Al-Qur’an dan Pluralisme |
Hal senada juga terdapat dalam QS An-Nahl: 93, ”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja. Tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang kamu perbuat” (Q.S. An-Nahl: 93)[2]
Jadi, kehendak untuk menciptakan keberagaman bukan datang dari manusia, melainkan justru datang dari Tuhan, dengan segala maksud dan tujuan-Nya. Apabila semua orang memeluk Islam, atau sebaliknya jika semuanya bukan Islam, bagaimana konteks ”Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS Al-Kafirun: 4)[3]
Tanpa keberagaman, tidak bisa dibayangkan bagaimana bentuk kehidupan dunia. Yang akan terjadi hanya kejenuhan, stagnan, kebosanan, bahkan kehancuran. Homogenitas yang dikembangkan sistem komunis pun terbukti hancur. Apabila semua orang kaya, siapa yang bisa menjalankan rukun Islam keempat (zakat), karena tidak ada lagi fakir-miskin?
Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad Saw telah memberi teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Di Madinah, Rasulullah punya tetangga seorang Yahudi. Ketika menyembelih kambing, Nabi mengirim daging yang sudah dimasak kepada orang Yahudi tadi. Apa itu artinya?
Komunitas di luar Islam, sepanjang berperilaku baik dan tidak memusuhi Islam, harus diperlakukan secara baik pula. Fanatisme dalam beragama tidak harus menghilangkan sikap saling menghormati dengan umat beragama lainnya. Kesadaran ini juga berlaku dalam menyikapi berbagai aliran dalam suatu agama, apakah Islam, Nasrani, Hindu, dan sebagainya.
Dalam Perang Khaibar, melawan orang-orang Yahudi yang memusuhinya, Rasulullah menemukan sebuah Taurat. Dia langsung memerintah sahabatnya agar mengembalikan kitab suci itu kepada pemiliknya, siapa tahu diperlukan untuk mendidik anak-anaknya.
Dalam sebuah hadis, riwayat Ibnu Abbas, seorang lelaki datang kepada Nabi, meminta izin untuk memaksa anaknya yang beragama Nasrani agar beralih menjadi muslim. Apa jawab Nabi? Beliau menolak permintaan itu, sambil membacakan ayat yang melarang pemaksaan seseorang dalam beragama. “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dari jalan yang sesat.”
Tidak ada paksaan untuk (memasuki agama Islam), Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS Al-Baqarah: 256)[4]
Selanjutnya yang paling humanis adalah peristiwa Rasulullah dalam suatu majelis. Tiba-tiba ia berdiri, saat menyaksikan serombongan orang membawa jenazah. Para sahabat mengetahui jenazah tersebut adalah orang Yahudi. ”Ya, Rasulullah, bukankah itu jenazah orang Yahudi?” Apa jawab Nabi? ”Dia juga jiwa (manusia).”
Tidak ada paksaan untuk (memasuki agama Islam), Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS Al-Baqarah: 256)[4]
Selanjutnya yang paling humanis adalah peristiwa Rasulullah dalam suatu majelis. Tiba-tiba ia berdiri, saat menyaksikan serombongan orang membawa jenazah. Para sahabat mengetahui jenazah tersebut adalah orang Yahudi. ”Ya, Rasulullah, bukankah itu jenazah orang Yahudi?” Apa jawab Nabi? ”Dia juga jiwa (manusia).”
Dalam Islam sendiri terdapat pluralisme, misalnya adanya Syiah, Sunni, dan sebagainya, mereka sama-sama bagian dari Islam. Dalam hal ini, Imam Syafi’i pun telah memberi teladan yang baik. Imam Syafi’i, yang mazhabnya menjadi panutan mayoritas umat Islam Indonesia, tidak melakukan doa qunut, ketika jadi imam salat subuh di sebuah masjid di Irak. Dia tahu, masyarakat Irak adalah pengikut mazhab Imam Hanafi yang tidak menyetujui qunut.
Maka, kalau Imam Syafi’i saja bisa luwes, mengapa umat muslim di Indonesia tidak mau melakukan seperti panutannya? Dalam analisa Buya Hamka, Imam Syafi’i lebih mengutamakan keharmonisan dalam bermasyarakat. Dia tak ingin mengganggu perasaan dan kebiasaan warga Irak yang tidak berqunut. Tidak perlu ada sikap saling mengecam, menyalahkan, dan menganggap diri sendiri sebagai paling benar.
Melihat contoh-contoh di atas, mestinya tak ada keraguan sedikit pun bahwa Islam secara doktriner adalah agama yang sangat toleran. Komaruddin bahkan menyebutnya paling toleran, sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menganggap pluralisme sebagai suatu sunatullah mesti didorong atas dasar saling memahami, menghargai, dan toleran. ”Islam justru memberikan jaminan dalam beragama maupun tidak beragama,” ujarnya.
Akhirnya yang jadi persoalan adalah sikap umat Islam tak selalu konkruen.Sebagian menganggap pemahamannya selalu benar, padahal kebenaran absoluthanya milik Tuhan. Maka, beragama tidak pernah usai, dan selalu berada dalam proses. Sepanjang yang beragama itu manusia, maka manusia akan selalu berkembang.
Di sinilah kita perlu mengubah mindset (kerangka berpikir) yang masih keliru. Kita mesti belajar untuk duduk bersama, saling mendengar dan bertukar pikiran, baik dengan sesama muslim maupun nonmuslim. Upaya untuk mencairkan kebekuan wacana pluralisme juga bisa dipercepat dengan jalan mengintensifkan pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di sekolah-sekolah. Lembaga pendidikan dianggap media yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang. Misalnya diawali dari sejarah agama-agama lebih detail. Dengan memahami sejarah, seseorang cenderung sulit menjadi radikal terhadap agama maupun penganut agama lain.[5]
[1] Q.S. Yunus: 99.
[2] Q.S. An-Nahl: 93.
[3] Q.S. Al-Kafirun: 4.
[4] Q.S. Al-Baqarah: 256.
[5] Ibid.
Post a Comment