Budaya pacaran dalam perspektif Pendidikan kewarganegaraan

Di dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, memang tidak dimasukkan dalam pembelajarannya. Namun jika kita analisis lebih jauh, Pacaran dalam Pendidikan Kewarganegaraan memang tidak ada larangan untuk membina sebuah tali kasih dan sayang antar sesame manusia.Rasa untuk mencurahkan kasih dan saying kepada seseorang pribadi itu merupakan hak yang dapat dikategorikan Hak Asasi Manusia, dimana hak tersebut melekat pada diri pribadi sejak lahir dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Diatur lebih lanjut dalam ideologi bangsa Indonesia sebagai consensus bersama, dimana manusia Indonesia harus saling horma-menghormati satu sama lain mengenai hak dan kewajibannya. Jika kita menilik pada pengertian Pacaran, yaitu sebagai tahap pengenalan lebih jauh antar pasangan, maka ini relevan dengan apa yang diatur dalam konstitusi UUD 1945 pasal 28B ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan”. Kita focus pada dalil “setiap orang berhak membentuk keluarga”, kita dapat menganalisis dalam membentuk sebuah keluarga memerlukan tahapan seperti tahap perkenalan untuk mengenal satu sama lain antar pasangan, dan tahap kejenjang yang lebih serius.

Dalam pandangan Pendidikan Kewarganegaraan juga tidak diatur mengenai kepada siapa berpasangan, baik itu kepada sesama umat beragama maupun beda agama.

Namun yang perlu diingat bahwa Indonesia dalam melaksanakan hak dan kewajibannya menerapkan margin of appreciation.Hak seoarang warga Negara Indonesia tidak dilaksanakan secara universal atau tak terbatas, tetapi ada hal yang membatasi hak seorang warga Negara Indonesia, yaitu hak tersebut dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan filsafat ideology dan kepribadian bangsa Indonesia.

Dari uraian diatas, Pacaran dalam Pendidikan Kewarganegaraan itu tidak dilarang karena merupakan Hak setiap warga Negara.Namun dalam pelakasanaan pacaran tersebut harus tetap menjaga dan menghormati kebiasaan dan pribadi bangsa Indonesia. Jangan samakan antara Pacaran di Indonesia dengan di Negara lain. Di Negara lain dalam berpacaran dapat dibebaskan sebebas-bebasnya karena mereka mengakui hak warga negaranya secara penuh dan Negara dilarang untuk ikut campur dalam masalah hak pribadi warga negaranya. Beda di Indonesia,dimana di daerah hidup pandangan hidup dan kebiasaan yang harus dihormati dan dilaksanakan.

Bagi seorang mahasiswa, dari uraian diatas bahwa pacaran adalah hak setiap warga Negara termasuk mahasiswa. Namun dalam pacaran harus menjaga dan mentaati norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum.




sumber

Cara Memperoleh dan Kehilangan Kewarganegaraan

Ada beberapa cara orang memperoleh status kewarganegaraan dan kehilangan kewarganegaraan. Cara memperoleh kewarganegaraan adalah:

Citizenship by birth, memperoleh kewarganegaraan karena kelahiran. Jadi setiap orang yang lahir diwilayah negara dianggap sah sebagai warga negara karena suatu negara menganut asas ius sanguinis.

1. Citizenship by descent, memperoleh kewarganegaraan karena keturunan. Jadi orang yang lahir diluar wilayah negara dianggap sebagai warga negara apabila orangtuanya adalah warga negara dari negara tersebut karena negaranya menganut asas ius sanguinis.

2. Citizenship by naturalization, pewarganegaraan orang asing atas kehendak sendiri atas permohonan menjadi warga negara suatu negara dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

3. Citizenship by registration, pewarganegaraan bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang dianggap cukup dilakukan melalui prosedur asministrasi yang lebih sederhana dibandingkan naturalisasi.

4. Citizenship by incorporation of territory, proses kewarganegaraan karena terjadi perluasan wilayah negara.

Selanjutnya orang dapat kehilangan kewarganegaraan karena tiga kemungkinan/cara, yaitu:

1. Renunciation, tindakan sukarela seseorang untuk meninggalkan status kewarganegaraan yang diperoleh di dua negara atau lebih.

2. Termination, penghentian status kewarganegaraan sebagai tindakan hukum karena yang bersangkutan mendapat kewarganegaraan negara lain.

3. Deprivation, pencabutan secara paksa status kewarganegaraan karena yang bersangkutan dianggap telah melakukan kesalahan, pelanggaran atau terbukti tidak setia kepada negara berdasar undang-undang.

Penentuan Kewarganegaraan

Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan yaitu asas ius soli dan asas ius sanguinis.

Asas ius adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang menurut daerah atau negara tempat dimana orang tersebut dilahirkan.Asas ius soli disebut juga asas daerah kelahiran. Sedang asas ius sanguinis ialah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang menurut pertalian daerah atau keturunan dari orang yang bersangkutan.

Asas ius solidan asas ius sanguinis dianggap sebagai asas yang utama dalam menentukan status hukum kewarganegaraan. Pada sekarang ini umumnya negara menganut kedua asas tersebut secara simultan.

Negara-negara imigran yaitu negara yang sebagian besar warganya merupakan kaum pendatang atau cenderung didatangi orang asing, maka kecenderungannya menggunakan asas ius soli sebagai asas kewarganegaraannya. Adapun dasar pertimbangannya adalah negara menghendaki warga baru segera melebur diri sebagai warga negara di negara tersebut. Contoh: Amerika Serikat menerapkan asas ius soli , yaitu menentukan kewarganegaraan berdasarkan faktor tanah kelahiran.

Sebaliknya negara-negara emigran yaitu negara yang warganya cenderung keluar dari negara, maka kecenderungannya lebih menggunakan asas ius sanguinis. Penentuan asas kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap warga negara dapat menimbulkan masalah kewarganegaraan bagi seorang warga. Masalah kewarganegaraan tersebut adalah timbulnya apatride dan bipatride.

Apatride berasal dari kata a yang artinya tidak dan patride yang artinya kewarganegaraan. Jadi patride adalah orang-orang yang tidak memiliki kenegaraan. Apatride ini bisa dialami oleh orang yang dilahirkan dari orang tua yang negaranya menganut asas ius soli dinegara atau dalam wilayah negara yang menganut asas ius sanguinis. Kemudian Bipatride berasal dari kata bi yang artinya dua dan patride yang berarti kewarganegaraan. Jadi bipatride adalah orang-orang yang memiliki kewarganegaraan rangkap (ganda). Bipatride ini bisa dialami pada orang yang dilahirkan dari orang tua yang negaranya menganut asas ius sanguinis didalam wilayah negara yang menganut asas ius soli. Oleh negara asal orang tuanya orang itu dianggap sebagai warga negara karena ia adalah keturunan dari warga negaranya.

KEWARGANEGARAAN

Pengertian kewarganegaraan dapat dibedakan dalam dua arti yaitu kewarganegaraan dalam arti formal dan kewarganegaraan dalam arti material.

Kewarganegaraan dalam arti formal menunjuk pada hal ikhwal masalah kewarganegaraan yang umumnya berada pada ranah hukum publik. Kewarganegaraan dalam arti formal membicarakan hal ikhwal masalah kewarganegaraan seperti siapakah warga negara, bagaimana cara memperoleh kewarganegaraan, pewarganegaraan, bagaimana kehilangan kewarganegaraan, dan seterusnya.

Sedangkan kewarganegaraan dalam arti material adalah akibat hukum dari pengertian kewarganegaraan itu sendiri. Kewarganegaraan dalam arti material menunjuk pada akibat hukum dari status kewarganegaraan yaitu adanya hak dan kewajiban warga negara. Kewarganegaraan dalam arti material ini merupakan isi dari kewarganegaraan itu sendiri yaitu masalah hak dan kewajiban warga negara.

Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan orang tersebut memiliki pertalian hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersangkutan. Kewarganegaraan menghasilkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban warga negara maupun negara. Disamping itu akibat hukum yang lain adalah bahwa orang yang sudah memiliki kewarganegaraan tidak jatuh pada kekuasaan atau kewenangan negara lain.negara lain juga tidak berhak memperlakukan kaidah-kaidah hukum pada orang yang bukan warga negaranya.

PENGERTIAN WARGA NEGARA


Orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara dahulu biasa disebut hamba atau kawula negara. Namun sekarang ini lazim disebut warga negara, karena sesuai dengan kedudukannya sebagai orang yang merdeka. Ia tidak lagi sebagai hamba raja, melainkan anggota atau warga dari suatu negara. Jadi warga secara sederhana dapat di artikan sebagai anggota dari suatu negara.

Dalam keseharian (bahasa awam) pengertian warga negara sering disamakan dengan rakyat atau penduduk. Padahal tidaklah demikian. Terkait dengan hal ini maka perlu dijelaskan pengertian masing-masing dan perbedaannya.

Orang yang berada disuatu wilayah negara dapat dibedakan menjadi dua yaitu penduduk dan bukan penduduk. Penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal disuatu wilayah negara dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan yang bukan penduduk adalah orang-orang yang hanya tinggal sementara waktu saja di wilayah suatu negara.

Selanjutnya penduduk dalam suatu negara dapat dipilah lagi menjadi dua yaitu warga negara dan orang asing. Austin Raney menyatakan bahwa setiap negara memiliki sejumlah orang tertentu yang dianggap sebagai warga negaranya dan yang lainnya adalah sebagai orang asing.

Warga negara adalah orang-orang yang menurut hukum atau secara resmi merupakan anggota dari suatu negara tertentu. Mereka memberikan kesetiaannya pada negara itu, menerima perlindungan darinya, serta menikmati hak untuk ikut serta dalam proses politik. Mereka mempunyai hubungan secara hukum yang tidak terputus dengan negaranya meskipun yang bersangkutan telah didomisili diluar negeri, asalkan ia tidak memutuskan kewarganegaraannya.

Sedangkan orang asing adalah orang-orang yang untuk sementara atau tetap bertempat tinggal di negara tertentu, tetapi tidak berkedudukan sebagai warga negara. Mereka adalah warga negara dari negara lain yang dengan izin dari pemerintah setempat menetap di negara yang bersangkutan. Mereka mempunyai hubungan secara hukum dengan negara dimana ia tinggal hanya ketika ia masih bertempat tinggal di wilayah negara tersebut.

Di dalam suatu negara terdapat sejumlah orang-orang yang berstatus sebagai warga negara sekaligus sebagai penduduk dan sejumlah penduduk yang berstatus buakn sebagai warga negara (orang asing).
Perbedaan status atau kedudukan sebagai penduduk dan bukan penduduk, juga penduduk warga negara dan bukan penduduk warga negara menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban. Kebanyakan negara menentukan bahwa hanya mereka yang berstatus sebagai penduduk sajalah yang boleh bekerja dinegara yang bersangkutan, sedang bagi mereka yang berstatus bukan penduduk dilarang melakukan pekerjaan apapun. Demikian juga di indonesia misalnya, hanya warga negara yang boleh mempunyai hak milik atas tanah, dan hak untuk memilih atau dipilih dalam pemilihan umum. Sedang orang asing baik yang berstatus sebagai penduduk maupun bukan penduduk tidak diperbolehkan melakukan hal-hal tersebut.

Di indonesia diantara sesama warga negara masih dibedakan lagi anatara warga negara asli dan wargan negara keturunan asing. Hal ini dinyatakan dalam pasal 26 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Perbedaan tersebut juga menimbulkan hak dan kewajiban, walaupun hanya terbatas pada bidang tertentu.

Selanjutnya mengenai istilah rakyat, Heuken SJ dkk (1988) mencatat ada empat arti dari istilah rakyat. Pertama, rakyat adalah kelompok orang yang diperintah atau lapisan bawah dalam masyarakat. Kedua, rakyat adalah kaum proletar. Ketiga, rakyat adalah semua penduduk disuatu tempat, negeri, atau daerah. Keempat, rakyat adalah golongan orang yang memiliki ikatan bersama yang kuat, karena memiliki warisan seperti sejarah, bahasa, nasib, adat, kebudayaan dan tujuan bersama. Istilah rakyat dan warga negara sebenanya menunjuk kepada subjek yang sama, hanya saja rakyat merupakan sebutan sosiologis sedangkan warga negara merupakan sebutan yuridis.

Pengertian Moral

Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.

‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

Pengertian Etiket


Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket”, yaitu :

  1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu.
  2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik.

Perbedaan Etiket dengan Etika

K. Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” (2000) memberikan 4 (empat) macam perbedaan etiket dengan etika, yaitu :

1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Misal : Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.

Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri.

2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal : Saya sedang makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian.

Etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Misal: Larangan mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan meskipun si empunya barang sudah lupa.

3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misal : makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan.

Etika bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar.

4.. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang pada etiket bisa juga bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar sangan sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan.

Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat munafik, sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik.