Manfaat Nilai Keadilan sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengkomplementasikan pengembangan Iptek haruslah menjaga keseimbangan keadilan dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam lingkungannya (T. Jacob, 1986)

Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, IPTEK didasarkan pada keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan. (T. Jacob, 2000;156)

Contoh dari sila kelima ini adalah ditemukannya varietas bibit unggul padi Cilosari dari teknik radiasi. Penemuan ini adalah hasil buah karya anak bangsa. Diharapkan dalam perkembangan swasembada pangan ini nantinya akan mensejahterakan rakyat Indonesia dan memberikan rasa keadilan setelah ditingkatkannya jumlah produksi sehingga pada perjalanannya rakyat dari berbagai golongan dapat menikmati beras berkualitas dengan harga yang terjangkau.




sumber

Pengaruh Nilai Kerakyatan sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mendasari pengembangan Iptek secara demokratis. Artinya setiap ilmuwan haruslah memiliki kebebasan untuk mengembangkan Iptek. Selain itu, dalam pengembangan Iptek setiap ilmuwan juga harus menghormati dan menghargai kebebasan oang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka untuk dikritik, dikaji ulang maupun dibandingkan dengan penemuan teori lainnya.

Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan perwakilan, meminta kita membuka kesempatan yang sama bagi semua warga untuk dapat mengembangkan IPTEK dan mengenyam hasilnya sesuai kemampuan dan keperluan masing-masing, sehingga tidak adanya monopoli IPTEK. (T. Jacob, 2000;155)

Pengaruh nilai Kerakyatan sebagai dasar pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) adalah meningkatkan kreatifitas masyarakat Indonesia untuk menghasilkan suatu karya cipta dalam bidang apapun untuk kesejahteraan warga negara Indonesia. Seorang penemu muda Ricky Elson contohnya. Beliau dan rekan-rekannya berhasil menciptakan mobil listrik Indonesia pertama yaitu Tuxuci kemudian dikaji ulang hingga pada tahun 2013 telah muncul mobil bertenaga listrik Selo. Pada saat ini Ricky Elson pemuda Indonesia berusia 33 tahun tengah mengembangkan becak listrik dan pembangkit listrik tenaga angin di daerah sumba yang menjadi pembangkit listrik tenaga angin terbaik di dunia.

Dengan selalu berupaya demi kebangkitan Indonesia dan nilai Kerakyatan sebagai dasar pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), tangan-tangan ahli anak Indonesia menciptakan ide-ide kreatif yang menghasilkan intelektual properti.




sumber

Penerapan Nilai Persatuan sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Sila persatuan Indonesia, mengkomplementasikan universalia dan internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila lain. Pengembangan Iptek diarahkan demi kesejahteraan umat manusia termasuk di dalamnya kesejahteraan bangsa Indonesia. Pengembangan Iptek hendaknya dapat mengembangkan rasa nasionalisme. Kebesaran bangsa serta keluhuran bangsa sebagai bagian dari umat manusia di dunia.

Sila persatuan Indonesia mengingatkan kita untuk mengembangkan IPTEK untuk seluruh tanah air dan bangsa secara merata. Selain itu memberikan kesadaran bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia akibat adanya kemajuan IPTEK, dengan IPTEK persatuan dan kesatuan bangsa dapat berwujud, persaudaraan dan persahabatan antar daerah dapat terjalin. (T. Jacob, 2000;155)

Contoh persoalan atau kebijakan dari nilai persatuan sebagai dasar pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yaitu adanya media sosial seperti facebook atau twitter yang dapat menyatukan masyarakat Indonesia untuk membantu warga negara Indonesia yang membutuhkan bantuan seperti adanya Laskar Sedekah yang menyalurkan sedekah masyarakat kepada yang berhak untuk menerima. Selain itu, orang-orang yang sudah bersedekah dapat mengetahui bentuk kegiatan Laskar Sedekah melalui akun media sosial yang mengunggah foto-foto penerima sedekah. Manfaat lainnya dari penerapan nilai persatuan sebagai dasar pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yakni dapat membuat masyarakat Indonesia lebih tanggap, contohnya jika terjadi bencana alam di suatu daerah seperti kabut asap maka informasi-informasi lebih cepat meluas dan menyebar. Sehingga fungsi dari nilai persatuan sebagai dasar pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) adalah memperrmudah mempersatukan masyarakat Indonesia dalam segala urusan.




sumber

Definisi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Manusia sebagai makhluk jasmani rohani sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa sekaligus individu dan makhluk sosial, pada hakikatnya sebagai makhluk homo sapiens makhluk yang berakal di samping berasa dan berkehendak. Sebagai makhluk yang berakal, manusia memiliki kemampuan intelektual yang mampu menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah unsur-unsur yang pokok dalam kebudayaan manusia, dalam dunia ilmu pengetahuan terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu (1) pendapat yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, artinya tidak ada sangkut pautnya dengan moral, dengan etika, dengan kemanusiaan, dengan ketuhanan. (2) pendapat kedua menyatakan bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya untuk kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan adalah terikat nilai yaitu nilai moral, nilai kemanusiaan, nilai religious. Bagi Pancasila ilmu pengetahuan itu berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan beradilan.

Maka dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi moral, etika serta nilai-nilai religious. Dengan perkataan lain ilmu pengetahuan harus dilandasi etika ilmiah dan yang paling penting dalam etika ilmiah adalah menyangkut hidup mati orang banyak, masa depan, hak-hak manusia dan lingkungan hidup. Hal-hal yang perlu ditekankan adalah sebagai berikut:

1. Risiko percobaan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi
2. Kemungkinan penyalahgunaannya
3. Kompatibilitas dengan moral yang berlaku
4. Terganggunya sumber daya dan pemerataannya
5. Hak individu untuk memilih sesuatu sesuai dengan dirinya




sumber

Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

Dalam upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia.Unsur jiwa (rohani) manusia meliputi aspek akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan potensi rohani manusia dalam hubungan dengan intelektualitas, rasa dalam bidang estetis, dan kehendak dalam bidang moral (etika). Atas dasar kreativitas akalnya manusia mengembangkan iptek dalam rangka untuk mengolah kekayaan alam yang sediakan oleh Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu tujuan essensial dari Iptek adalah demi kesejahteraan umat manusia, sehingga Iptek pada hakikatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh nilai. Dalam masalah ini Pancasila telah memberikan dasar nilai-nilai bagi pengembangan Iptek demi kesejahteraan hidup manusia. Pengembangan Iptek sebagai hasil budaya manusia harus didasarkan pada moral Ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pancasila yang sila-silanya merupakan suatu kesatuan yang sistematis haruslah menjadi sistem etika pengembangan Iptek.

Pancasila sebagai filsafat ilmu harus mengandung nilai ganda, yaitu:
1. Harus memberikan landasan teoritik (dan normatif) bagi penguasaan dan pengembangan iptek dan menetapkan tujuannya.

2. Memiliki nilai instrinsik tujuan iptek yang senantiasa dilandasi oleh nilai mental kepribadian dan moral manusia. Nilai-nilai kualitatif dan normatif secara kategoris harus terkandung dalam ajaran filsafat. Kualitas dan identitas nilai mental dan kepribadian manusia senantiasa berhubungan dengan nilai filsafat dan atau agama.

Kedudukan filsafat ilmu harus berasaskan kerokhanian dari sistem keilmuan dan pengembangannya. Fungsi mental dan moral kepribadian manusia dalam implemantasi iptek merupakan kriteria yang signifikan suatu keilmuan. Keilmuan harus berorientasi praktis untu kepentingan bangsa. Selain itu, kebenaran yag dianut epistomologis Pancasila prinsip kebenaran eksistensial dalam rangka mewujudkan harmoni maksimal yang sesuai taraf-taraf fisiokismis, biotik, psikis, dan human dalam rangka acuan norma ontologis transedental. Dengan pendekatan pencerdasan kehidupan bangsa, epsitomologis Pancasila bersifat terbuka terhadap berbagai aliran filsafat dunia (Dimyati, 2006).


sumber

Adab dan Ilmu

Ibrahim Bin Habib Bin As Syahid yang merupakan perawi hadits yang tsiqah demikian juga ayahnya, menyampaikan, bahwa ayah beliau pernah berpesan, "Wahai anakku, datangilah fuqaha dan ulama dan belajarlah dari mereka. Ambillah dari mereka adab dan akhlak, itu lebih aku cintai darimu daripada banyak hadits." 

[Jami’ Adab As Sami’ wa Adab Ar Rawi, 1/80].
Lihat bagaimana salafus saleh lebih mengutamakan adab dan akhlak ketimbang Ilmu hadits, padahal ilmu hadits adalah ilmu paling mulia di Dunia sebagaimana perkataan Abu Ashim yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Isa Az-Zujaj : "Siapa yang mempelajari ilmu hadits berarti ia telah mempelajari ilmu yang paling mulia di dunia ini, dan ia akan menjadi manusia-manusia yang terbaik."

Education System Compared Japan and Indonesia at University Level

🌷 kamu penggemar mangga, atau mengagumi kedisplinann orang2 jepang, dan teknologinya yg memukau dunia.

🌷 Atau kamu berniat studi ke jepang, dan belum mengetahui sistem pendidikan disana.

🚪 Kelas spesial Cerita Ilmu

🌱 Tema : Education System Compared Japan and Indonesia at University Level

⛩ Bersama PHD CANDIDATE :
Ali rahmat. S.P. M.App. Sc.
Mahasiswa S3 Gifu University

⏰ When_ ???
⏰ Rabu malam, 7 desember 2016 pkl. 20.00

🏡 Where_ ???
🔎Whatsapp group

🏅🏅Pemateri yg bakal nemenin kita merupakan 🎖🎖Mahasiswa S2 dan S3 Gifu University Jepang

Ayo Join bersama Cerita Ilmu karena belajar itu menyenangkan

For register :
1. Share info ini ke 3 group sosmed.
2. Kirim bukti Screenshot ke Whatsapp dan
Ketik : DAFTAR CI-NAMA-KAMPUS-CP _kirim_ _ke_ +6281279463026 atau +62 831-7703-2944
Pendaftaran sampe jam 5 sore tgl 7.

Fasilitas E- Certificate

For future information 📲

Rini ( +62 831-7703-2944 )
Uswatun ( +6281279463026)

Best Regards

Ketua Pelaksana :
Muhammad Antariksa

Muhammad Ali al husain
Founder Cerita Ilmu

Penulisan Aitem

Aitem-aitem tes yang bertipe Benar-Salah harus juga memenuhi beberapa kriteria sebagai kaidah penulisan, agar syarat kualitas aitem dapat terpenuhi. Berikut adalah petunjuk atau kaidah penulisan aitem tipe Benar-Salah seperti yang dikemukakan oleh Ebel (1979).

1) Aitem haruslah mengungkap ide atau gagasan yang penting.

Kurang baik :
Presiden Sukarno lahir di Blitar

Komentar : kecuali dalam konteks belajar sejarah, masalah tempat dimana seseorang dilahirkan, sekalipun beiau orang penting, hanyalah menarik untuk dijadikan topik pembicaraan sehari-hari dan kurang berarti untuk dijadikan pertanyaan dalam tes yang harusnya berisi hal-hal yang tidak boleh untuk tidak diketahui. Masih banyak hal lain mengenai Presiden Sukarno yang lebih patut untuk diungkap.

Lebih baik :
Dwikora dikumandangkan oleh presiden Sukarno dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat.

2) Aitem tipe Benar-Salah hendaknya menguji pemahaman, jangan hanya mengungkap ingatan mengenai suatu fakta atau hafalan.

Kurang baik :
Kuadrat hipotenusa pada suatu segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat sisi yang lain.

Komentar : aitem seperti contoh di atas tidak lebih daripada pengulangan apa yang sudah tertulis di dalam buku, karenanya hanya akan mengukur kemampuan menghafal tanpa menambah pengertian.

Lebih baik :
Apabila hipotenusa suatu segitiga siku-siku sama sisi adalah 7 cm, maka panjang masing-masing sisi yang lain pasti lebih daripada 5 cm.

3) Kebenaran atau ketidakbenaran suatu aitem haruslah bersifat mutlak.

Kurang baik :
Menambah jumlah aitem pada suatu tes aka meningkatkan reliabilitas tes tersebut

Komentar : jawaban terhadap aitem tersebut adalah B (Benar) apabila penjawab berasumsi bahwa aitem yang ditambahkan adalah pararael aatau homogen isinya dengan aitem yang sudah ada didalam tes itu. Tetapi, mereka yang menjawab S (Salah) pun haruslah diberi angka, karena tanpa disebutkan mengenai keadaan aitem yang ditambahkan, maka tidak ada keharusan untuk berasumsi mengenai homogenitas aitem yang dimaksud.

Lebih baik :
Suatu tes yang terdiri dari 40 aitem mempunyai reliabilltas r=0,60. Apabila pada tes tersebut ditambahkan 20 aitem lagi yang pararel isinya, maka estimasi reliabilitas adalah r=0,90.

4) Aitem harus menguji pengetahuan yang spesifik danjawabannya tidak jelas bagi semua orang, kecuali bagi mereka yang menguasai pelajaran.

Kurang baik :
Belajar yang kurang teratur dapat menyebabkan nilai ujian yang rendah.

Komentar : aitem seperti itu terlalu umum dan terlalu jelas jawabannya bagi siapa saja, baik ia tahu masalah maupun ia tidak memahami bahan pelajaran.
Lebih baik menanyakan hal yang spesifik berkenaan dengan teori tentang belajar.

Lebih baik :
Menghafal tiga kali sehari masing-masing selama 30 menit lebih baik hasilnya daripada menghafal satu kali sehari selama 120 menit.

5) Aitem harus dinyatakan secara jelas.

Kurang baik :
Belajar dengan prinsip 2 x 4 adalah lebih baik daripada 4 x 2. Ini sejalan dengan prinsip “The Law of Effect” nya Thorndike.

Komentar : ada beberapa hal yang menyebabkan aitem ini dianggap aitem yang buruk. Pertama, prinsip 2x4 tersebut tidak dapat diterapkan pada semua jenis belajar. Jadi, kebenaran aitem tersebuut masih diperdebatkan.

Kedua, tidak jelas sebenarnya apa yang ingin diuji oleh penulis aitem, pengetahuan mengenai prinsip belajarkah atau pengetahuan mengenai siapa tikoh yang mengemukakan prinsip tersebut, ataukah kecocokan antara prinsip dengan teori Thorndike?

Ketiga, aitem tersebut mengandung dua gagasan atau lebih yang keduanya dapat hanya benar salah satunya saja, sehingga tidak berisi ide yang tunggal dan spesifik.

Lebih baik :
Menurut Thorndike, agar bahan pelajaran tidak mudah terlupakan, kita harus sering mengulanginya.

Prinsip – Prinsip Pembuatan Tipe Benar – Salah


Petunjuk penyusunan :

1. Tulislah huruf B / S pada permulaan masing – masing item dengan maksud mempermudah mengerjakan dan menilai ( skoring )

2. Kalimat yang dipergunakan untuk menyatakan isi item harus dirumuskan secara jelas dan tegas sehingga isi item tersebut jelas – jelas mempunyai arti tunggal yakni benar atau salah.

3. Kalimat yang dipergunakan untuk menyatakan suatu item jangan disajikan terlalu panjang, karena uraian yang terlalu panjang kebanyakan mengarah ke jawaban yang benar dan sebaliknya.

4. Hindarilah pernyataan negatif atau pun pernyataan negatif ganda dalam suatu item seperti tidak, bukan tidak. Karena penggunaan pernyataan negatif atau negatif ganda dalam suatu item menuntut perhatian ekstra dari siswa untuk dapat memahami isi item tersebut. Apabila tuntutan ini tidak dipenuhi, maka kemungkinan besar akan menjawab salah.

5. Usahakan agar jumlah butir soal yang harus dijawab B sama dengan butir soal yang dijawab S dalam hal ini hendaknya pola jawaban tidak bersifat teratur misalnya : B – S – B - S – B – S atau SS-BB-BB-SS.

6. Hindari item yang masih bisa diperdebatkan :
Contoh : B-S. Kekayaan lebih penting dari kepandaian.

7. Hindarilah pertanyaan – pertanyaan yang persis dengan buku.

8. Hindarilah kata – kata yang sifatnya mutlak, seperti selalu, semua, tidak pernah, mesti, dsb, sebab item yang mengandung kata – kata tersebut cenderung merupakan suatu item yang jawabannya salah . sebaliknya penggunaan kata – kata yang sifatnya relatif, seperti barangkali, kadang – kadang, biasanya, mungkin dsb seringkali merupakan tanda bahwa item yang bersangkutan adalah benar.


sumber

Standarisasi Ilmu


Beberapa pandangan tentang kebenaran tak terelakkan mengarah kepada relativisme, Filsafat adalah merupakan contoh dari suatu sistem yang mempertahankan kebenaran hingga mengarah ke bentuk solip. Lingkungan dari berbagai budaya sepertinya mengadopsi kebenaran yang berbeda satu dengan lainnya karena di sana tidak ada jalan untuk membandingkan secara transkultural. Popper mengatakan: kita terkurung dalam kerangka teori kita, ekspektasi kita, pengalaman lampau kita, dan bahasa kita. Dalam perjalanan sejarah Ilmu, ilmu modern (Positivisme) berusaha melakukan standarisasi metode dan kebenaran pengetahuan. Faham Positivisme menginginkan satu standar bagi pengetahuan dan keyakinan manusia yaitu ilmu. Menurutnya ilmu lebih unggul baik dalam metode maupun kebenaran dibanding pengetahuan dan keyakinan lainnya.

Gadamer menginginkan standard metode yang berbeda untuk ilmu humaniora, karena menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang sepenuhnya berbeda dengan alasan teoritis. Demikian juga Dilthey dan Weber menginginkan pendekatan yang berbeda untuk dunia sosial, mereka menetapkan teori kritis tentang masyarakat. Kata “benar” yang dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun semuanya tidak dapat diukur dengan standard yang sama (inkommensurabel), tidak ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah benar dalam suatu makna kata namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata “ilmu penciptaan” sebagai pemilik kebenaran menjadi bermakna keteraturan (kosmos) diterima sebagai ilmiah namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.

Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi dari suatu masyarakat atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat kebenaran misalnya antara filsafat Barat dan filsafat Cina, sebab masing-masing punya cakupan, , kompleksitas dan variasi yang berbeda.


Sifat Bebenaran Ilmu


Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.

1. Evolusionisme

Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman.

Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.

Ilmu sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan, dan ilmu pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran daripada abad sebelumnya. Hal tersebut tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya benar namun sekarang salah, ilmu kita (kealaman) benar untuk sekarang dan akan salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita mendekati kebenaran lebih dekat.

2. Falsifikasionis

Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang menedekati kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi.

Tesis utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa membenarkan (justify) suatu teori. Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan kita atas suatu teori, dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut sampai kini bisa bertahan terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya Taryadi, 1989: 75).

3. Relativisme

Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.
Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
4. Objektivisme

Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu ). Tarski menekankan teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.

Objektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu yang memegang peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan, objektivisme lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam mengembangkan ilmu. Bila teori ilmiah benar dalam arti sesungguhnya, yaitu bersesuaian secara pasti dengan keadaan, maka tidak ada tempat bagi interpretasi ketidaksetujuan, beberapa ilmuwan percaya bahwa teori-teori mewakili gunung kebenaran. Roger berpendapat bahwa teori-teori selalu merupakan imajinasi dari konstruksi mental, dikuatkan oleh persetujuan antara fakta observasi dan peramalan atas implikasi. Kelemahan kebenaran merupakan kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan penyederhanaan dan pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan kejadian-kejadianyang digabungkan dengan unsur persetujuan.



Kedudukan Psikologi Sosial di Antara Ilmu-ilmu Sosial Lainnya

Kedudukan Psikologi Sosial di Antara Ilmu-ilmu Sosial Lainnya
Manusia, dimanapun dia berada, tidak dapat dipisahkan dari lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, sejak dahulu orang sudah menaruh minat yang besar pada tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya. Minat yang besar ini tidak hanya timbul dari diri pengamat-pengamat awam, tetapi juga dikalangan para sarjana dan cerdik cendekiawan.

Sekalipun demikian, psikologi sosial, sebagai ilmu khusus yang mempelajari tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya, baru timbul kurang dari 100 tahun yang lalu. Sebelum itu gejala perilaku manusia dalam masyarakatnya dipelajari oleh antropologi dan sosiologi.

Antropologi mempelajari manusia sebagai suatu keseluruhan. Objek material antropologi adalah umat manusia dan objek formalnya adalah studi tentang produk-produk budaya umat manusia. Antropologi mencoba menerangkan hakikat perilaku manusia dengan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan berbagai suku bangsa di dunia. Karena manusia tidak pernah bisa lepas dari pengaruh lingkungan budaya, maka antropologi penting sekali artinya untuk psikologi sosial.

Berbeda dari antropologi, sosiologi mempelajari tingkah laku manusia sebagai bagian dari lingkungan yang terbatas, seperti keluarga, desa, masyarakat di suatu wilayah tertentu dan sebagainya. Karena setiap manusia selalu terkait dengan lingkungan masyarakat tertentu, maka pengaruh sosiologi pun sangat besar dalam psikologi sosial.

Peranan antropologi dan sosiologi dalam psikologi sosial antara lain adalah untuk mengurangi atau setidaknya menjelaskan bias (penyimpangan) yang terdapat dalam hasil penelitian psikologi sosial sebagai akibat pengaruh kebudayaan atau kondisi masyarakat disekitar manusia yang sedang diteliti.
Sasaran penelitian psikologi sosial sendiri adalah tingkah laku manusia sebagai individu. Inilah yang membedakan psikologi sosial dari antropologi dan sosiologi yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai bagian dari masyarakatnya.

Perbedaan objek material antara psikologi sosial dan antropologi serta sosiologi membawa implikasipun dalam bentuk perbedaan objek formal atau metedologi yang digunakan dalam ilmu-ilmu tersebut. Jika antropologi dan sosiologi mengutamakan cara pendekatan deskriptif dan umumnya tidak melakukan generalisasi, maka psikologi sosial biasanya menggunakan metode eksperimental, yaitu metode dimana suatu gejala diamati dalam kondisi yang dikontrol (faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap timbulnya gejala dikendalikan oleh peneliti). Berdasarkan pengamatan-pengamatan dalam kondisi yang terkontrol ini, peneliti biasanya membuat formula-formula (rumus-rumus, dalil-dalil, hukum-hukum, teori-teori) yang berlaku umum.

Serge moscovici seorang psikolog sosial perancis menyatakan bahwa psikologi sosial adalah jembatan diantara cabang-cabang pengetahuan sosial lainnya. Sebab psikologi sosial mengakui pentingnya memandang individu dalam suatu sistem sosial yang lebih luas dan karena itu menarik kedalamnya sosiologi, ilmu politik, antropologi, dan ekonomi. Selain itu psikologi sosial memiliki perspektif luas dengan berusaha memahami relevansi dari proses internal dari aktivitas manusia terhadap perilaku sosial. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa ciri khas dari psikologi sosial adalah memfokuskan pada individu daripada kelompok atau unit.

Psikologi sosial lebih berpusat pada usaha memahami bagaimana seseorang bereaksi terhadap situasi sosial yang terjadi. Psikologi sosial mempelajari perasaan subyektif yang biasanya muncul dalam situasi sosial tertentu, dan bagaimana perasaan itu mempengaruhi perilaku.

Kesimpulan : “Pada dasarnya psikologi sosial sangat berhubungan dengan ilmu sosial lainnya, dimana psikologi sosial merupakan bagian dari semua cabang ilmu sosial lainnya”.




Apa Itu Ilmu Filsafat?

Apa Itu Ilmu Filsafat?
1. Filsafat

Filsafat secara etimologi menurut tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 18) menjelaskan bahwa istilah “Filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosophy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunani Philein berarti “mencintai”, sedangkan philos berarti “teman”. Selanjutnya istilah sophos berarti “bijaksana”, sedangkan Sophia berarti “kebijaksanaan”. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Filsafat adalah cinta terhadap kebijaksanaan.
Menurut Plato (dalam Soegiono dan Tamsil, 2012: 5) bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Sementara Poedjawijatna (dalam Soegiono dan Tamsil, 2012: 6 ) mengartikan filsafat sebagai ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebenaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai segala yang ada, sebab, asal, dan hukumanya.


2. Ilmu

Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang tersistematis dan menggunakan metode tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu dan pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dsb). Ilmu dan pengetahuan berbeda, semua ilmu adalah pengetahuan dan tidak semua pengetahuan adalah ilmu. Menurut Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan mengetahui. Mengetahui itu hasil kenal, sadar, insaf, mengerti, benar dan pandai. 

Mustansyir dan Misnal Munir (2013: 23-24) menjelaskan bahwa ada empat jenis pengetahuan yaitu
  1. Pengetahuan biasa (common sense) yang digunakan terutama untuk kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
  2. Pengetahuan ilmiah atau ilmu, adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara khusus, bukan hanya untuk digunakan saja, tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan luas untuk mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
  3. Pengetahuan filsafat, adalah pengetahuan yang tidak mengenal batas sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki sampai di luar dan di atas pengalaman biasa.
  4. Pengetahuan Agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para Nabi dan Rosul-Nya. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.
3. Filsafat Ilmu
Dari penjelasan di atas tentang filsafat dan ilmu maka dapat disimpulkan bahwa Filsafat Ilmu ingin mencari sedalam-dalamnya tentang hakikat pengetahuan ilmiah (ilmu). Jadi, Penulis perlu menegaskan bahwa yang dicari adalah hakikat pengetahuan ilmiah bukan pengetahuan biasa, filsafat maupun agama yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam memahami hakikat sebuah ilmu maka ada tiga landasannya, yaitu Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

a. Ontologi (hakikat apa yang dikaji)

Menurut bahasa ontologi berasal dari bahasa yunani yaitu, on/ontos yang berarti ada dan logos berarti ilmu. Jadi, ontology adalah ilmu tentang yang ada. Dalam kamus istilah filsafat yang ditulis oleh Surahman (2012: 247) menguraikan bahwa ontology berasal dari bahasa ontos yang berarti pertisipium kata kerja einai, yaitu sedang berada. Menurut singgih iswara, Pandangan ontologis dalam filsafat berkaitan dengan objek yang dikaji. Objek filsafat adalah sesuatu yang diketahui, artinya yang pertama berperan adalah sistem indra kita yaitu mata karena sifat objek yang dibahas dalam landasan ontologis adalah nyata (realitas) dan kenampakan (appearance).
Suria Sumantri (2003: 91) menjelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Maka dapat dikatakan dalam ilmu tidak mengkaji sebelum hidup kita maupun setelah kematian kita, akan tetapi mengkaji di tengah-tengah antara keduanya distulah letak kajian ilmu. Objek materinya seperti manusia, hewan, tumbuhan, dan zat kebendaan. Jadi, dapat dikatakan landasan ontologi dalam filsafat ilmu itu berbicara tentang objek kajian ilmu.

b. Epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan)
Epistemologi berasal dari bahasa yunani ”episteme” dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan, “logos” berarti teori. Jadi, epistemologi secara etimologi berarti teori pengetahuan. Objek material epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Mustansyir dan Misnal Munir (2013: 17) mengemukakan bahwa persoalan-persoalan yang penting dikaji dalam epistemologi berkisar pada masalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skeptisisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi baru mengenai dunia. 

Epistemologi dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai metode ilmiah. Mundiri (2012: 203) menjelaskan bahwa Metode ilmiah adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara ilmiah . Dan untuk menemukan atau mendapatkan pengetahuan menurut Mundiri (2012: 204-206) ada beberapa langkah sebagai berikut:
  1. Penemuan atau penentuan masalah. Pada tahap ini, kita secara sadar mengetahui masalah yang akan kita telaah dengan ruang lingkup dan batas-batasnya.
  2. Perumusan masalah merupakan usaha untuk mendeskripksikan masalah yang dihadapi dengan lebih jelas. Pada tahap ini, kita mengidentifikasi semua faktor-faktor yang terlibat dalam masalah yang dihadapi.
  3. Pengajuan hipotesis. Pada tahap ini, kita berusaha untuk memberikan penjelasan sementara mengenai hubungan sebab akibat dari faktor-faktor yang membentuk kerangka masalah yang sedang kita hadapi.
  4. Deduksi dari hipotesis. Tahap ini merupakan langkah perantara untuk pengujian hipotesis yang kita ajukan. Deduksi hipotesis merupakan identifikasi fakta-fakta apa saja yang dapat kita lihat dalam hubungannya dengan hipotesis yang diajukan.
  5. Pembuktian hipotesis. Pada tahap ini, kita mengumpulkan fakta-fakta untuk membuktikan hipotesis yang telah kita ajukan. Kalau fakta-fakta itu memang ada maka hipotesis yang diajukan itu benar
  6. Penerimaan hipotesis menjadi teori ilmiah. Hipotesis yang telah terbukti kebenarannya diterima sebagai pengetahuan baru dan dianggap sebagai bagian dari ilmu.
Jadi dapat dijelaskan bahwa landasan epistemologi dalam filsafat ilmu itu berbicara tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan ilmiah.

c. Aksiologi (nilai kegunaan ilmu)
Istilah aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Aksiologi berarti teori tentang nilai. Dalam aksiologi inilah yang mengkaji tentang apakah manfaat ilmu itu baik atau buruk (etika), indah atau jelek (estetika) dalam suatu masyarakat. Aksiologi membahas bahwa ilmu itu tidak bebas nilai tapi diikat oleh aturan-aturan nilai yang ada. Segala sesuatu yang diciptakan mampu membantu kebutuhan manusia tidak sebaliknya membawa celaka bagi manusia. Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan serta memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Bencana dan malapetaka akan terjadi jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai. Tanggung jawab seorang ilmuwan harus dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral untuk kepentingan masyarakat tanpa membawa kepentingan pribadi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa landasan ontologi, epistemologi dan landasan aksiologi seperti mata rantai yang saling berhubungan. Ontology berbicara tentang “apa”, epistemologi berbicara tentang “bagaimana” dan aksiologi berbicara tentang “untuk apa”.

d. Etika

Etika merupakan cabang dari Aksiologi. Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani, yaitu dari kata Ethos yang berarti watak. Sedang moral berasal dari kata latin mos, bentuk tunggal dan mores yang berarti kebiasaan. Dalam KBBI dijelaskan bahwa etika memiliki tiga arti, yaitu: ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Objek materialnya adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedangkan objek formalnya adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral. Tiga macam pendekatan etika (Mustansyir dan Misnal Munir, 2013: 30) yaitu etika deskriptif (melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas), etika normative (mendasarkan pendiriannya atas norma), metaetika (kajian etika yang ditujukan kepada ungkapan-ungkapan etis).
Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan ilmu agar tidak mencelakakan manusia, melainkan membimbing ilmu agar dapat menjadi sarana mensejahterakan manusia. Tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 182) menjelaskan bahwa di dalam perkembangan pembangunan bangsa etika pancasila atau moral pancasila seyogyanya dipertimbangkan sebagai landasan moral bagi para ilmuwan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun bangsa dan negaranya. Sesungguhnya ini merupakan moral khusus namun amat penting agar pembangunan tidak menyimpang dari tujuan luhur keilmuan (objektivitas) dan kepentingan kemanusiaan agar dapat selalu berdampingan dengan alam yang lestari dan harmoni.

e. Positivisme
Aliran positivisme dalam filsafat ilmu merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling pertama muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Upaya penelitian dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul pada abad ke-19 tokohnya adalah Auguste comte yang dikenal juga sebagai bapak sosiologi.
Atang abdul hakim (dalam Soegiono dan Tamsil Muis, 2012: 13) menjelaskan bahwa aliran positivisme mirip dengan aliran empirisme, hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah. Hal senada juga disampaikan oleh tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 40) yang menjelaskan bahwa positivisme berpendirian bahwa kepercayaan-kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apa pun yang berada di luar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. 

Maka dapat disimpulkan bahwa aliran positivism menekankan hal-hal yang berfokus kepada data yang empiris, sehingga apabila menyatakan sesuatu atau ilmu pelajaran harus disesuaikan dengan fakta yang sebenar-benarnya terjadi.

f. Postpositivisme
Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian berkembanglah sejumlah aliran paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai bidang kehidupan salah satunya adalah Postpositivisme.Munculnya gugatan terhadap positivisme dimulai tahun 1970-1980an. Pemikiranya dinamai “post positivisme”. Tokohnya Karl R Popper, Thomas Khun, para filusuf mazhab Frankfurt (Feyerabend Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam karena tindakan manusia tidak dapat diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti sebab manusia selalu berubah.
Postpositivisme ini lahir untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi melalui berbagai macam metode. Creswell (2014: 9) menjelaskan bahwa pengetahuan yang berkembang melalui kacamata kaum post-positivisme selalu didasarkan pada observasi dan pengujian yang sangat cermat terhadap realitas objektif yang muncul di dunia “luar sana.” Untuk itulah, melakukan observasi dan meneliti perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap sebagai aktivitas yang amat penting. Akibatnya, muncul hukum-hukum atau teori-teori yang mengatur dunia, yang menuntut adanya pengujian dan verifikasi atas kebenaran teori-teori tersebut agar dunia ini dapat dipahami oleh manusia.



Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta: Balai Pustaka.
Creswell, John W. 2014. Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mundiri. 2012. Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2013. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soegiono, dan Tamsil Muis. 2012. Filsafat Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Surahman, Arif. 2012. Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Matahari.
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. 2012. Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.