkan untuk menimbulkan belas kasihan sehingga pernyataan dapat diterima, dan biasanya berhubungan dengan usaha agar suatu perbuatan dimaafkan.

f) Post hoc propter hoc: terjadi karena orang menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal bukan. Pada suatu urutan peristiwa, orang menunjukkan apa yang terjadi lebih dahulu adalah penyebab peristiwa yang terjadi sesudahnya, padahal bukan.

g) Petitio principii: berarti mengajukan pertanyaan dengan mengamsusikan kebenaran dari apa yang berusaha untuk dibuktikan, dalam upaya untuk membuktikannya. Dikenal dengan pernyataan berupa pengulangan prinsip dengan prinsip.

h) Argumentum ad ignorantiam (argumen dari keridaktahuan): kesalahan terjadi ketika berargumen bahwa proposisi adalah benar hanya atas dasar bahwa belum terbukti salah, atau bahwa itu adalah salah karena belum terbukti benar.

i) Ignorantia elenchi: terjadi karena tidak adanya hubungan logis antara premis dan konklusif.



sumber

Landasan Hukum Pelecehan Seksual


Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan/pelecehan seksual dapat diberikan melalui;

1. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan KUHP yang menyangkut ’perkosaan’
2. Pasal 285 KUHP yang merupakan tindak kekerasan seksual yang sangat mengerikan dan merupakan tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang paling kejam terhadap perempuan.
3. UU No. 13 Tahun 2006 khususnya dalam Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 9 yang merupakan hak dari seorang perempuan yang menjadi korban.
4. pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP)
5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), sebagai lex specialis (hukum yang lebih khusus) dari KUHP.
6. Pasal 82 UU Perlindungan Anak:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”



Metode Tafsir Jimly Asshiddiqie

Jimly Asshiddiqie
Metode Penafsiran Dalam Hukum Tata Negara Mempunyai Dua Puluh Tiga Bentuk Penafsiran, sebagai berikut :
  • Metode penafsiran litterlijk atau literal
  • Metode penafsiran gramatikal (bahasa)
  • Metode penafsiran restriktif
  • Metode penafsiran ekstensif
  • Metode penafsiran autentik
  • Metode penafsiran sistematik
  • Metode penafsiran sejarah undang-undang
  • Metode penafsiran historis dalam arti luas
  • Metode penafsiran sosio-historis
  • Metode penafsiran sosiologis
  • Metode penafsiran teleologis
  • Metode penafsiran holistik
  • Metode penafsiran tematis - sistematis
  • Metode penafsiran antisipatif atau puturistik
  • Metode penafsiran evolutif - dinamis
  • Metode penafsiran komparatif
  • Metode penafsiran filosofis
  • Metode penafsiran interdisipliner
  • Metode penafsiran multidisipliner
  • Metode penafsiran kreatif (creative interpretation) 
  • Metode penafsiran artistik
  • Metode penafsiran konstruktif
  • Metode penafsiran konversasional
Dalam penafsiran dikenal pula beberapa tipe-tipe argumen yang digunakan, (MacCormick and Summers, 1991) yaitu :
  • The argumen from ardinary meaning, atau menggunakan argumen makna umum yang berlaku dalam masyarakat;
  • The argumen from technical meaning, atau menggunakan argumen teknis yang dipakai dalam istilah-istilah teknis;
  • The argumen from contextual-harmonization;
  • The argumen from precident;
  • The argumen from analogy;
  • The argumen from relevant prinsiples of law;
  • The argumen from history;
  • The argumen from purpose;
  • The argumen from reasons;
The argumen from intension. Konstruksi hukum menurut teori dan praktek dapat dilakukan dengan empat metode sebagai berikut :
  • Analogi atau Metode argument per analogium
  • Metode argumentum a contrario
  • Metode penyempitan hukum
  • fiksi hukum

Asas-Asas Hukum

Asas Hukum

1. Asas-asas hukum yang bersifat spesifik
  • Asas the binding force of precedent yakni putusan hakim sebelumnya mengikat hakim-hakim lain dalam perkara yang sama. ( dianut oleh system hukum Anglo Sakson ) 
  • Asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lage poenadi atau asas legalitas ( pasal 1(1) KUHP ) yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dihukum kecuali sebelumnya ada Undang-undang yang mengaturnya. 
  • Asas Restutio in integrum yaitu ketertiban dalam masyarakat haruslah dipulihkan pada keadaan semula, apabila terlah terjadi konflik. 
  • Asas cogationis poenam nemo patitur yaitu tidak seorang pun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan dalam batinnya. ( untuk Negara sekuler )

2. Asas-asas hukum dalam teori hukum
  • Abolisi (abolitio, latin) ialah hak yang dimiliki kepala negara yang berhak untuk menghapuskan hak tuntutan pidana dan menghentikan jika telah dijalankan. Hak abolisi diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR. 
  • Ad hoc (latin) adalah untuk tujuan ini; untuk itu (yaitu untuk suatu tugas atau urusan tertentu saja, khusus contoh panitia ad hoc, hakim ad hoc). 
  • Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum. 
  • Amnesti (amnnestie, Belanda) ialah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada umum yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Biasanya amnesti diberikan kepada orang-orang atau kelompok yang melakukan kejahatan politik. Pemberian amnesti oleh kepala negara dengan memperhatikan pertimbangan DPR. 
  • Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars. Bahwa hakim haruslah mendengarkan para pihak secara seimbang sebelum menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi terdakwa. Contohnya, apabila persidangan sudah dimulai, maka hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja. 
  • Bis de eadem re ne sit action atau Ne bis in idem : Mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya. Contohnya, periksa Pasal 76 KUH Pidana. 
  • Clausula rebus sic stantibus : Suatu syarat dalam hukum Internasional bahwa suatu perjanjian antar Negara masih tetap berlaku, apabila situasi dan kondisinya tetap sama.
  • Cogatitionis poenam Nemo Patitur ; artinya tidak seorang pun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau yang ada dihatinya. 
  • Concubitus facit nuptias : Perkawinan dapat terjadi karena hubungan kelamin. 
  • De gustibus non est disputandum ; Mengenai selera tidak dapat disengketakan. 
  • Die normatieven kraft des faktischen ; ialah Perbuatan yang dilakukan berulang kali memiliki kekuatan normative , lihat Pasal 28 UU No.4 tahun 2004. 
  • Eideren wordt geacht de wette kennen, setiap orang dianggap mengetahui hukum, artinya apabila suatu undang-undang telah dilembarnegarakan ( diundangkan ). Maka undang-undang itu telah diketahui oleh warga masyarakat sehingga tidak ada alasan bagi yang melanggarnya.
  • Equality before the law ialah suatu asas kesamaan menghendaki adanya keadilan dalam arti setiap orang adalah sama di dalam hukum, setiap orang diperlakukan sama. 
  • Presumption Of Innocence (asas praduga tidak bersalah), bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang menyatakan bahwa ia bersalah dan keputusan tsb telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkraht).
  • Errare humanum est, turpe in errore perseverrare ; Membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk memprtahankan terus kekeliruan tersebut. 
  • Fair rial atau Self Incrimination artinya pemeriksaan yangtidak memihak atau memberatkan salah satu pihak atau terdakwa. 
  • Fiat justitia ruat coelum atau fiat justicia pereat mundus ; Sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan. 
  • Geen Straft Zonder Schuld ialah asas tiada hukuman tanpa kesalahan. 
  • Grasi (gratia, latin) ialah ampun, pengampunan. Wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapuskan seluruhnya, mengganti jenis hukuman. Pemberian grasi oleh kepala negara dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. 
  • Hak ingkar adalah hak seseorang tertuduh untuk menolak diadili seseorang hakim, apabila hakim mempunyai hubungan kekeluargaan dengan tertuduh atau mempunyai kepentingan secara langsung atau tidak langsung dalam perkaranya. Tertuduh dapat menggunakan hak ingkarnya terhadap hakim dengan mengemukakan keberatan-keberatan untuk diadili oleh hakim yang bersangkutan (UU No. 19/1964). 
  • Hak tuntut ganti rugi dan rehabilitasi adalah hak dimana setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 9 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman). 
  • Hak ulayat adalah 1) hak yang dimiliki suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai tanah beserta isinya dilingkungan wilayahnya; 2) hak ulayat masyarakat adat : (a) mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para anggota/warganya (yang termasuk bidang hukum perdata; (b) mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunanya. 
  • Hakim ad hoc adalah dalam rangka memeriksa dan mengadili perkara korupsi, disamping hakim karir, diangkat juga (non karir) yang khusus memeriksa dan mengadili perkara korupsi dan tidak untuk melaksanakan tugas hakim karir yang lainnya. Hakim ad hoc diangkat dalam rangka pengadilan TIPIKOR.
  • Hodi mihi cras tibi ; Ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat.
  • In dubio Pro Reo ; artinya apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa hakim harus menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi terdakwa. 
  • Ius consitutum (Latin) adalah hukum yang sedang diberlakukan sekarang (hukum positif). 
  • Ius constituendum (latin) adalah hukum yang akan diberlakukan.
  • Ius curia Novit artinya hakim dianggap mengetthui hokum yakni hakim tidak bboleh menolak mengadili dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya. 
  • Ius Sanguinis (law of the blood) ; adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan Negara tempat kelahiran.
  • Ius Soli (law of the soil) ; secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas pada anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. 
  • Bipatride ; adalah seseorang yang mempunyai dwi kewarganegaraan. 
  • Apatride ; adalah keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan sama sekali. 
  • Jual beli tidak memutuskan sewa menyenya. Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun barang yang disewanya beralih tangan. Contohnya, pada pasal 1576 KUH Perdata. 
  • Judex facti (latin), adalah hakim yang memeriksa tentang duduknya perkara, khusus dimaksudkan hakim tingkat pertama dan hakim banding.
  • Juro suo uti nemo cogitur ; Tak ada seorang pun yang diwajibkan menggunakan haknya. Contohnya, orang yang berpiutang tidak mempunyai kewajiban untuk menagih terus. 
  • Kejahatan (misdriff, Belanda) adalah tindak pidana yang tergolong berat lebih berat dari sekedar pelanggaran, perbuatan yang sangat anti sosial yang oleh negara dengan sadar menjatuhkan hukuman kepada pelakunya; perbuatan jahat; sifat yang jahat.
  • Kodifikasi hukum ialah suatu langkah pengkitaban hukum atau penulisan hukum ke dalam suatu kitab UU yg dilakukan secara resmi oleh pemerintah, contoh KUHPidana, KUHAP, KUHPerdata, KUHD.
  • Kudeta (Coup d’etat, Perancis) ialah perebutan kekuasaan pemerintahan> Biasanya pemberontakan atau pihak militer yang banyak melakukan kudeta atas pemerintah yang sah atau berkuasa. pada ketika itu.
  • Lex dura sed tamen scripta atau Lex dura sed ita scripta ; Undang – undang bersifat keras (memaksa), sehingga tidak dapat diganggu gugat dan telah tertulis. Contohnya, pada Pasal 11 KUH Pidana. 
  • Lex niminem cogit ad impossibilia ; Undang-undang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Contohnya, periksa Pasal 44 KUH Pidana.
  • Lex Posterior Derogat Legi Priori ; Peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya. Contohnya, UU No.14 Tahun 1992 tentang UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengesampingkan UU No. 13 Tahun 1965. dan pahami juga lexprospicit , non res cipit. 
  • Lex Specialis Derogat Legi Generali ; yakni UU atau peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum. Sebagai contoh undang-undang pornogarafi diutamakan dari KUHP tentang asusila untuk kasus pelecehan seksual.
  • Lex Superior Derogat Legi Inferior ; Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah tingkatannya. Dan apabila UU tersebut mengatur hal yang sama. Contoh: undang-undang diutamakan dari pada peraturan pemerintah. 
  • Matrimonium Ratu et Non Consummatum ; Perkawinan yang dilakukan secara formal, namun belum dianggap jadi mengingat belum terjadi hubungan kelamin. Contohnya, perkawinan suku sunda. 
  • Melius est accieperer quam facerer injuriam ; Lebih baik mengalmi ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan.
  • Misbruik van Recht adalah penyalahgunaan hak yang dianggap terjadi apabila seseorang menggunakan haknya bertentangan dengan tujuan diberikan hak itu atau bertentangan dengan tujuan masyarakat.
  • Nemo Judex Indoneus in Propria artinya tidak seoranpun yang dapat menjadi hakim yang baik dalam menangani perkaranya sendiri yakni seorang hakim dianggap tidak akan mampu berlaku objektif terhadap perkara bagi dirinya sendiri atau keluarganya. 
  • Nemo plus juris tarnsferre potest quam ipse habet ; Tak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki. 
  • Nullum crimen nulla poena sine lege ; Tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya, Analisisnya : Tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya? Bahwa semua kejahatan yang terjadi diindonesia adalah yang melanggar undang -undang. karena pernyataan diatas menyatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya, jadi suatu tindak kejahatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum apabila melanggar undang – undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 
  • Nullum Delictum Noela poena sine praevia lage poenadi ( asas legalitas ) ; Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, sebelum didahului oleh suatu peraturan. 
  • Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ; Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan dalam ketentuan pidana dalam UU yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu. Lebih jelasnya lihat Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana. 
  • Nullum delictum sine praevia lege poenali ; Asas legalitas ialah suatu asas hukum tidak bisa diberlakukan surut. Dalam pasal 1 ayat 1 KUHPidana berbunyi tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan ketentuan pidana menurut UU yang telah ada sebelumnya. 
  • Objek hukum adalah segala sesuatu yang bermamfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum, contoh benda/barang (segala barang dan hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis. 
  • Onrechmatigedaad (perbuatan melawan hukum) contohnya ingkar janji dalam lapangan hukum perikatan (perdata) atau membunuh melanggar hukum pidana.
  • Opinio necessitates ; Keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hkum kebiasaan. 
  • Pact Sunt Servanda yaitu bahwa perjanjian yang sudah disepakati berlaku sebagai UU bagi para pihak yang bersangkutan. Lebih jelas periksa Pasal 1338 KUH Perdata. 
  • Pelanggaran (overtreding, Belanda) adalah suatu jenis tindak pidana tetapi ancaman hukumnya lebih ringan daripada kejahatan, baik yang berupa pelanggaran jabatan atau pelanggaran undang-undang. 
  • Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan hukum atau tindakan subjek hukum yang mempunyai akibat hukum dan akibat hukum itu memang dikehendaki oleh subjek hukum, misalnya jual beli, sewa menyewa, dll.
  • Perbuatan hukum bersegi dua adalah perbuatan hukum yang dilakukandua pihak atau lebih, misalnya perjanjian jual beli, dll.
  • Perbuatan hukum bersegi satu yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja misalnya pemberian wasiat, dll.
  • Peristiwa hukum adalah semua kejadian atau fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai akibat hukum, misaln perkawinan atau pria dan wanita sehingga menimbulkan akibat hukum yang diatur oleh yaitu hak dan kewajiban masing-masing.
  • Presumption of Innocence ; Biasa juga disebut asas praduga tidak bersalah, yaitu bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan yang tepat. Liah penjelasan di Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP butir 3C. 
  • Qui tacet consentire videtur ; Siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui. 
  • Quiquid est in territorio, etiam est de territorio ; Asas hukum dalam internasional yang menyatakan bahwa apa yang ada berada dalam batas-batas wilayah Negara tunduk kepada hukum Negara itu. 
  • Rehabilitation; (latin: Rehabilitasi) ialah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (pemulihan, pengembalian kepada keadaan semula). Kepala negara juga berwenang memberi rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. 
  • Res judicata pro veritate habeteur adalah Putusan hakim dianggap benar sampai ada putusan hakim lain yang mengoreksinya. atau, bisa bertinya setiap putusan pengadilan/ hakim adalah sah kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. 
  • Res nullius credit occupant ; Benda yang ditelantarkan pemiliknya dapat diambil untuk dimiliki. 
  • Restutio in Integrum artinya kekacauan dalam masyarakat harus dipulihkan. 
  • Retroaktif ; Asas hukum yang dapat diberlakukan surut. Artinya hukum yang baru dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi pada masa lalu sepanjang hukum tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya pada pelanggaran HAM berat. 
  • Saksi adalah 1) orang yang melihat, mengetahui, mendengar, mengalami sendiri suatu peristiwa atau kejadian, 2) orang ang memberikan keterangan dimuka pengadilan untuk kepentingan jaksa atau terdakwa, 3) orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntut dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialami sendiri. Dalam memberikan keterangan dimuka pengadilan seorang saksi harus disumpah menurut agamanya supaya apa yang diterangkannya itu mempunyai kekuatan sebagai alat bukti. 
  • Saksi de auditu (Latin) adalah keterangan atau pernyataan saksi hanya berdasarkan apa yang didengar dari pihak lain.
  • Saksi diluar yuridiksi (rogatoire commissie, Belanda) adalah permintaan untuk mendengar saksi atau saksi yang berdomisili diluar wilayah hukum pengadilan dimana perkara itu sedang diperiksa/
  • Saksi yang memberatkan (a charge, Perancis) adalah saksi yang memberatkan terdakwa di pengadilan.
  • Saksi yang meringankan (a de charge, Perancis) adalah saksi yang meringankan terdakwa di pengadilan.
  • Sanksi (sanctio, Latin, sanctie, Belanda) adalah ancaman hukuman, merupakan satu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, UU, norma-norma hukum. Penegakan hukum pidana menghendaki sanksi hukum, yaitu sanksi yang terdiri atas derita khusus yang dipaksakan kepada si bersalah. derita kehilangan nyawa (hukuman mati), derita kehilangan kebebasan (hukuman penjara dan kurungan), derita kehilangan sebagian kekayaa (hukuman denda dan perampasan) dan derita kehilangan kehormatan (pengumuman keputusan hakim. Penegakan hukum perdata menghendaki sanksi juga yang terdiri atas derita dihadapkan dimuka pengadilan dan derita kehilangan sebagian kekayaannya guna memulihkan atau mengganti kerugian akibat pelanggaran yang dilakukannya. Sanksi sebagai alat penegak hukum bisa juga terdiri atas kebatalan perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum. Baik batal demi hukum (van rechtwege) maupun batal setelah ini dinyatakan oleh hakim.
  • Similia similibus ; Dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula, tidak pilih kasih. 
  • Speedy administration of justice artinya peradilan yang cepat yakni seseorang berhak untuk cepat diperiksa oleh hakim demi demi terwujudnya kepastian hukum bagi mereka. 
  • Subyek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan kewajiban, contoh manusia (naturalijk persoon) dan badan hukum (rechts persoon).
  • Summun ius summa inuria artinya kepastian hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi. 
  • Supremasi hukum (law’s supremacy) ialah upaya atau kiat untuk menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat yang tertinggi dari segala-galanya, menjadikan hukum sebagai komandan atau panglima untuk melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. 
  • Terdakwa (beklaagde, Belanda) adalah seseorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili dimuka pengadilan; seorang yang diduga telah emlakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan dimuka persidangan.
  • Terpidana (veroordeeld, Belanda) adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Psl 1 angka 32 KUHAP).
  • Tersangka (verdachte, Belanda) adalah seseorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana dan ini masih dalam tahap pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan apakah cukup dasar untuk diperiksa di persidangan. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Psl 1 angka 14 KUHAP). 
  • Tertangkap basah (inflegranti delicto, Latin) adalah terpergok basah, ketahuan seketika, tertangkap basah terjadi apabila kejahatan atau pelanggaran diketahui pada atau segera setelah dilakukannya kejahatan atau pelanggaran tersebut (Pasal 57 HIR).
  • Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorsang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. 
  • Rechtsorde, (Belanda: Tertib hukum) adalah keadaan dalam masyarakat berjalan seperti apa yang dikehendaki dan menjadi tujuan dari hukum dan segala sesuatu dilakukan sesuai dan selalu didasarkan pada hukum.
  • Testamen (tertamentum, Latin) adalah wasuat; surat wasiat; kehendak terakhir; suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi terhadap harta peninggalannya, setelah ia meninggal dunia (Psl 875 KUHPerdata).
  • Testamen olografis (olographich testament, Belanda) adalah testamen atau wasiat yang ditulis sendiri seluruhnya dan ditandatangani oleh si pembuat/pemberi waris (Psl 932 KUHPerdata)Testimonium de auditu ; Kesaksian dapat didengar dari orang lain. 
  • The bending forse of precedent atau Staro decises et quieta non movere artinya putusan pengadilan (hakim) tersdahulu mengikat hakim lain untuk peristiwa yang sama. 
  • The Rule of Law artinya semua manusia sama kedudukannya didepan hukum. 
  • Onwaardig om erfjenaamte zijn, Belanda ; adalah tidak pantas menjadi ahli waris sehingga dikecualiakan dari pewarisan karena telah membuat beberapa kesalahan atau tindakan yang merugikan pemberi waris (Psl 838 KUHPerdata).
  • Ubi societes ibi ius (latin) adalah dimana adamasyarakat distu ada hukum.
  • Unifikasi hukum adalah suatu langkah penyeragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di suatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional di negara-negara tersebut. 
  • Unus testis nullus testis artinya hakim harus melihat suatu persoalan secara objektif dan mempercayai keterangan saksi minimal 2 orang dengan keterangan yang tidak saling kontradiktif lihat Pasal 185 ayat 2 KUHAP.
  • Ut sementem feceris ita metes ; Siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik hasilnya. Dan sipa yang menabur angin, dialah yang akan menuai badai. 
  • Verba Volant scripta manent ; Kata-kata biasanya tidak berbekas sedangkan apa yang ditulis tetap ada. 
  • Vox populi vox dei ; Suara rakyat adalah suara Tuhan.



PENGERTIAN CYBER LAW


Definisi cyber law yang diterima semua pihak adalah milik Pavan Dugal dalam bukunya Cyberlaw The Indian Perspective (2002). Di situ Dugal mendefinisikan Cyberlaw is a generic term, which refers to all the legal and regulatory aspects of Internet and the World Wide Wide. Anything concerned with or related to or emanating from any legal aspects or issues concerning any activity of netizens and others, in Cyberspace comes within the amit of Cyberlaw. Disini Dugal mengatakan bahwa Hukum Siber adalah istilah umum yang menyangkut semua aspek legal dan peraturan Internet dan juga World Wide Web. Hal apapun yang berkaitan atau timbul dari aspek legal atau hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas para pengguna Internet aktif dan juga yang lainnya di dunia siber, dikendalikan oleh Hukum Siber.

Latar Belakang terbentuknya Cyber Law dikarenakan Cyber law erat lekatnya dengan dunia kejahatan. Hal ini juga didukung oleh globalisasi. Zaman terus berubah-ubah dan manusia mengikuti perubahan zaman itu. Perubahan itu diikuti oleh dampak positif dan dampak negatif. Ada dua unsur terpenting dalam globalisasi. Pertama, dengan globalisasimanusia dipengaruhi dan kedua, dengan globalisasi manusia mempengaruhi (jadi dipengaruhi atau mempengaruhi).




REGULASI TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

REGULASI TENTANG PERKAWINAN

A. PENDAHULUAN

            Sebelum Indonesia merdeka masalah pencatatan nikah, talak dan rujuk diatur dalam Huwelijksordonantie S. 1929 No. 248 Jo. S. 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijkordonantie Buitengewesten S. 1932 No. 482, yang kesemuanya itu merupakan peraturan  produk zaman Belanda.
            Karena peraturan tersebut diatas dianggap tidak sesuai dengan keadaan setelah Indonesia merdeka, maka dibuatlah peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pencatatan nikah, talak dan rujuk yang lebih sempurna dan memenuhi syarat keadilan sosial.
            Untuk memenuhi keinginan tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yang ditetapkan di Linggarjati  pada tanggal 21 Nopember 1946 yang berlaku untuk Pulau Jawa.  Kemudian sebagai tindak lanjutnya maka lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk diseluruh Daerah Luar Jawa dan Madura, yang disahkan di Jakarta  pada tanggal 26 Oktober 1954.
            Undang-Undang tersebut diatas, mengatur Pencatatan Nikah bagi umat Islam di Indonesia, untuk yang beragama lain diatur dalam: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Howelijks Ordonantie Christen Indonesia S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 No. 158).
            Karena begitu banyaknya Undang-Undang yang mengatur masalah perkawinan di Indonesia, maka pada tanggal 2 Januari 1974 lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.

B. LAHIRNYA UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN ASAS-ASAS YANG   DIGUNAKAN
            Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1874 tentang Perkawinan merupakan sebuah peristiwa sejarah yang penting dalam pembangunan nasional dibidang hukum Indonesia. Penyusunan Undang-undang tersebut mempunyai tujuan luhur baik dilihat dari segi hukum, segi kesejahteraan masyarakat maupun dari segi agama.
            Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diterangkan bahwa: ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa”. Rumusan pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 ini menggambarkan betapa perkawinan bukanlah sekedar menciptakan keluarga bahagia dan kekal menurut ukuran duniawi, lahiriyah dan material belaka, namun mencakup aspek bahagia dan kekal menurut ukuran ukhrowi, batiniyah dan ilahiyah yang berarti rumusan ini bersifat filosofis, abstrak, mendalam/inner dan batiniyah.
            Secara operasioanl keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa itu yang dicita-citakan oleh undang-undang ini adalah :
1.      Dimulai dari kehendak yang tulus dari masing-masing calon pengantin, diniatkan ibadah dengan memenuhi seluruh prosedur dan syarat-syarat yang ditetapkan agama;
2.      Masing pihak telah dewasa, matang kejiwaannya;
3.      Tidak bercerai;
4.      Hanya satu suami dan satu istri
5.      Dilaksanakan menurut hukum agamanya
6.      Saling cinta-mencintai, saling mengasihi, saling tolong menolong dan masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan setidaknya menganut asas: Ketuhanan Yang Maha Esa, kedewasaan pengantin, Perkawinan monogami dengan pengecualian, perceraian dipersulit, keseimbangan hak dan kedudukan suami istri.

1. ASAS KETUHANAN YANG MAHA ESA
            Perkawinan bagi orang Indonesia dipandang sebagai sesuatu yang sangat ”sakral”, salah satu bentuk ”ibadah”, bukan hanya perjanjian perdata. Masyarak Indonesia memandang bahwa perkawinan sebagai perbuatan sosial, perbuatan hukum sekaligus sebagai perbuatan ibadah seorang hamba kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. ASAS KEDEWASAAN CALON PENGANTIN
            Usia calon Pengantin berpengaruh terhadap kematangan calon pengantin baik fisik maupun mental, tingkat kesuburan dan kesehatan suami istri dan keturunannya termasuk juga dalam hal memperkecil angka perceraian karena pasangan yang belum dewasa sangat rentan dalam hal perceraian.

3. ASAS PERKAWINAN MONOGAMI DENGAN PERKECUALIAN
            Dalam sejarah, masyarakat Barat punya persepsi yang salah dan sentimen yang berlebihan tentang kedudukan poligami dalam Islam. Mereka beranggapan bahwa poligami merupakan pelecehan dan merendahkan kedudukan perempuan. Dan sekedar perbandingan, hukum perkawinan di Inggris melarang adanya poligami tapi para bangsawan (Lord) Inggris justru mempunyai mistress/istri selir/perempuan simpanan yang mereka (istri selir) itu tidak memperoleh sedikitpun harta ”suami” manakala suaminya meninggal.
            Berbeda dengan poligami yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dipandang ada jaminan sosial, penghormatan yang jauh lebih baik daripada ”pergundikan” yang ada di masyarakat. Diperbolehkannya poligami merupakan ”pintu darurat” bagi suami-istri yang ”daruri”, dan itupun dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan berat karena laki-laki yang boleh poligami harus mampu secara ekonomi, mental dan bertanggung jawab, dan yang lebih penting mendapatkan ijin dari istri sebelumnya.

4. ASAS PERCERAIAN DIPERSULIT
            Perceraian merupakn salah satu bentuk ancaman yang sangat ditakuti oleh semua keluarga manapun karena pasangan yang bercerai dianggap gagal dalam membangun rumah tangga. Besarnya angka perceraian dianggap sebagai indikator besarnya keluarga yang gagal dan tidak stabil.
            Selama tahun 2010 peristiwa perkawinan di Jawa Timur mencapai 381.389 peristiwa nikah dan angka perceraian mencapai lebih dari 65.000 peristiwa perceraian. Dan perlu diketahi bahwa seluruh Indonesia lebih dari 2 juta angka perceraian selama tahun 2010, dan Indonesia menurut Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI merupakan negara yang paling besar angka perceraiannya di dunia diantara negara Islam lainnya.
            Oleh karena itu dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dalam mempersulit angka perceraian adalah dengan syarat-syarat dan alasan-alasan yang sangat kuat yang diucapkan di depan sidang pengadilan. Alasan dan prosedur ini dituangkan dalam dalam pasal 39-40 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu: salah satu pihak atau dua-duanya zina/pemabuk yang sukar disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 tahun tanpa ijin, salah satu pihak dipenjara selama 5 tahun atau lebih, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan, salah satu pihak mendapatkan cacat badan sehingga tidak dapat melakukan fungsinya sebagai suami istri dan terus-menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan yang tidak mungkin disatukan lagi.

5. KESEIMBANGAN HAK DAN KEDUDUKAN SUAMI-ISTRI
            Perjuangan perempuan agar bisa sejajar dengan laki-laki bersifat universal, termasuk di Indonesia dilakukan melalui berbagai bidang terutama dalam ”Pengarus utamaan Gender” (PUG). Dan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 keseimbangan hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan ini dibuktikan dengan:
a.       Perkawinan harus disetujui kedua belah pihak dan tidak boleh ada pemaksaan (pasal 6 ayat 1);
b.      Pembentukan dan pembagian harta bersama (pasal 35 – 37).


c.       Kewenangan istri berbuat hukum, seperti mengelola harta bersama dan lain sebaginya (pasal 32 ayat 2)
d.      Pertumbuhan jumlah gugat cerai yang dilakukan oleh istri jauh lebih besar daripada jumlah cerai talak yang dilakukan suami, ini sebagai indikator kuat (walaupun tidak kita inginkan) bahwa hak istri sama dengan hak suami dalam hal memperjuangkan haknya sebagai manusia.

C. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
            Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan memang merupakan peraturan yang munomental, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih mengalami permasalahan yaitu :
1.      Meskipun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah berumur 40 tahun, namun pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap Undang-undang ini masih sangat rendah, maka perlu adanya penyuluhan dan sosialisasi yang lebih terencana, terpadu dan terus menerus dengan melalui berbagai media;
2.      Perlunya penegasan perkawinan antar agama, perkawinan orang-orang yang beragama selain agama yang diakui oleh pemerintah, perkawinan menurut tata cara aliran kepercayaan dan perkawinan adat. Hal ini perlu penegasan dan penjelasan agar masyarakat memperoleh kepastian dan perlindungan hukum yang wajar;
3.      Belum timbulnya kesadaran masyarakat untuk mencatatkan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup (life siclus) seperti: kelahiran, perkawinan, kepindahan dan kematian serta penataan administrasi pencatat peristiwa-peristiwa tersebut;
4.      Tingginya angka perceraian dalam masyarakat perlu pendekatan keagamaan dan pendekatan yuridis seperti yang telah banyak dilakukan terhadap keluarga-keluarga yang bermasalah, dan perlu dilakukan intervensi psikiatrik dalam upaya mencegah terjadinya perceraian;
5.      Tidak adanya sanksi pidana bagi mereka yang melanggar UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975, sehingga banyak sekali pelanggaran terhadap Undang-undang ini dengan banyaknya kawin dibawah tangan atau kawin sirri;


KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

A.      PENGERTIAN, KANDUNGAN DAN PROSES PEMBENTUKANNYA
          Suatu saat Ibnu Abbas mengatakan kepada Umar Ibn Khattab r.a: “Wahai Amirul Mukminin, Al Qur’an telah diturunkan kepada kita dan kita juga telah membacanya. Suatu kaum setelah kita juga akan membacanya, namun mereka tidak mengetahui dan memahami apa yang telah diturunkan. Maka dari sinilah setiap kaum memiliki pandangan, sehingga mereka berbeda pendapat”.
            Menilik apa yang disampaikan Ibnu Abbas tersebut, bisa pahami bahwa perbedaan itu sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan. Perbedaan bisa membuahkan kemudahan sekaligus menimbulkan perpecahan bahkan mungkin akan berakibat peperangan.
            Semakin jauh zaman ini dengan zaman Nabi Muhahammad SAW, semakin banyak pula perbedaan pendapat umat Islam. Agar umat Islam tidak tersesat pada pendapat yang salah dan jauh dari tujuan syari’ah, para ulama harus menyelamatkannya. Diantara usahanya adalah memilih pendapat yang benar dan sesuai dengan masyarakat yang dihadapinya. Dahulu usaha ini disebut madzhab. Sekarang, proses seleksi pendapat tersebut dan menghimpunnya dalam satu buku dinamakan “KOMPILASI”.
            Kompilasi berasal dari bahasa latin “compilare” yang berarti mengumpulkan bersama-sama. Dan dalam bahasa Inggris menjadi “compilation” yang berarti suatu kumpulan atau himpunan. Dari pemahaman bahasa diatas, dapat didefinisikan bahawa Kompilasi adalah: proses kegiatan pengumpulan bernagai bahan dan data yang diambil dari berbagai sumber buku sesuai dengan kebutuhan untuk disusun kembali ke dalam sebuah buku baru yang lebih terartur dan sistematis.
            Pengertian diatasmenunjukkan bahwa kompilasi dapat diterapkan dibidang hukum maupun diluar hukum. Pembuatan buku atau makalah dengan mengutip banyak sumber data tanpa analisis sedikitpun juga disebut kompilasi. Berbagai kitab fikih tentang perbandingan madzhab juga berisi kompilasi hukum Islam, seperti Bidayah al Mujtahid karya Ibnu Rusyd dan Al Mizan al Kubro karya Al Sya’rani.
            Dalam ilmu hukum, kompilasi masih digunakan dalam wilayah hukum Islam. Dalam hukum Islam terdapat aneka pendapat tentang suatu masalah yang berada dalam koridor Syari’ah, sedangkan diluar hukum Islam dikenal dengan “kodifikasi” yaitu: menghimpun peraturan perundang-undangan tentang bidang tertentu dalam satu buku, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
            Kompilasi bisa digunakan sebagai media untuk meningkatkan pendapat hukum menjadi perundang-undangan. Kompilasi saja tidak cukup karena belum memiliki kekuatan. Karenanya, kompilasi harus dilanjutkan hingga menjadi peraturan perundang-undangan. Proses demikian ini terjadi pada pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
            Gagasan pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dilontarkan tahun 1985, dan tidak ada kejelasan siapa yang melontarkan gagasan tersebut. Ada yang mengatakan pencetusnya Bustanul Arifin, Hakim Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Ada pula yang mengatakan bahwa pencetusnya Munawir Sjadzali, Menteri Agama RI, bahkan ada pula yang mengemukakan Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa MUI. Siapapun pencetusnya, yang jelas ketiga orang ini terlibat aktif dan strategis dalam melahirkan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
            Proyek pembentukan Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan oleh dua instansi, Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Kedua instansi ini mengangkat 16 orang sebagai pelaksana utama, delapan dari Mahkamah Agung, tujuh dari Depag dan satu orang dari MUI, KH. Ibrahim Hosen.
            Selain pelaksana utama, proyek KHI juga melibatkan para ulama seluruh Indonesia, para cendikiawan dari Perguruan Tinggi Agama Islam seluruh Indonesia. Tujuan proyek ini adalah mengkompilasikan aturan hukum Islam yang mencakup wilayah muamalah dan yurisdikasi pengadilan agama kedalam tiga kitab: (a) Kitab Perkawinan (b) Kitab Waris dan (c) Kitab Wakaf, Shadaqah, Hibah dan Baitul Mal.
            Bahan data yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan KHI adalah pendapat ulama seluruh Indonesia, serta hasil keputusan hakim di Peradilan Agama. Para ulama yang diwawancarai tercatat sebanyak 185 ulama seluruh Indonesia. Kitab-kitab yang menjadi kajian para cendikiawan sebanyak 38 kitab. Produk-produk yang diteliti berjumlah 16 buku himpunan yurisprudensi. Semua hasil kajian ini didiskusikan dalam beberapa lokakarya “Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi”. Selain itu hasil kajian juga diperkuat dengan hasil studi banding di tiga negara, yaitu: Maroko, Turki dan Mesir.
            Pada akhirnya, hasil semua kajian dirumuskan oleh pelaksana utama proyek KHI. Rumusan yang telah dianggap sempurna ini disampaikan dalam lokakarya yang terakhir kalinya. Begitu rumusan KHI telah disepakati, maka Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sebagai kekuatan hukum KHI. Inpres ini ditujukan kepada Menteri Agama RI agar menyebarluaskan rumusan KHI dan menggunakannya sebagai pertimbangan pengambilan keputusan hukum oleh hakim agama di Pengadilan Agama. Dengan demikian proses pembuatan KHI dimulai dari penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Hakim Agung dan Menteri Agama  tanggal 25 Maret 1985 hingga terbitnya Inpres 10 Juni 1991.

B.       KANDUNGAN POKOK DAN CORAK KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan dokumen paling penting mengenai syari’at yang tersebar luar di Indonesia. Pancasila melandasi KHI, pasal 1 dari penjelasan mengatakan: “Bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, ada hak atas eksistensi suatu hukum nasional tunggal yang akan menjamin kelangsungan kehidupan agama yang berdasarkan kepada prinsip Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang secara bersama-sama mewakili perwujudan kesadaran hukum komunitas dan rakyat Indonesia”.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukan undang-undang, tetapi “petunjuk terhadap undang-undang”. Ia dapat diterapkan oleh hakim Peradilan Agama dalm memecahkan perkara-perkara yang mereka hadapi (Penjelasan pasal 5). Pasal 3 dan 4 dari memorandum penjelasan KHI menyatakan bahwa “Undang-undang yang dapat diaplikasikan” didasarkan kepada urutan sumber-sumber Syari’at berikut: (a) teks-teks standar dari madzhab Syafi’i (b) teks-teks tambahan dari madzhab lain (c) fatwa-fatwa ulama, dan (e) situasi di negara lain. KHI diklaim sebagai ringkasan dari sumber-sumber tersebut untuk digunakan para hakim Pengadilan Agama.
KHI terdiri dari tiga buku, yaitu: (1) Buku I berkaitan dengan hukum perkawinan (pasal 1-170). Buku ini memuat 19 bab dan 170 pasal. (2) Buku II berkenaan dengan hukum waris (pasal 171-214). Buku III berkaitan dengan hukum wakaf (pasal 215-229) yang memuat lima bab dan 15 pasal. Legislasi kolonial telah mengatur tiga masalah yang sama tersebut, namun dalam KHI lebih terperinci.
Dari ketiga buku terswebut, masalah perkawinan paling banyak dibahas dibanding dua buku yang lain. KHI tidak saja membahas sisi hukum saja tetapi juga prosedur pelaksanaannya. Dalam hal ini terdapat 3 bentuk klausul KHI, yaitu: pernyataan hukum Islam pada pokok persoalan dengan rumusan yang sederhana; prosedur birokratis dalam pelaksanaan hukum; dan kontrol hukum oleh Pengadilan Agama. Sebagai contoh, pasal 129-142 dan 146-148 memerlukan prosedur sebelum perkawinan diputuskan berakhir dengan sah. Tanpa pemenuhan prosedur, hukum Islam tidak bisa diterapkan. Dengan demikian seorang suami yang ingin menyatakan talak harus melakukan permohonan secara lisan dan tulisan kepada Pengadilan Agama. Jika hakim mengizinkan talak maka salinan pernyataan dibuat dan didaftarkan sebagai “bukti perceraian”.
Tujuan pembatasan ini adalah untuk mengontrol status diri seseorang. Negara memiliki kepentingan besar dalam masalah ini, karena isteri yang dicerai dan anak-anak yang tanpa ayah akan menambah beban bagi negara. Ulama berargumen, talak diperbolehkan oleh syari’at, tapi secara sosial menyakitkan bagi semua pihak. Mempertahankan izin Tuhan dan merumuskan prosedur birokratis merupakan jawaban yang bijaksana.
KHI juga menjawab problem hukum Islam yang sering terjadi di masyarakat, tetapi jarang dikupas dalam kitab-kitab hukum Islam. Kehamilan di luar nikah sering terjadi di masyarakat akibat pergaulan bebas serta gaya hidup yang salah.

Oleh: Drs. H. Moh. Ersyad, M.HI

  • Penulis adalah: Staf Bidang Urusan Agama Islam Kantor Wilayah  Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur;