Haramnya Shalat Berjamaah Bersama Orang yang Bukan Mahram
“Tanpa ada mahram yang mendampingi”
Syari’at merupakan
perintah Allah bagi seluruh hamba-Nya dan haruslah ditaati, karena hal tersebut
merupakan kewajiban bagi kita sebagai hamba-Nya. Syari’at bukanlah sinonim dari
fiqih, karena syari’at lebih luas dari pada fiqih. Lapangan syari’at lebih luas
dari lapangan fiqih, karena lapangan syari’at adalah apa yang tercakup dalam
ilmu kalam (tauhid) dan ilmu fiqih, atau dalam bahasa lain fiqih adalah
sebagian dari isi syari’at karena pengertian syari’at adalah keseluruhan agama,
bukan hanya fiqih saja.[1]
Syari’at merupakan perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia atau
dapat dikatakan norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
manusia dengan sesamanya, dan bahkan manusia dengan alam semesta.
Syari’at juga
membahas masalah shalat lima waktu dan shalat berjamaah dan hal ini termasuk salah
satu norma-norma yang telah Allah tetapkan, dan itu haruslah dilaksanakan, karena apa yang Allah wajibkan
untuk para hamba-Nya harus dilaksanakan dan dosa adalah buah dari melalaikan
perintah Allah.
Dalam makalah ini, penulis akan
membahas tentang syari’at menegakkan shalat berjamaah bagi dua orang yang bukan muhrim. Syari’at menegakkan shalat lima
waktu adalah wajib bagi para pemeluk agama Islam, namun dalam mengerjakan shalat
tentu ada aturan-aturan yang terdapat didalamnya yang mana aturan-aturan itu
telah Allah tetapkan dalam al-Qur’an dan itu merupakan syari’at yang disampaikan
melalui Rasul-Nya untuk para hamba-Nya agar tidak ada kesesatan yang nyata
dalam pengerjaannya. Dalam shalat berjamaah ada banyak perkara yang harus
diperhatikan dan dipelajari lebih dalam.
Dalam kasus yang menjadi judul makalah ini misalnya, ada
seseorang mengatakan bahwa shalat berjamaah itu haram jika seorang laki-laki
mengimami wanita yang belum menjadi mahramnya. Maka dari
itu penulis akan membahas masalah itu dengan berlandaskan dalil-dalil yang
sahih agar tidak terdapat perdebatan yang tidak berkesudahan.
Melaksanakan shalat berjamaah tentu ada tata caranya beserta
rukun-rukunnya, yang mana hal-hal tersebut harus kita pahami sehingga shalat
kita dapat berjalan dengan baik dan khusyu. Namun sebelum
kita membahas kasus ini, alangkah baiknya jika kita mengetahui lebih mendalam
apa itu pengertian syari’at baik pengertian secara menurut bahasa maupun
menurut istilah beserta definisi syari’at menurut para ulama.
Banyak
sekali buku yang membahas pengertian syari’at, yang pada intinya mengandung
makna atau arti yang sama, dan berikut ini beberapa pengertian syari’at yang
dapat ditemukan dalam beberapa sumber tertulis:
Kata
syari’at merupakan mashdar dari kata syar’ yang berarti sesuatu yang dibuka
untuk mengambil yang ada didalamnya. Syari’at adalah perintah Allah yang
berhubungan dengan perbuatan manusia.[2]
Syari’at
semula mempunyai arti “jalan kepada sumber air” atau “lembah yang menurun
menuju air”. Secara harfiah, kata syara’a berarti “ menggambar jalan yang jelas
menuju kepada sumber air”. Dalam penggunaan yang bersifat keagamaan, kata ini
berarti “jalan kehidupan yang baik” yakni nilai-nilai keagamaan yang dinyatakan
secara fungsional dan dalam makna yang konkret, yang bertujuan mengarahkan
perilaku kehidupan manusia.[3]
Syari’at adalah seperangkat norma ilahi yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dalam
kehidupan sosial, maupun hubungan manusia dengan mahluk lainnya didalam
lingkungan hidupnya.[4]
Sedangkan
menurut istilah yang dikemukakan para ahli, syari’at memiliki beberapa
pengetian, yaitu:
Pertama,
syari’at menurut Syaltut, adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh Allah yang ditujukan bagi segenap hamba-Nya untuk
diikuti.
Kedua,
syari’at menurut Muhammad Sa’id ash-Ashmawi, pada awalnya berarti “jalan Allah”
pengertian itu mencakup aturan-aturan hukum yang diwahyukan dalam al-Qur’an dan
aturan-aturan yang termuat dalam Hadits, dan selanjutnya tafsir, pendapat,
ijtihad, fatwa ulama, serta keputusan hakim.
Ketiga,
syari’ah, menurut Yusuf al-Qardlawi, adalah hukum-hukum yang tetap yang disyari’atkan
oleh Allah melalui dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan
hal-hal yang merupakan cabang darinya seperti ijma, qiyas, dan dalil-dalil lain.
Keempat,
syari’ah, menurut ilmu Taimiyah, adalah konsep yang komprehensif yang mencakup
kebenaran spiritual sufi, kebenaran rasional para filsuf dan teolog, dan hukum.
Kelima,
syari’ah, menurut Amir syarifuddin, adalah hukum atau aturan hukum yang
ditetapkan Allah yang menyangkut tingkah laku manusia.[5]
Dari
beberapa pengertian dan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa syari’at
adalah sekumpulan aturan atau ketentuan yang berisi perintah, larangan hukum (syari’at)
yang ditetapkan Allah di dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh rasul-Nya untuk
mengatur dan membina serta membatasi tindakan mukallaf untuk mencapai tujuan
kehidupan yang baik sehingga jauh dari kerugian bahkan kesesatan di dunia dan
juga kerugian di akhirat.
Setelah kita
mengetahhui apa itu syari’at, maka sekarang kita akan membahas salah satu hal
yang berkaitan dengan syari’at, yaitu tentang shalat. Shalat adalah kewajiban
bagi umat muslim, shalat ada yang sunnah seperti shalat tarawih, shalat malam,
shalat dhuha dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk shalat wajib, hanya ada lima atau
yang biasa kita sebut shalat lima waktu. Dalam pengerjaan shalat wajib,
alangkah baiknya jika dilakukan secara berjamaah, karena kita
akan mendapat pahala berlipat ganda dibandingkan shalat
wajib sendirian.
Dalam shalat
berjamaan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan mulai dari rukun-rukunnya,
tata caranya, dan juga keutamaannya. Karena shalat bukanlah perkara yang dapat
dianggap sepele. Shalat adalah menjadi penghubung kita kepada Allah, shalat
sudah menjadi sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah kepada kita hamba-Nya
melalui Rasul-Nya.
Namun dalam
mengerjakan shalat berjamaah harus sesuai apa yang telah disyari’atkan dan jangan mengerjakan shalat di luar syari’at atau dapat dikatakan shalatnya
tidak memiliki landasan pengetahuan tentang shalat berjamah. Seperti shalatnya
laki-laki yang mengimami wanita yang bukan mahramnya. Karena Islam
menegaskan diharamkannya bagi laki-laki berdua-duaan dengan wanita yang bukan
mahramnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, Nabi SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan
dengan seorang wanita melainkan ketiganya adalah setan”. (HR Tirmidzi dan
Ahmad). Dan dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali
bersama mahramnya...” (HR Bukhori:3006,523, Muslim 1341, lihat Mausu’ah
al-Manahi Asy-Syari’ah 2/102)
Oleh karena itu,
jika shalatnya seorang wanita sebagai makmum di belakang seorang laki-laki yang
bukan mahram menjadikan mereka berdua-duaan (khalwat), hukumnya tidak boleh karena ini menjadi sebab kepada
sesuatu yang haram. Dan dalam kaidah fiqih dijelaskan sesuatu yang menyebabkan
kepada yang haram maka hukumnya adalah haram. (as-Syarh al-Mumthi’, 4/25)
Dalam kitab, (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 4/277). Imam Nawawi menyatakan makruh hukumnya seorang laki-laki shalat
dengan seorang wanita yang asing (bukan mahramnya) yang mana hal ini
berlandaskan hadits Nabi SAW di atas. Lalu Imam Nawawi menegaskan yang dimaksud
dengan makruh di sini adalah makruh tahrim (yaitu perkara yang diharamkkan
dalam syariat dan dosa adalah konsekuensi yang akan didapat jika melakukannya,
tapi berdasarkan dalil yang bersifat dzanni), yaitu jika laki-laki itu menjadi
berdua-duaan dengan wanita tersebut.
Imam Nawawi
melanjutkan, “Ulama mazhab Syafi’i mengataakan”, jika seorang laki-laki
mengimami istri atau mahramnya dan berdua-duaan dengannya, hukumnya boleh
karena ia dibolehkan berdua-duaan dengannya diluar waktu shalat. Sedangkan jika
ia mengimami seorang wanita asing dan berdua-duaan dengannya maka itu
diharamkan bagi laki-laki dan wanita tersebut berdasarkan hadits Nabi SAW, Ibnu
Abbas RA pernah meriwayatkan, Ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan
dengan perempuan kecuali disertai seorang mahram, dan janganlah seorang
perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya.” Lalu, ada seorang laki-laki
berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah,
saya termasuk yang terdaftar dalam perang ini dan itu, sedangkan istriku keluar
untuk menunaikan ibadah haji.” Maka, Beliau bersabda, “Pergilah berhaji bersama istrimu.” (HR. Muttafaq alaih).[6]
Tetapi jika seorang
laki-laki mengimami seorang wanita yang bukan mahramnya dengan ditemani seorang
laki-laki lain atau mahramnya, maka hukumnya tidak jatuh haram. Hal ini dikarenakan
di dalam shalat berjamaah tersebut telah terdapat mahram yang menyertainya.
Mengapa hal
semacam ini diharamkan. Selain karena dalil yang telah tercantum di dalam
hadits Nabi SAW, tentu masih ada alasan lain, yaitu menghindari fitnah.
Sekalipun dalam kondisi ibadah, kita diperintahkan untuk meknghindari segala macam
bentuk fitnah. Tak terkecuali fitnah syahwat. Untuk itu alangkah baiknya jika
seseorang ingin melakukan shalat berjamaah didampingi oleh mahramnya dan jangan
berdua-duaan.
Dari apa yang
telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa, syari’at merupakan
ketentuan hukum Allah yang pasti dan harus ditaati yang mana syari’at yang
telah Allah tetapkan itu terdapat di dalam al-Qur’an. Termasuk juga
syari’at-Nya mengenai perintah shalat yang menjadi kewajiban bagi
hamba-hambaa-Nya.
Beberapa
hal yang telah dijelaskan di atas terdapat beberapa alasan ulama tentang
mengapa mengimami shalat berjamaah seorang wanita yang bukan mahram itu haram.
Seperti landasana Imam Syafi’i yang menilai haramnya shalat berjamaah semacam
ini adalah karena adanya larangan untuk berduaan bagi laki-laki terhadap wanita
yang bukan mahramnya.
Hukum haram
dijatuhkan karena adanya kondisi berdua-duaan, yang mana hal itu terlarang
secara syariat, sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Israa’, (17:
32) yang artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah
sesuatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. Islam menutup
rapat-rapat segala macam hal yang dapat menghantarkan seorang hamba kepada
perbuatan yang keji, dan berdua-duaan bersama seseorang yang bukan muhrim
adalah salah satu jalan itu dan harus dihindari baik dengan cara apapun.
Dalam shalat
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, karena jika shalat yang
dikerjakan tidak sesuai apa yang telah disyari’atkan, maka kemungkinan besar
ibadah kita yaitu shalat kita tidak akan diterima oleh Allah.
Shalat berjamaah
yang dijatuhi hukum makruh tahrim adalah karena seorang laki-laki mengimami
seoarang wanita yang bukan mahramnya. Sebenarnya hal semacam itu dapat
dihindari dengan cara mengajak atau mengikut sertakan seorang mahram dalam shalat
berjamaah.
Ali,
Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Baits, Ammi Nur. Shalat Jamaah Berdua
dengan Wanita yang Bukan Mahram, Diakses 05 September 2015, pukul 17.50
WIB. http://www.konsultasisyariah.com/shalat-jamaah-berdua-dengan-wanita-yang-bukan-mahram-hukumnya-haram/
Bahri, Syamsul. Metodologi
Hukum Islam. Yogyakarta: Teras, 2008
Dahlan, Muhammad. Epistemologi
Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Hanafi, Ahmad. Pengantar
Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984
[1] Ahmad
Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal 10
[2] Syamsul
Bahri, Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta:
Teras, 2008), hal 79
[3] Muhammad
Dahlan, Epistemologi Hukum Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hal 84
[4] Zainuddin
Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum
Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 3
[5] Ibid.,
hal 85
[6] Ammi Nur Baits, Shalat Jamaah Berdua dengan Wanita yang Bukan Mahram,
http://www.konsultasisyariah.com/shalat-jamaah-berdua-dengan-wanita-yang-bukan-mahram-hukumnya-haram/. Diakses 05 September 2015, pukul 17.50 WIB.
Oleh: Agus Hardiyanto
Nim : 14820061
Post a Comment