Pendekatan Teologis Pengantar Studi Islam

Pendekatan teologi dalam memahami agama secara harfiyah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengn yang lain. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakin bahasa sebagai pelaku buka sebagai pengamat adalah ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.

Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau symbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sendiri yang paling benar sedangkan yang lain adalah salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham yang lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu sesat, keliru, kafir murtad dan seterusnya. Demikian juga paham yang dituduh keliru, sesat, kafir itupun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian,maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan. Sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.


sumber

Implikasi Pendidikan Psikologi Humanis dalam Prose Pendidikan

Pandangan utama aliran filosofis pendidikan humanistic adalah proses pendidikan berpusat pada subyek didik. Roger dalam Dimyati dan Mudjiono (2002) berpendapat belajar akan optimal apabila siswa terlibat secara penuh dan sungguh serta berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses belajar. Proses pendidikan berpusat pada subyek didik, dalam hal ini peran guru dalam proses pendidikan sebagai fasiltator dan proses pembelajaran dalam kontek proses penemuan yang bersifat mandiri (Hanurawan,2006). Searah dengan pandangan tersebut maka hakekat pendidik adalah fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Untuk itu seorang pendidik harus mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar mandiri. Proses belajar hendaknya merupakan kegiatan untuk mengeksploitasi diri yang memungkinkan pengembangan keterlibatan secara aktif subyek didik untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman belajar.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka system belajar yang cocok untuk pendidikan humanis ini adalah Enquiry Discovery yakni belajar penyelidikan dan penemuan. Dalam proses belajar mengajar system Enquiry Discovery ini guru tidak akan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk final, dengan kata lain guru hanya menyajikan sebagian, selebihnya siswa yang mencari atau menemukan sendiri.

Adapun tahapan dalam prosedur Enquiry Discovery adalah:

1. Stimulation (stimulasi/ pemberi rangsangan), yakni memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, aktifitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
2. Problem statement (pernyataan / identifikasi masalah), yakni memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasikan sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian dipilih salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis.
3. Data collection (pengumpulan data), yakni memberi kesempatan kepad para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis.
4. Data prosesing (pengolahan data), yakni mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sabagainya lalu ditafsirkan.
5. Verification (pentahkikan), yakni melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dihubungkan dengan data prosesing.
6. Generalization (generalisasi), yakni menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum.( Syah, Muhibbin,2004)

Melalui pembelajaran Enquiry Discovery / penemuan menurut Hanurawan (2006) akan dapat membawa pengalaman pada diri pembelajar dalam mengidentifikasi, memahami masalah-masalah yang dihadapi sehingga menemukan sesuatu pengetahuan yang bermakna bagi dirinya.

Seperti telah dikemukakan diatas, dalam proses pembelajaran dengan enqiry discovery ini guru berperan sebagai fasilitator. Menurut Hanurawan (2006) fungsi tugas kefasilitatoran guru dalam KBM harus dapat menumbuhkan keyakinan dalam diri pebelajar dalam kegiatan yang dilakukan. Yang berarti guru harus dapat menstimulus pebelajar untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan kontek pembelajaran humanistic menurut Maslow bahwa guru adalah pembantu sekaligus mitra dalam melakukan aktualisasi diri.

Peran guru sebagai fasilitator menurut Abu dan Supriono,W (2004) dapat diwujudkan dengan memperhatiakan penciptaan suasana awal, situasi kelompok atau pengalaman kelas, memperjelas tujuan di dalam kelas. Menyediakan sumber-sumber belajar untuk dimanfaatkan pebelajar dalam rangka mencapai tujuannya, dan mengambil prakarsa untuk ikut dalam kelompok kelas.

Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran menurut pandangan psikologi humanistic yaitu:

1. Setiap individu mempunyai kemampuan bawaan untuk belajar.
2. Belajar akan bermanfaat bila siswa menyadari manfaatnya.
3. Belajar akan berarti bila dilakukan lewat pengalaman sendiri dan uji coba sendiri.
4. Belajar dengan prakarasa sendiri penuh kesadaran dan kemampuan dapat berlangsung lama.
5. Kreatifitas dan kepercayaan dari orang lain tumbuh dari suasana kebebasan.
6. Belajar akan berhasil bila siswa berpartisipasi secara aktif dan disiplin setiap kegiatan belajar.




sumber

Konsep Pemikiran Filsafat Psikologi Humanistik

Konsep pemikiran filsafat psikologi humanistic yang dikemukakan oleh filsuf humanis meliputi pandangan tentang hakeket manusia, pandangan tentang kebebasan dan otonomi manusia, konsep diri (self concept), dan diri individu serta aktualisasi diri (Hanurawan,2006). Konsep pemikiran tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Pandangan tentang hakekat manusia

Hakekat manusia dalam pandangan filosuf humanistic adalah manusia memilki hakekat kebaikan dalam dirinya. Dalam hal ini apabila manusia berada dalam lingkungan yang kondusif bagi perkembangan potensialitas dan diberi semacam kebebasan untuk berkembang maka mereka akan mampu untuk mengaktualisasikan atau merealisasikan sikap dan perilaku yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungan masyarakat pada umumnya (Hanurawan,2006).

Pandangan tentang kebebasan dan otonomi manusia

Penganut aliran humanistic memberikan pandangan bahwa setiap manusia memilki kebebasan dan otonomi memberikan konsekuensi langsung pada pandangan terhadap individualitas manusia dan potensialitas manusia. Individualitas manusia yang unik dalam diri setiap pribadi harus dihormati. Berdasarkan pandangan ini, salah satu upaya pengembangan sumber daya manusia yang perlu dilakukan dalam proses pendidikan untuk mencapai hasil yang maksimal adalah pemberian kesempatan kepada berkembangnya aspek-aspek yang ada dalam diri individu.

Pandangan tentang diri (the self) dan konsep diri (self concept)

Diri (the self) menurut penganut filsafat humanis merupakan pusat kepribadian yang pengembangannya dapat dipenuhi melalui proses aktualisasi potensi-potensi yang dimiliki seseorang. Diri (the self) yang ada dalam diri seseorang digambarkan sebagai jumlah keseluruhan yang utuh dalam diri individu yang dapat membedakan diri seseorang dengan orang lain. (Ellias dan Meriam dalam Hanurawan, 2006).

Dalam diri (the self) seseorang terdapat perasaa, sikap, kecerdasan, intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan karakteristik fisik.Sedangkan konsep diri (self concept) menurut Kendler dalam Hanurawan 2006 merupakan keseluruhan presepsi dan penilaian subyektif yang memiliki fungsi menentukan tingkah laku dan memiliki pengaruh yang cukup besar untuk tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan perkembangan individu merupakan potensialitas individu untuk aktualisasi diri. Aktualisasi diri merupakan kemampuan manusia menghadirkan diri secara nyata (menurut maslow dalam Hanurawan 2006). Aktualisasi diri terwujud dalam diri manusia untuk memperoleh pemenuhan diri (self fulfillment) sesuai dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Dengan aktualisasi diri, manusia mampu mengembang keunukan kemanusiaannya guna meningkat kualitas kehidupan serta dapat mengubah situasi kea rah yang lebih baik.




sumber

HUMANISME ISLAM ABAD XXI




Apakah humanisme Islam dapat diimplementasikan dalam pelataran hidup umat manusia pada abad XXI, ternyata merupakan sebuah tanda tanya besar. Tetap tak ada jawaban pasti hingga kini, apakah humanisme Islam memiliki tempat yang istimewa dalam perkembangan sejarah kaum Muslim pada abad XXI.

Memang, Islam hadir sebagai agama berpengaruh di dunia justru karena mengandung ajaran yang menjunjung tinggi humanisme. Islam memandang bermakna kehidupan umat manusia (Al Qur’an, 21/Al Anbiyaa’: 10).

Itulah mengapa, sejak abad X Islam berhasil mendorong lahirnya kebudayaan dan peradaban yang kemudian memberikan penekanan pada pentingnya warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai “Renaisans Islam”. Sekitar dua abad kemudiaan setelah itu, yakni pada abad XII, Renaisans Islam diduplikasi oleh Renaisans Barat .Apa yang kemudian bisa disimpulkan adalah ini. Jika Renaisans Islam pada abad X merupakan momentum waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno, maka Renaisans abad XII di Barat merupakan sebuah kurun waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan Yunani Kuno dan warisan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.

Realitas Suram

Pertanyaannya kemudian, apakah pengalaman historis memasuki fase Renaisans abad X itu dapat humanisme?

Ternyata, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidaklah cukup mengembirakan. Abad XXI kini justru ditandai oleh munculnya apa yang disebut the problem with Islam (lihat Sam Harris, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason [London: The Free Press, 2005], hlm. 108-152). Etika, epistemologi dan praksis kehidupan umat Islam kini tak sejalan dengan cita-cita humanisme Islam yang muncul pada abad X. Realitas yang terbentang dalam kehidupan kaum Muslim pada abad XXI kini justru mengingkari keagungan Islam sendiri sebagai agama yang mampu menyuntikkan spirit untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan (Al Qur’an, 58/Al Mujaadilah:11).

Umat Islam malah lekat dengan gambaran radikalisme, terorisme dan keterbelakangan dalam bidang sosial maupun ekonomi. Umat Islam yang besar secara kuantitas bukanlah kekuatan yang berdiri di garda depan perkembangan dahsyat ilmu pengetahuan dan filsafat. Umat Islam benar-benar laksana buih di lautan yang dihempaskan ombak ke pantai. Para cendekiawan Muslim yang sadar akan kenyataan ini lantas berhadapan dengan pertanyaan besar: Apakah abad XXI kini merupakan episode keterjatuhan umat Islam hingga pada titik nadir yang sangat dalam?

Realitas suram dalam kehidupan umat Islam pada abad XXI dapat disimak pada berbagai kontras yang terjadi antara dulu dan kini. Ketika para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan berhasil menemukan aljabar, mengembangkan ilmu pengetahuan eksperimental serta menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles dalam bidang filsafat, humanisme Islam abad X sesungguhnya memiliki bentuk secara lebih kongkret dibandingkan dengan humanisme sekuler yang berkembang kemudian di Eropa sejak sekitar abad XII. Mengingat tak pernah ada jejak anti-ilmu pengetahuan yang tertoreh ke dalam Al Qur’an, maka warisan paling berharga dari Renaisans Islam adalah the great kingdom of reason.

Itulah mengapa, secara substansial, kaum Muslim tak pernah berada dalam satu titik pertentangan antara rasio dan dan wahyu (reason and revelation).

Sebagaimana tampak pada pengaruhnya di Eropa Barat melalui jalan penyebaran Islam di Spanyol, keberagamaan kaum Muslim benar-benar melahirkan kebudayaan dan peradaban. Sementara, kebudayaan dan peradaban itu memberi tempat secara terhormat kepada humanisme. Sayangnya, kenyataan itu tak cukup diapresiasi pada abad XXI kini. Umat Islam telah mencerai-beraikan keyakinan keagamaan mereka dengan humanisme. Tak mengherankan jika muncul pola-pola keberagamaan yang garang, tetapi kemudian dibanggakan sebagai suatu bentuk keber-Islam-an yang gagah perkasa.

Pada berbagai negara bangsa dengan umat Islam sebagai yang terbesar secara demografis, perbenturan wahyu dan rasio benar-benar mengemuka sebagai persoalan. Tragisnya lagi, persoalan tersebut mengejawantah ke dalam dunia politik. Praktik keberagamaan Islam dalam konteks ini benar-benar kehilangan watak humanistiknya. Atas nama Islam, sekelompok orang dengan mudahnya mengembangkan radikalisme dan terseret ke dalam aksi-aksi teror. Bukan saja umat Islam semakin tampak gamblang kejumudannya, lebih dari itu ekspresi keber-Islam-an kaum Muslim telah sedemikian rupa mengingkari arti penting penghargaan terhadap humanisme.

Islam di Indonesia

Di Indonesia, umat Islam mengambil pilihan-pilihan politik tanpa disertai oleh kesadaran yang utuh terhadap tantangan humanisme abad XXI. Berapa banyak partai Islam yang lahir selama kurun waktu pasca-Orde Baru, ternyata tidaklah memiliki kejelasan koherensi dengan tantangan untuk kembali mengutuhkan humanisme Islam yang begitu agung sebagaimana tampak pada perkembangan selama abad X. Partai-partai Islam justru hadir hanya untuk mempertegas kecenderungan politisasi agama. Dengan demikian berarti, Islam hanya dijadikan basis legitimasi untuk meraih kekuasaan politik. Maka, bukan hal yang aneh jika kehadiran partai-partai Islam selama kurun waktu pasca-Orde Baru tak berbanding lurus dengan Renaisans Islam. Bahkan, Renaisans Islam tak tercakup ke dalam agenda partai politik Islam.

Dalam contoh soal lahirnya qanon atau peraturan daerah di Aceh berisikan hukum jinayat, sekali lagi sebuah persoalan dalam kaitannya dengan humanisme Islam muncul ke permukaan. Salah satu bentuk sanksi yang disahkan dalam hukumjinayat itu adalah hukuman rajam hingga meninggal dunia bagi pelaku zina yang terbukti serta pelakunya sudah memiliki pasangan resmi atau telah menikah. Partai-partai Islam yang mendukung qanon ini sesungguhnya tak cukup memiliki argumentasi untuk menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum jinayat koherens dengan humanisme Islam pada abad XXI. Seorang politikus dari sebuah partai Islam hanya berbicara tentang tak adanya alasan untuk menunda pengesahan dan penerapan hukum jinayat dan hukum acara jinayat di Aceh. Namun apa landasan pelaksanaan hukum jinayat sejalan dengan realitas sosiologis masyarakat Aceh, ternyata tak pernah jelas filosofinya.

Dalam humanisme Islam, manusia didewasakan untuk mencapai kesadaran eksistensial melalui pedagogi yang bersifat dialogis. Humanisme Islam meniscayakan tak adanya distorsi antara dimensi sakral dan profan, baik pada realitas hidup personal yang kreatif maupun dalam orde kemasyarakatan yang dinamis. Artikulasi peran sosiologis seseorang di tengah kancah kehidupan publik dipersyaratkan oleh tak adanya benturan antara dimensi sakral dan profan (Al Qur’an, 91/Asy-Syams: 9). Pedagogi dalam konteks humanisme Islam melahirkan perilaku sakral dalam ruang profan. Inilah hakikat rahmatan lil ‘alamin dalam maknanya yang hakiki. Maka, masyarakat zero perzinaan bukanlah resultante dari berlakunya hukum jinayat, tetapi lebih karena berlangsungnya pedagogi humanisme Islam.

Masyarakat zero perzinahan, dengan demikian, dikonstruksi melalui: (1) ketepatan materi dan proses pengajaran dalam dunia pendidikan, (2) terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi, serta (3) terselenggaranya kesetaraan gender dalam relasi maskulinitas-feminitas. Ini berarti, dibutuhkan cara hidup berbangsa dan bernegara berlandaskan pada kebenaran. Tentu saja, pembicaraan tentang perzinahan dalam konteks ini hanyalah sebuah contoh soal yang mengilustrasikan adanya jalan pragmatis partai-partai politik Islam.

Mereka lebih memilih upaya-upaya heroik melalui jalan legal-formal ketimbang mengambil opsi pedagogis ke arah terwujudnya humanisme Islam. Jelas pada akhirnya, bahwa pada abad XXI Islam di Indonesia belum merupakan sesuatu yang menarik. Seperti di belahan dunia Muslim yang lain, Islam di Indonesia masih harus bercermin untuk memperbaiki diri. Dan apa boleh buat, cermin itu adalah Renaisans Islam yang pernah ada dalam sejarah.



sumber

KEDUDUKAN MENUSIA DALAM FILSAFAT HUMANISTIK DAN ILMU-ILMU SOSIAL HUMANISTIK

Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi. Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa. Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam).

Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan.

Kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan yang dilakukan oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka Tuhan. Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, dan perlu dipertahankan dan di expresikan.


Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian, tidak dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau gejala manusiawi yang menempatkan manusianya sendiri sebagai entitas-entitas marginal atau pinggiran (peripheral).

Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.

1. faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum buruh) pada pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi martabat dan kemanusiaan masyarakat buruh.
2. Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan manusia pada posisi yang sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada realitas selalu
dihubungkan dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju hidup yang lebih baik.
3 . Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada dunia diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam posisi yang paling sentral.

Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan pembebasan pada zaman Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu manusia, melainkan berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering mendengar tentang ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi apakah artinya itu?

Wilhelm Dulthey (1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang akan kita jadikan ancang-ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas.

Istilah Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik.

Pertanyaan berikutnya adalah di manakah letak humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal apakah Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik? Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut dia, gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek.
Jawaban tentang pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan di atas adalah dengan melihat ciri humanistik Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan kerohanian manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia ditinggikan nilai dan martabatnya.

Namun ada juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam fisik yang natural). Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan peran statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow, yang tidak mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya menjadi trade mark mereka adalah: Manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia sebagai subyek, sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.



sumber

FILSAFAT ILMU ALIRAN EMPIRISME

Secara epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley, dan yang terpenting adalah David Hume.
Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.

Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.

Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke, penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Menurutnya akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat. Akal tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah. Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita. Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam diri/psikis manusia itu sendiri.

Sementara menuru David Hume bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu: kesan-kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.


sumber

FILSAFAT ILMU ALIRAN RASIONALISME

Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.

Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini.

Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:

Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.

Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.

Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia yang matematis. Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran pengalaman. Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua;pengetahuan yang didasari oleh observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan “kebenaran fakta”.
Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan. Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi.

Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempunaan.

Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio manusia ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio kearah yang memedai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami yang dimaksud penyedian kondisi diatas ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan diri. Karena pengembangan rasionalitas manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang lebih mendalam sebagai proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya manuia menurut aliran rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola dan sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.



sumber

TOKOH-TOKOH YANG MENGANUT PAHAM POSITIVISME

Auguste Comte ( 1798 – 1857 )

Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste Francois Xavier Comte, lahir di Montepellier, Perancis (1798). Keluarganya beragama khatolik yanga berdarah bangsawan. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup disana. Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung Napoleon dipecat. Auguste Comte memulai karier professionalnya dengan memberi les dalam bidang Matematika.

Walaupun demikian, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Tahun 1844, dua tahun setelah dia menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang berjudul “Clothilde Course of Positive Philosophy”. Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Dia berumur beberapa tahun lebih muda dari pada Comte. Wanita tersebut sedang ditinggalkan suaminya ketika bertemu dengan Comte pertama kalinya, Comte langsung mengetahui bahwa perempuan itu bukan sekedar perempuan. Sayangnya Clothilde de Vaux tidal terlalu meluap-luap seperti Comte. Walaupun saling berkirim surat cinta beberapa kali, Clothilde de Vaux menganggap hubungan itu adalah persaudaraan saja. Akhirnya, dalam suratnya Chlothilde de Vaux menerima menjalin keprihatinan akan kesehatan mental Comte.

Hubungan intim suami isteri rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi perasaan mesra sering diteruskan lewat surat menyurat. Namun, romantika ini tidak berlangsung lama, Chlothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa bulan sesudah bertemu dengan Comte, dia meninggal. Kehidupan Comte lalu bergoncang, dia bersumpah membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadarinya” itu. Auguste Comte juga memiliki pemikiran Altruisme. Altruisme merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan, bukan “salah satu masyarakat”, melainkan “humanite” suku bangsa manusia” pada umumnya. Jadi, Altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”(Juhaya S. Pradja, 2000 : 91). Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka.

Sehubungan dengan altruisme ini, Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan. Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire “Maha Makhluk” dalam hal ini Comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk If Grand Eire itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi, dan lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik tanpa agma Masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan. Perlu diketahui bahwa ketiga tahap atau zaman tersebutdi atas menurut Comte tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi perkembangan perorangan. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang teolog adalah seorang positivis.

John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )

Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart Mill memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme. Karena psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan kaum positif, Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah pengalaman. Karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalam ilmu pengetahuan.

H. Taine ( 1828 – 1893 )

Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.

Emile Durkheim (1852 – 1917 )

Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.



sumber

Aplikasi Teori Nativisme Pada Masa Sekarang

Faktor pembawaan bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar dan pendidikan (Arthur Schaupenhauer (1788-1860). Untuk mendukung teori tersebut di era sekarang banyak dibuka pelatiahan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan

Tetapi pelatihan yang diselenggarakan itu didominasi oleh orang-orang yang memang mengetahui bakat yang dimiliki, sehingga pada pengenalan bakat dan minat pada usia dini sedikit mendapat paksaan dari orang tua dan hal itu menyebabkan bakat dan kemampuan anak cenderung tertutup bahkan hilang karena sikap otoriter orangtua yang tidak mempertimbangkan bakat, kemampuan dan minat anak.

Lembaga pelatihan ini dibuat agar menjadi suatu wadah untuk menampung suatu bakat agar kemampuan yang dimiliki oleh anak dapat tersalurkan dan berkembang denag baik sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal.

Tanpa disadari di lembaga pendidikan pun juga dibuka kegiatan-kegiatn yang bisa mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar kegiatan akademik. Sehingga selain anak mendapat ilmu pengetahuan didalam kelas, tetapi jug bisa mengembangkan bakat yang dimilikinya.



sumber

Kesalahan Relevansi


Kesalahan ini akan terjadi jika antar premis tidak punya hubungan logika dengan kesimpulan. Misalnya, bukti peristiwa atau alasan yang diajukan tidak berhubungan atau tidak menunjang konklusi. Jadi, perlu berhati-hati, ketika sebuah argumen bergantung pada premis yang tidak relevan dengan konklusi, maka tidak mungkin dibangun kebenarannya. Terdapat beberapa jenis kesesatan relevansi yang umum dikenal, berikut penjelasannya:

a) Argumentum ad hominem: terjadi jika kita berusaha agar orang lain menerima atau menolak suatu usulan, tidak berdasarkan alasan penalaran, akan tetapi karena alasan yang berhubungan dengan kepentingan si pembuat usul.

b) Argumentum ad verecundiam: terjadi karena orang yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa dan dapat dipercaya, jadi bukan terjadi karena penalaran logis.

c) Argumentum ad baculum (menampilkan kekuasaan): terjadi apabila orang menolak atau menerima suatu argumen bukan atas dasar penalaran logis, melainkan karena ancaman atau terror (bisa juga karena faktor kekuatan/kekuasaan).

d) Argumentum ad populum (menampilkan emosi): artinya ialah ditujukan untuk massa/rakyat. Pembuktian secara logis tidak diperlukan, dan mengutamakan prinsip menggugah perasaan massa sehingga emosinya terbakar dan akhirnya akan menerima sesuatu konklusi tertentu. Contoh sederhananya seperti demonstrasi dan propaganda.

e) Argumentum ad misericordian (menampilkan rasa kasihan): disebabkan karena adanya rasa belas kasihan. Maksudnya, penalaran ini ditunjukkan untuk menimbulkan belas kasihan sehingga pernyataan dapat diterima, dan biasanya berhubungan dengan usaha agar suatu perbuatan dimaafkan.

f) Post hoc propter hoc: terjadi karena orang menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal bukan. Pada suatu urutan peristiwa, orang menunjukkan apa yang terjadi lebih dahulu adalah penyebab peristiwa yang terjadi sesudahnya, padahal bukan.

g) Petitio principii: berarti mengajukan pertanyaan dengan mengamsusikan kebenaran dari apa yang berusaha untuk dibuktikan, dalam upaya untuk membuktikannya. Dikenal dengan pernyataan berupa pengulangan prinsip dengan prinsip.

h) Argumentum ad ignorantiam (argumen dari keridaktahuan): kesalahan terjadi ketika berargumen bahwa proposisi adalah benar hanya atas dasar bahwa belum terbukti salah, atau bahwa itu adalah salah karena belum terbukti benar.

i) Ignorantia elenchi: terjadi karena tidak adanya hubungan logis antara premis dan konklusif.



sumber

Pengertian Kebenaran


Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.

Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.

Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran (keburukan).

Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.

Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.



gambar

Hubungan Antara Metode dengan Kebenaran


Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.

Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan standard tunggal pengetahuan dengan paradigma (metode, dan kebenaran) tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya, apakah itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklai sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.

Setiap tradisi epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat diperoleh berkat metode yang dipergunakannya, adapun metode-meode tersebut adalah sebagai berikut :

1. Empirisme

Empirisme sangat menghargai pengamatan empiris dan cara kerja Empirisme bertitik tolak dari adanya dualitas antara pengenal dan apa yang dikenal. Mereka menginginkan agar apa yang terdapat dalam pengetahuan pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang ada di luarnya. Mereka memberi peran yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang pengenal bersifat pasif. Teori Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi mereka untuk menguji hasil pengetahuan, menurut teori ini suatu pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta empiri yang menjadi objeknya. Menurut Abbas, teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.


2. Rasionalisme

Spinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang dikenal sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang menekankan dibangunnya pengetahuan yang bersifat a priori sebagaimana ilmu falak dan mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak bisa memakai kenyataan objektif untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya, karena menurutnya ilmu cukup bertumpu pada kerangka teoritis yang bersifat a priori. Mereka menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya. Teori Kebenaran Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar.

Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam teori kebenaran yang tradisional. Selain melalui hubungan gagasaan-gagasan secara logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian dalam berpikir rasional, yaitu melalui hukum-hukum logika dan perhitungan matematis. Kebenaran koherensi mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada penekanan validitas, teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan. Misal pada jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat, kebenaran argumen tidak pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.

3. Induktivisme

Induktivisme berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi, dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Hal itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel benar. Makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi, dan makin besar variasi kondisi di mana observasi dilakukan, maka makin besarlah pula probabilitas hasil generalisasi itu benar. Namun kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas. Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan pengingkaran terhadap teori.



Teori Kebenaran Korespondensi


Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak.
Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan.
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi (corespondence theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. 

Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
  • Statemaent (pernyataan)·
  • Persesuaian (agreemant)·
  • Situasi (situation)·
  • Kenyataan (realitas)·
  • Putusan (judgements)·
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.



Teori Kebenaran Konsistensi atau Koherensi dalam Teori Kebenaran


Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti.

Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.



Teori Pragmatik dalam Teori Kebenaran


Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.

Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan, Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia.

Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan , yaitu :

  • Yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita,·
  • Yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen,·
  • Yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.·
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.

Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”. Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally).

William James mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat dari pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh karena itu, pernyataan penting bagi James adalah jika suatu ide diangap benar, apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Apa konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar dibandingkan dengan ide yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya, ide yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi membanu kita memenuhi kebutuhan kita.

Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar jika pada akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman manusia.

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :

o Sesuai dengan keinginan dan tujuan
o Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
o Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.



Sifat Bebenaran Ilmu


Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.

1. Evolusionisme

Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman.

Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.

Ilmu sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan, dan ilmu pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran daripada abad sebelumnya. Hal tersebut tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya benar namun sekarang salah, ilmu kita (kealaman) benar untuk sekarang dan akan salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita mendekati kebenaran lebih dekat.

2. Falsifikasionis

Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang menedekati kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi.

Tesis utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa membenarkan (justify) suatu teori. Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan kita atas suatu teori, dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut sampai kini bisa bertahan terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya Taryadi, 1989: 75).

3. Relativisme

Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.
Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
4. Objektivisme

Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu ). Tarski menekankan teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.

Objektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu yang memegang peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan, objektivisme lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam mengembangkan ilmu. Bila teori ilmiah benar dalam arti sesungguhnya, yaitu bersesuaian secara pasti dengan keadaan, maka tidak ada tempat bagi interpretasi ketidaksetujuan, beberapa ilmuwan percaya bahwa teori-teori mewakili gunung kebenaran. Roger berpendapat bahwa teori-teori selalu merupakan imajinasi dari konstruksi mental, dikuatkan oleh persetujuan antara fakta observasi dan peramalan atas implikasi. Kelemahan kebenaran merupakan kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan penyederhanaan dan pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan kejadian-kejadianyang digabungkan dengan unsur persetujuan.



Apa Itu Ilmu Filsafat?

Apa Itu Ilmu Filsafat?
1. Filsafat

Filsafat secara etimologi menurut tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 18) menjelaskan bahwa istilah “Filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosophy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunani Philein berarti “mencintai”, sedangkan philos berarti “teman”. Selanjutnya istilah sophos berarti “bijaksana”, sedangkan Sophia berarti “kebijaksanaan”. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Filsafat adalah cinta terhadap kebijaksanaan.
Menurut Plato (dalam Soegiono dan Tamsil, 2012: 5) bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Sementara Poedjawijatna (dalam Soegiono dan Tamsil, 2012: 6 ) mengartikan filsafat sebagai ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebenaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai segala yang ada, sebab, asal, dan hukumanya.


2. Ilmu

Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang tersistematis dan menggunakan metode tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu dan pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dsb). Ilmu dan pengetahuan berbeda, semua ilmu adalah pengetahuan dan tidak semua pengetahuan adalah ilmu. Menurut Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan mengetahui. Mengetahui itu hasil kenal, sadar, insaf, mengerti, benar dan pandai. 

Mustansyir dan Misnal Munir (2013: 23-24) menjelaskan bahwa ada empat jenis pengetahuan yaitu
  1. Pengetahuan biasa (common sense) yang digunakan terutama untuk kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
  2. Pengetahuan ilmiah atau ilmu, adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara khusus, bukan hanya untuk digunakan saja, tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan luas untuk mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
  3. Pengetahuan filsafat, adalah pengetahuan yang tidak mengenal batas sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki sampai di luar dan di atas pengalaman biasa.
  4. Pengetahuan Agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para Nabi dan Rosul-Nya. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.
3. Filsafat Ilmu
Dari penjelasan di atas tentang filsafat dan ilmu maka dapat disimpulkan bahwa Filsafat Ilmu ingin mencari sedalam-dalamnya tentang hakikat pengetahuan ilmiah (ilmu). Jadi, Penulis perlu menegaskan bahwa yang dicari adalah hakikat pengetahuan ilmiah bukan pengetahuan biasa, filsafat maupun agama yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam memahami hakikat sebuah ilmu maka ada tiga landasannya, yaitu Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

a. Ontologi (hakikat apa yang dikaji)

Menurut bahasa ontologi berasal dari bahasa yunani yaitu, on/ontos yang berarti ada dan logos berarti ilmu. Jadi, ontology adalah ilmu tentang yang ada. Dalam kamus istilah filsafat yang ditulis oleh Surahman (2012: 247) menguraikan bahwa ontology berasal dari bahasa ontos yang berarti pertisipium kata kerja einai, yaitu sedang berada. Menurut singgih iswara, Pandangan ontologis dalam filsafat berkaitan dengan objek yang dikaji. Objek filsafat adalah sesuatu yang diketahui, artinya yang pertama berperan adalah sistem indra kita yaitu mata karena sifat objek yang dibahas dalam landasan ontologis adalah nyata (realitas) dan kenampakan (appearance).
Suria Sumantri (2003: 91) menjelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Maka dapat dikatakan dalam ilmu tidak mengkaji sebelum hidup kita maupun setelah kematian kita, akan tetapi mengkaji di tengah-tengah antara keduanya distulah letak kajian ilmu. Objek materinya seperti manusia, hewan, tumbuhan, dan zat kebendaan. Jadi, dapat dikatakan landasan ontologi dalam filsafat ilmu itu berbicara tentang objek kajian ilmu.

b. Epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan)
Epistemologi berasal dari bahasa yunani ”episteme” dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan, “logos” berarti teori. Jadi, epistemologi secara etimologi berarti teori pengetahuan. Objek material epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Mustansyir dan Misnal Munir (2013: 17) mengemukakan bahwa persoalan-persoalan yang penting dikaji dalam epistemologi berkisar pada masalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skeptisisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi baru mengenai dunia. 

Epistemologi dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai metode ilmiah. Mundiri (2012: 203) menjelaskan bahwa Metode ilmiah adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara ilmiah . Dan untuk menemukan atau mendapatkan pengetahuan menurut Mundiri (2012: 204-206) ada beberapa langkah sebagai berikut:
  1. Penemuan atau penentuan masalah. Pada tahap ini, kita secara sadar mengetahui masalah yang akan kita telaah dengan ruang lingkup dan batas-batasnya.
  2. Perumusan masalah merupakan usaha untuk mendeskripksikan masalah yang dihadapi dengan lebih jelas. Pada tahap ini, kita mengidentifikasi semua faktor-faktor yang terlibat dalam masalah yang dihadapi.
  3. Pengajuan hipotesis. Pada tahap ini, kita berusaha untuk memberikan penjelasan sementara mengenai hubungan sebab akibat dari faktor-faktor yang membentuk kerangka masalah yang sedang kita hadapi.
  4. Deduksi dari hipotesis. Tahap ini merupakan langkah perantara untuk pengujian hipotesis yang kita ajukan. Deduksi hipotesis merupakan identifikasi fakta-fakta apa saja yang dapat kita lihat dalam hubungannya dengan hipotesis yang diajukan.
  5. Pembuktian hipotesis. Pada tahap ini, kita mengumpulkan fakta-fakta untuk membuktikan hipotesis yang telah kita ajukan. Kalau fakta-fakta itu memang ada maka hipotesis yang diajukan itu benar
  6. Penerimaan hipotesis menjadi teori ilmiah. Hipotesis yang telah terbukti kebenarannya diterima sebagai pengetahuan baru dan dianggap sebagai bagian dari ilmu.
Jadi dapat dijelaskan bahwa landasan epistemologi dalam filsafat ilmu itu berbicara tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan ilmiah.

c. Aksiologi (nilai kegunaan ilmu)
Istilah aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Aksiologi berarti teori tentang nilai. Dalam aksiologi inilah yang mengkaji tentang apakah manfaat ilmu itu baik atau buruk (etika), indah atau jelek (estetika) dalam suatu masyarakat. Aksiologi membahas bahwa ilmu itu tidak bebas nilai tapi diikat oleh aturan-aturan nilai yang ada. Segala sesuatu yang diciptakan mampu membantu kebutuhan manusia tidak sebaliknya membawa celaka bagi manusia. Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan serta memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Bencana dan malapetaka akan terjadi jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai. Tanggung jawab seorang ilmuwan harus dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral untuk kepentingan masyarakat tanpa membawa kepentingan pribadi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa landasan ontologi, epistemologi dan landasan aksiologi seperti mata rantai yang saling berhubungan. Ontology berbicara tentang “apa”, epistemologi berbicara tentang “bagaimana” dan aksiologi berbicara tentang “untuk apa”.

d. Etika

Etika merupakan cabang dari Aksiologi. Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani, yaitu dari kata Ethos yang berarti watak. Sedang moral berasal dari kata latin mos, bentuk tunggal dan mores yang berarti kebiasaan. Dalam KBBI dijelaskan bahwa etika memiliki tiga arti, yaitu: ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Objek materialnya adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedangkan objek formalnya adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral. Tiga macam pendekatan etika (Mustansyir dan Misnal Munir, 2013: 30) yaitu etika deskriptif (melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas), etika normative (mendasarkan pendiriannya atas norma), metaetika (kajian etika yang ditujukan kepada ungkapan-ungkapan etis).
Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan ilmu agar tidak mencelakakan manusia, melainkan membimbing ilmu agar dapat menjadi sarana mensejahterakan manusia. Tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 182) menjelaskan bahwa di dalam perkembangan pembangunan bangsa etika pancasila atau moral pancasila seyogyanya dipertimbangkan sebagai landasan moral bagi para ilmuwan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun bangsa dan negaranya. Sesungguhnya ini merupakan moral khusus namun amat penting agar pembangunan tidak menyimpang dari tujuan luhur keilmuan (objektivitas) dan kepentingan kemanusiaan agar dapat selalu berdampingan dengan alam yang lestari dan harmoni.

e. Positivisme
Aliran positivisme dalam filsafat ilmu merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling pertama muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Upaya penelitian dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul pada abad ke-19 tokohnya adalah Auguste comte yang dikenal juga sebagai bapak sosiologi.
Atang abdul hakim (dalam Soegiono dan Tamsil Muis, 2012: 13) menjelaskan bahwa aliran positivisme mirip dengan aliran empirisme, hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah. Hal senada juga disampaikan oleh tim dosen filsafat ilmu UGM (2012: 40) yang menjelaskan bahwa positivisme berpendirian bahwa kepercayaan-kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apa pun yang berada di luar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. 

Maka dapat disimpulkan bahwa aliran positivism menekankan hal-hal yang berfokus kepada data yang empiris, sehingga apabila menyatakan sesuatu atau ilmu pelajaran harus disesuaikan dengan fakta yang sebenar-benarnya terjadi.

f. Postpositivisme
Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian berkembanglah sejumlah aliran paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai bidang kehidupan salah satunya adalah Postpositivisme.Munculnya gugatan terhadap positivisme dimulai tahun 1970-1980an. Pemikiranya dinamai “post positivisme”. Tokohnya Karl R Popper, Thomas Khun, para filusuf mazhab Frankfurt (Feyerabend Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam karena tindakan manusia tidak dapat diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti sebab manusia selalu berubah.
Postpositivisme ini lahir untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi melalui berbagai macam metode. Creswell (2014: 9) menjelaskan bahwa pengetahuan yang berkembang melalui kacamata kaum post-positivisme selalu didasarkan pada observasi dan pengujian yang sangat cermat terhadap realitas objektif yang muncul di dunia “luar sana.” Untuk itulah, melakukan observasi dan meneliti perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap sebagai aktivitas yang amat penting. Akibatnya, muncul hukum-hukum atau teori-teori yang mengatur dunia, yang menuntut adanya pengujian dan verifikasi atas kebenaran teori-teori tersebut agar dunia ini dapat dipahami oleh manusia.



Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta: Balai Pustaka.
Creswell, John W. 2014. Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mundiri. 2012. Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2013. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soegiono, dan Tamsil Muis. 2012. Filsafat Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Surahman, Arif. 2012. Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Matahari.
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. 2012. Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.



Pandangan Filsafat Tentang Pendidikan


Filsafat mempunyai pandangan hidup yang menyeluruh dan sistematis sehingga menjadikan manusia berkembang, maka hal semacam ini telah dituangkan dalam sistem pendidikan, agar dapat terarah untuk mencapai tujuan pendidikan. Penuangan pemikiran ini dituangkan dalam bentuk kurikulum. Dengan kurikulum itu sistem pengajarannya dapat terarah, lebih dapat mempermudah para pendidik dalam menyusun pengajaran yang akan diberikan peserta didik.

Untuk merealisasikan pandangan filsafat tentang pendidikan terdapat beberapa unsur yang akan menjadi tonggak untuk pengembangan pendidikan lebih lanjut, yaitu antara lain :

a. Dasar dan Tujuan Pendidikan

Dasar pendidikan yaitu suatu aktifitas untuk mengembangkan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kepribadian, tentunya pendidikan memerlukan landasan kerja untuk memberi arah bagi programnya. Sebab dengan adanya dasar juga dapat berfungsi sebagai semua sumber peraturan yang akan dicitakan sebagai pegangan hidup dan pegangan langkah pelaksanaan dan langkah jalur yang menentukan. Tujuan pendidikan dapat diuraikan menjadi 4 macam, yaitu sebagai berikut:

1) Tujuan Pendidikan Nasional
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003).

2) TujuanInstitusional
Adalah perumusan secara umum pola perilaku dan pola kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan.

3) Tujuan Kurikuler
Adalah perumusan pola perilaku dan pola kemampuan serta keterampilan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan.

4) Tujuan Instruksional
Adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh peserta didik sesudah ia menyelesaikan kegiatan instruksional yang bersangkutan.

b. Pendidik dan Peserta didik
Pendidik merupakan individu yang manpu melaksanakan tindakan mendidik dalam satu situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik ditinjau dari segi fisik maupun segi perkembangan mental.

Setiap anak memiliki pembawaan yang berlainan. Karena itu pendidik wajib senantiasa berusaha untuk mengetahui pembawaan masing-masing anak didiknya, agar layanan pendidikan yang diberikan sesuai dengan keadaan pembawaan masing-masing.

c. Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. (Pasal 1 butir 19 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Tujuan pendidikan yang ingin dicapai itulah yang menentukan kurikulum dan isi pendidikan yang diberikan. Dengan kurikulum dan isi pendidikan inilah kegiatan pendidikan itu dapat dilaksanakan secara benar seperti apa yang telah dirumuskan..

Hubungan kurikulum dengan pandangan filsafat adalah dalam bentuk kurikulum yang dilaksanakan. Adapun salah satu tugas pokok dari filsafat adalah memberikan arah dari tujuan pendidikan. Suatu tujuan pendidikan yang hendak dicapai itu haruslah direncanakan (diprogramkan) dalam apa yang disebut kurikulum.

d. Sistem Pendidikan
Pendidikanmerupakan salah satu usaha yang sengaja dan terencana untuk membantuperkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentinganhidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara/masyarakat, denganmemilih isi (materi),srategi kegiatan dan tekdik penilaian yang sesuai. Sistem pendidikan merupakan suatu alat, pendidikan merupakan suatu aplikasi dari kebudayaan, yang posisinya itu tidak netral melainkan selalu bergantung pada siapa dan bertujuan apa pendidikan itu dilaksanakan.

Adapun hubungan filsafat pendidikan dengan sistem pendidikan yaitu :

  • Bahwa sistem pendidikan bertugas merumuskan alat-alat, prasarana, pelaksanaan teknik-teknik dan atau pola-pola proses pendidikan dan pengajaran yang makna akan dicapai akan dicapai dan dibina tujuan-tujuan pendidikan, dan ini meliputi proplematika kepemimpinan dan metode pendidikan, politik, sampai seni pendidikan (The Art of Education).
  • Isi moral atau pendidikan adalah berupa perumusan norma-norma atau nilai spiritual etis yang akan dijadikan sistem nilai pendidikan atau merupakan konsepsi dasar moral pendidikan, yang berlaku segala jenis dan tingkat pendidikan.
  • Filsafat pendidikan sebagai suatu sumber lapangan studi bertugas merumuskan secara normatif dasar-dasar dan tujuan pendidikan, hakikat dan sifat hakikat manusia, hakikat dan segi-segi pendidikan, isi moral pendidikan, sistem pendidikan yang meliputi politik kependidikan, kepemimpinan pendidikan dan metodologi pengajaranya, pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat.