Ciri Khas Ekonomi Syariah


     Tidak banyak yang dikemukakan dalam Al Qur'an, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur'an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:
1. Kesatuan (unity)
2. Keseimbangan (equilibrium)
3. Kebebasan (free will)
4. Tanggung Jawab (responsibility)

                 Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi. Didalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti "kelebihan". Dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 275 disebutkan bahwa Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...

Ekonomi Islam

Sudut pandang Ekonomi Syariah berdasarkan Ekonomi Keseimbangan adalah suatu pandangan islam terhadap hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat menurut Syariah Islam tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis, dan juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetap Islam mengakui hak individu dan masyarakat.

Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun ironinya, pada saat ini justru ummat Islam yang terpuruk dalam ekonomi. Bahkan lebih parah lagi, Islam dianggap sebagai factor penghambat dalam pembangunan ekonomi. Padahal, jika ummat Islam konsisten terhadap ajaran agamanya, maka jalan menuju kesejahteraan sebenarnya terbuka lebar, karena Al Qur’an sebagai Kitab Suci dalam berbagai ayatnya mengajarkan motivasi dalam berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sistem Ekonomi Syariah mengakui adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha, dan resiko. Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara yang kaya dengan yang miskin karena kesenjangan yang terlalu dalam tidak sesuai dengan Syariah Islam yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan saja karunia dari Allah bagi semua manusia, melainkan juga merupakan amanah.

Dalam sistem ekonomi syariah dikenal beberapa bentuk kemitraan dalam berusaha, namun yang umum dikenal ada 2 (dua), yaitu Mudharabah dan Musyarakah.

Mudharabah adalah sebuah bentuk kemitraan di mana salah satu mitra, yang disebut “shahibul-maal” atau “rabbul-maal” (penyedia dana) yang menyediakan sejumlah modal tertentu dan bertindak sebagai mitra pasif, sedangkan mitra yang lain disebut “mudharib” yang menyediakan keahlian usaha dan manajemen untuk menjalankan ventura, perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan mendapatkan laba.

Musyarakah merupakan suatu bentuk organisasi usaha di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi sama atau tidak sama. Keuntungan dibagi menurut perbandingan yang sama atau tidak sama, sesuai kesepakatan, antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal.

Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.

عليكم بالتجارة فان فيها تسعة اعشار الرزق
( رواه احمد)

“ Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu rezeki ada dalam bisnis” 
(H.R.Ahmad).

Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.

Prof. Dr. Muhammad N. Ash-Shiddiqy, dalam buku “Muslim Economic Thinking” meneliti 700 judul buku yang membahas ekonomi Islam. (London, Islamic Fountaion, 1976). Dr. Javed Ahmad Khan dalam buku Islamic Economics & Finance : A Bibliografy, (London, Mansell Publisihing Ltd) , 1995 mengutip 1621 tulisan tentang Ekonomi Islam.

Haramnya Shalat Berjamaah Bersama Orang yang Bukan Mahram

Haramnya Shalat Berjamaah Bersama Orang yang Bukan Mahram
“Tanpa ada mahram yang mendampingi”

Syari’at merupakan perintah Allah bagi seluruh hamba-Nya dan haruslah ditaati, karena hal tersebut merupakan kewajiban bagi kita sebagai hamba-Nya. Syari’at bukanlah sinonim dari fiqih, karena syari’at lebih luas dari pada fiqih. Lapangan syari’at lebih luas dari lapangan fiqih, karena lapangan syari’at adalah apa yang tercakup dalam ilmu kalam (tauhid) dan ilmu fiqih, atau dalam bahasa lain fiqih adalah sebagian dari isi syari’at karena pengertian syari’at adalah keseluruhan agama, bukan hanya fiqih saja.[1] Syari’at merupakan perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia atau dapat dikatakan norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, dan bahkan manusia dengan alam semesta.
Syari’at juga membahas masalah shalat lima waktu dan shalat berjamaah dan hal ini termasuk salah satu norma-norma yang telah Allah tetapkan, dan itu haruslah  dilaksanakan, karena apa yang Allah wajibkan untuk para hamba-Nya harus dilaksanakan dan dosa adalah buah dari melalaikan perintah Allah.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang syari’at menegakkan shalat berjamaah bagi dua orang yang bukan muhrim. Syari’at menegakkan shalat lima waktu adalah wajib bagi para pemeluk agama Islam, namun dalam mengerjakan shalat tentu ada aturan-aturan yang terdapat didalamnya yang mana aturan-aturan itu telah Allah tetapkan dalam al-Qur’an dan itu merupakan syari’at yang disampaikan melalui Rasul-Nya untuk para hamba-Nya agar tidak ada kesesatan yang nyata dalam pengerjaannya. Dalam shalat berjamaah ada banyak perkara yang harus diperhatikan dan dipelajari lebih dalam.
Dalam kasus yang menjadi judul makalah ini misalnya, ada seseorang mengatakan bahwa shalat berjamaah itu haram jika seorang laki-laki mengimami wanita yang belum menjadi mahramnya. Maka dari itu penulis akan membahas masalah itu dengan berlandaskan dalil-dalil yang sahih agar tidak terdapat perdebatan yang tidak berkesudahan.
Melaksanakan shalat berjamaah tentu ada tata caranya beserta rukun-rukunnya, yang mana hal-hal tersebut harus kita pahami sehingga shalat kita dapat berjalan dengan baik dan khusyu. Namun sebelum kita membahas kasus ini, alangkah baiknya jika kita mengetahui lebih mendalam apa itu pengertian syari’at baik pengertian secara menurut bahasa maupun menurut istilah beserta definisi syari’at menurut para ulama.
Banyak sekali buku yang membahas pengertian syari’at, yang pada intinya mengandung makna atau arti yang sama, dan berikut ini beberapa pengertian syari’at yang dapat ditemukan dalam beberapa sumber tertulis:
Kata syari’at merupakan mashdar dari kata syar’ yang berarti sesuatu yang dibuka untuk mengambil yang ada didalamnya. Syari’at adalah perintah Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia.[2]
Syari’at semula mempunyai arti “jalan kepada sumber air” atau “lembah yang menurun menuju air”. Secara harfiah, kata syara’a berarti “ menggambar jalan yang jelas menuju kepada sumber air”. Dalam penggunaan yang bersifat keagamaan, kata ini berarti “jalan kehidupan yang baik” yakni nilai-nilai keagamaan yang dinyatakan secara fungsional dan dalam makna yang konkret, yang bertujuan mengarahkan perilaku kehidupan manusia.[3]
 Syari’at adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial, maupun hubungan manusia dengan mahluk lainnya didalam lingkungan hidupnya.[4]
Sedangkan menurut istilah yang dikemukakan para ahli, syari’at memiliki beberapa pengetian, yaitu:
Pertama, syari’at menurut Syaltut, adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah yang ditujukan bagi segenap hamba-Nya untuk diikuti.
Kedua, syari’at menurut Muhammad Sa’id ash-Ashmawi, pada awalnya berarti “jalan Allah” pengertian itu mencakup aturan-aturan hukum yang diwahyukan dalam al-Qur’an dan aturan-aturan yang termuat dalam Hadits, dan selanjutnya tafsir, pendapat, ijtihad, fatwa ulama, serta keputusan hakim.
Ketiga, syari’ah, menurut Yusuf al-Qardlawi, adalah hukum-hukum yang tetap yang disyari’atkan oleh Allah melalui dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan hal-hal yang merupakan cabang darinya seperti ijma, qiyas, dan dalil-dalil lain.
Keempat, syari’ah, menurut ilmu Taimiyah, adalah konsep yang komprehensif yang mencakup kebenaran spiritual sufi, kebenaran rasional para filsuf dan teolog, dan hukum.
Kelima, syari’ah, menurut Amir syarifuddin, adalah hukum atau aturan hukum yang ditetapkan Allah yang menyangkut tingkah laku manusia.[5]
Dari beberapa pengertian dan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa syari’at adalah sekumpulan aturan atau ketentuan yang berisi perintah, larangan hukum (syari’at) yang ditetapkan Allah di dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh rasul-Nya untuk mengatur dan membina serta membatasi tindakan mukallaf untuk mencapai tujuan kehidupan yang baik sehingga jauh dari kerugian bahkan kesesatan di dunia dan juga kerugian di akhirat.
Setelah kita mengetahhui apa itu syari’at, maka sekarang kita akan membahas salah satu hal yang berkaitan dengan syari’at, yaitu tentang shalat. Shalat adalah kewajiban bagi umat muslim, shalat ada yang sunnah seperti shalat tarawih, shalat malam, shalat dhuha dan masih banyak lagi. Sedangkan  untuk shalat wajib, hanya ada lima atau yang biasa kita sebut shalat lima waktu. Dalam pengerjaan shalat wajib, alangkah baiknya jika dilakukan secara berjamaah, karena kita akan mendapat pahala berlipat ganda dibandingkan shalat wajib sendirian.
Dalam shalat berjamaan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan mulai dari rukun-rukunnya, tata caranya, dan juga keutamaannya. Karena shalat bukanlah perkara yang dapat dianggap sepele. Shalat adalah menjadi penghubung kita kepada Allah, shalat sudah menjadi sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah kepada kita hamba-Nya melalui Rasul-Nya.
Namun dalam mengerjakan shalat berjamaah harus sesuai apa yang telah disyari’atkan dan jangan mengerjakan shalat di luar syari’at atau dapat dikatakan shalatnya tidak memiliki landasan pengetahuan tentang shalat berjamah. Seperti shalatnya laki-laki yang mengimami wanita yang bukan mahramnya. Karena Islam menegaskan diharamkannya bagi laki-laki berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahramnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, Nabi SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita melainkan ketiganya adalah setan”. (HR Tirmidzi dan Ahmad). Dan dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali bersama mahramnya...” (HR Bukhori:3006,523, Muslim 1341, lihat Mausu’ah al-Manahi Asy-Syari’ah 2/102)
Oleh karena itu, jika shalatnya seorang wanita sebagai makmum di belakang seorang laki-laki yang bukan mahram menjadikan mereka berdua-duaan (khalwat), hukumnya tidak boleh karena ini menjadi sebab kepada sesuatu yang haram. Dan dalam kaidah fiqih dijelaskan sesuatu yang menyebabkan kepada yang haram maka hukumnya adalah haram. (as-Syarh al-Mumthi’, 4/25)
Dalam kitab, (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 4/277). Imam Nawawi menyatakan makruh hukumnya seorang laki-laki shalat dengan seorang wanita yang asing (bukan mahramnya) yang mana hal ini berlandaskan hadits Nabi SAW di atas. Lalu Imam Nawawi menegaskan yang dimaksud dengan makruh di sini adalah makruh tahrim (yaitu perkara yang diharamkkan dalam syariat dan dosa adalah konsekuensi yang akan didapat jika melakukannya, tapi berdasarkan dalil yang bersifat dzanni), yaitu jika laki-laki itu menjadi berdua-duaan dengan wanita tersebut.
Imam Nawawi melanjutkan, “Ulama mazhab Syafi’i mengataakan”, jika seorang laki-laki mengimami istri atau mahramnya dan berdua-duaan dengannya, hukumnya boleh karena ia dibolehkan berdua-duaan dengannya diluar waktu shalat. Sedangkan jika ia mengimami seorang wanita asing dan berdua-duaan dengannya maka itu diharamkan bagi laki-laki dan wanita tersebut berdasarkan hadits Nabi SAW, Ibnu Abbas RA pernah meriwayatkan, Ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan perempuan kecuali disertai seorang mahram, dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya.” Lalu, ada seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya termasuk yang terdaftar dalam perang ini dan itu, sedangkan istriku keluar untuk menunaikan ibadah haji.” Maka, Beliau bersabda, “Pergilah berhaji bersama istrimu.” (HR. Muttafaq alaih).[6]
Tetapi jika seorang laki-laki mengimami seorang wanita yang bukan mahramnya dengan ditemani seorang laki-laki lain atau mahramnya, maka hukumnya tidak jatuh haram. Hal ini dikarenakan di dalam shalat berjamaah tersebut telah terdapat mahram yang menyertainya.
Mengapa hal semacam ini diharamkan. Selain karena dalil yang telah tercantum di dalam hadits Nabi SAW, tentu masih ada alasan lain, yaitu menghindari fitnah. Sekalipun dalam kondisi ibadah, kita diperintahkan untuk meknghindari segala macam bentuk fitnah. Tak terkecuali fitnah syahwat. Untuk itu alangkah baiknya jika seseorang ingin melakukan shalat berjamaah didampingi oleh mahramnya dan jangan berdua-duaan.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa, syari’at merupakan ketentuan hukum Allah yang pasti dan harus ditaati yang mana syari’at yang telah Allah tetapkan itu terdapat di dalam al-Qur’an. Termasuk juga syari’at-Nya mengenai perintah shalat yang menjadi kewajiban bagi hamba-hambaa-Nya.
            Beberapa hal yang telah dijelaskan di atas terdapat beberapa alasan ulama tentang mengapa mengimami shalat berjamaah seorang wanita yang bukan mahram itu haram. Seperti landasana Imam Syafi’i yang menilai haramnya shalat berjamaah semacam ini adalah karena adanya larangan untuk berduaan bagi laki-laki terhadap wanita yang bukan mahramnya.
Hukum haram dijatuhkan karena adanya kondisi berdua-duaan, yang mana hal itu terlarang secara syariat, sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Israa’, (17: 32)  yang artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah sesuatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. Islam menutup rapat-rapat segala macam hal yang dapat menghantarkan seorang hamba kepada perbuatan yang keji, dan berdua-duaan bersama seseorang yang bukan muhrim adalah salah satu jalan itu dan harus dihindari baik dengan cara apapun.
Dalam shalat terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, karena jika shalat yang dikerjakan tidak sesuai apa yang telah disyari’atkan, maka kemungkinan besar ibadah kita yaitu shalat kita tidak akan diterima oleh Allah.
Shalat berjamaah yang dijatuhi hukum makruh tahrim adalah karena seorang laki-laki mengimami seoarang wanita yang bukan mahramnya. Sebenarnya hal semacam itu dapat dihindari dengan cara mengajak atau mengikut sertakan seorang mahram dalam shalat berjamaah.

Ali, Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar                 Grafika, 2006
Baits, Ammi Nur. Shalat Jamaah Berdua dengan Wanita yang Bukan Mahram, Diakses 05 September 2015, pukul 17.50 WIB. http://www.konsultasisyariah.com/shalat-jamaah-berdua-dengan-wanita-yang-bukan-mahram-hukumnya-haram/
Bahri, Syamsul. Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta: Teras, 2008
Dahlan, Muhammad. Epistemologi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Hanafi, Ahmad. Pengantar Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984



[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam  (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal 10
[2] Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Teras, 2008), hal 79
[3] Muhammad Dahlan, Epistemologi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 84
[4] Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 3
[5] Ibid., hal 85
[6] Ammi Nur Baits, Shalat Jamaah Berdua dengan Wanita yang Bukan Mahram, http://www.konsultasisyariah.com/shalat-jamaah-berdua-dengan-wanita-yang-bukan-mahram-hukumnya-haram/. Diakses 05 September 2015, pukul 17.50 WIB.

Oleh: Agus Hardiyanto
Nim : 14820061