Tasawuf dalam Pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah

Dalam ajaran Tasawuf, banyak disebutkan dengan istilah at-taubah, khauf, raja’, az-zuhud, at-tawakkal, asy-syukur, ash-shabar, ar-ridho, az-zikir, shalatul lail dan sebagainya. Semua ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. (taqarrub illallah).

Dalil-dalil Al-Qur’an

Berkenaan dengan anjuran shalat malam (Shalatul lail) terdapat dalam QS Al-Isra’ 17:79. Artinya: dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.

Dalil-dalil As-Sunnah

Sama halnya dengan Al-Qur’an, As-sunnah banyak mengungkapkan berkenaan dengan perilaku dan pengalaman tasawuf. Diantaranya adalah sebagai berikut:

Aisyah berkata:

Artinya: “Adalah Nabi Saw bangun sholat malam (Qiyamul-lail), sehingga bengkak kakiknya. Aku berkata kepadanya,’Gerangan apakah sebabnya, wahai utusan Allah, engkau sekuat tenaga melakukan ini, padahal Allah telah berjanji akan mengampuni kesalahanmu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab, ‘Apakah aku tidak akan suka menjadi seorang hamba Allah yang bersyukur’? (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah Saw bersabda:

Artinya: “Demi Allah, aku memohon ampun kepada Allah dalam sehari semalam tak kurang dari tujuh puluh kali”.(HR. Al-Bukhari).

Rasulullah Saw bersabda:

“Zuhudlah terhadap dunia maka Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di tangan orang lain maka mereka akan mencintaimu.”(HR. Ibnu Majah)
Dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa dirinya adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datanganya wahyu. Selama di Gua Hira, Rasulullah hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid.

Kalangan sahabat pun ada yang mengikuti praktik bertasawuf sebagaimana yang dipraktikkan Nabi Muhammad Saw. Abu Bakar Ash-Shiddiq, pernah berkata,”Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, ke fana’an dalam keagungan dan kerendahan hati.” Khalifah Umar Ibn Khattab pernah berkhotbah di hadapan jamaah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sederhana. Khalifah Utsman Ibn Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Al-Qur’an. Baginya, Al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca kemana pun ia pergi.
Uraian dasar-dasar tasawuf diatas, baik Al-Qur’an, Al-Hadist, maupun suri tauladan dari para sahabat, ternyata merupakan benih-benih tasawuf dalam kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan kata lain, ilmu tentang moral dan tingkah laku manusia terhadap rujukannya dalam Al-Qur’an.



sumber

Kemuliaan dan Keagungan surah al-Qodr

Disebutkan dalam buku Kumpulan Pusaka Lengkap, Mujarrobat Asli, oleh Ust. Muhammad Mizan, terbitan Mahkota Surabaya, ada disebutkan : 

Dalam kitab Fathul Malikil Majîd : 23, pernah ada sebagian Manusia datang berkunjung ke rumah Syaikh al-Faqih Ahmad bin Mûsâ bin ‘Ujail (salah seorang Ulama & Waliyyullâh di masa itu).
Tujuan mereka adalah mengadukan tentang kegagalan usaha yang berkepanjangan & tidak pernah bertemu muaranya dalam menempuh kesuksesan hidupnya. 

Kemudian oleh Syaikh Ahmad, mereka diperintahkan untuk memperbanyak surah al-Qodr kemudian membaca Doanya. 

Namun dalam maksud yang sama, dalam kitab Khozînatul Asrôr : 174, sebagian Ulama mengatakan bahwa surah al-Qodr tersebut dibaca sebanyak 41 x dan Doanya dibaca sebanyak 41 x pula. Insyâ Allâh, ternyata berhasil & telah diujicoba kemasyhurannya. 

اللهم يا من هو يكتفى عن جميع خلقه ولا يكتفى عنه احد من خلقه، يا احد يا من لا احد له انقطع الرجآء الا منك و خابت اﻷمل الا فيك و سدت الطرق الا اليك، يا غياث المثتغيثين
اغثنى × 7 

Allâhumma Yâ man Huwa yaktafî ‘an jamî-‘i kholqihî wa lâ yaktafî ‘anhu Ahadun min kholqihî, Yâ Ahadu Yâ man lâ ahada lahû inqotho’ar rojâ-u illâ minka wa khôbatil amalu illâ fîkâ wa saddatit thuruqu illâ ilayka
Yâ Ghoyyâtsal Mustaghîtsîna
(Aghistnî 7 x)

Wahai Allâh, Wahai Tuhan yang tidak behajat kepada makhluk-Nya dan tiada seorang jua pun dari makhluk-Nya yang tidak berhajat kepada-Nya.
Wahai Tuhan yang Satu, Wahai Tuhan yang tiada ssaama bagi-Nya
Telah terputus semua harapan, melainkan kecuali daripada-Mu.
Dan juga telah tersia-sia semua angan-angan, melainkan hanyalah kepada-Mu.
Dan telah tertutup semua jalan, melainkan jalan kepada-Mu.
Wahai Tuhan yang Maha Menolong orang-orang yang minta pertolongan
(Bantulah Hamba .. 7 x)

Musabaqoh Hifzhil Quran Se- Asia Tenggara

Kerjasama ;
1. Organisasi Tahfizh International Jeddah.
2. International Islamic Charity Organization Kuwait
3. Ikatan Pesantren Tahfizh Indonesia
4. Pesantren Tahfizh Daarul Quran.
Hotel Siti& Pesantren Tahfzh Daarul Quran Ketapang Cipondoh Tangerang
Kamis- Ahad, 19-22 Januari 2017

Diikuti oleh 40 Peserta dari 10. Negara
Indonesia,  Malaysia,  Brunei,  Singapura,  Timor Leste,  Thailand,  Myanmar,  Burma,  Vietnam
Persyaratan peserta musabaqoh :
1. Peserta melewati seleksi untuk mengikuti perlombaan.
2. Peserta hanya diperbolehkan mengikuti satu kategori saja
3. Peserta tidak diperkenankan mengganti kategori lomba yang telah ia pilih sebelumnya.
4. Peserta tidak boleh mengundurkan diri apabila telah sampai di negara/tempat lokasi diadakannya perlombaan.
5. Peserta berjenis kelamin laki-laki dengan usia  tidak lebih dari 25 tahun.
6. Peserta mengirim biodata
- Nama lengkap, tempat tanggal lahir
- Alamat lengkap
- No hp/wa/ email
- Lembaga bernaung sekarang atau individu.
7. Bersedia hadir di tempat seleksi yang ditetapkan panitia.

Pendaftaran Seleksi untuk Indonesia melalui  :
1. Email : mhqsoutheast.asia@gmail.com
2. Whatsapp : +62 82111 128 772

Batas terakhir pendaftaran 10 Desember 2016
Seleksi akan dilaksanan dari tgl 12 sd 22 December 2016. Di 5 Zona:
1.Sumatera
2.Jawa
3.Kalimantan
4.Sulawesi
5.Bali, Lombok, Nusa Tenggara
Katagori Lomba
1. Hafalan al - Quran 30 Juz berikut Matan Aljazariyah
2. Hafalan al- Quran 30 Juz berikut tilawah dan tajwid
3. Hafalan Al- Quran 20 Juz berikut tilawah dan Tajwid
4. Hafalan Al- Quran 10 Juz berikut tilawah dan tajwid

Hadiah Musabaqoh
1.Katagori Pertama
-Juara I USD 4000
-Juara II USD 1700
-Juara III USD 1400
2.Katagori Kedua
-Juara IUSD 4000
-Juara II USD 1700
-Juara IIIUSD 1400
3.Katagori Ketiga
-Juara I USD 1800
-Juara II USD 1400
-Juara II USD 1200
4.Katagori Keempat
-Juara IUSD 1500
-Juara IIUSD 1200
-Juara IIIUSD 1000

sebarkan kalau bermanfaat
barangkali ada sanak famili atau kerabat yg mau ikut

Al-Qur’an dan Pluralisme

Al-Qur’an dan Pluralisme
Bagaimana pluralisme dalam pandangan Islam? Pluralisme, yang di kalangan umat muslim Indonesia masih sebatas wacana dan kurang dipraktikkan dalam kehidupan nyata, sebenarnya dikupas cukup banyak dalam Alquran maupun hadis. Misalnya QS Yunus: 99, ”Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang berada di muka bumi ini seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Q.S. Yunus: 99)[1]

Hal senada juga terdapat dalam QS An-Nahl: 93, ”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja. Tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang kamu perbuat” (Q.S. An-Nahl: 93)[2]

Jadi, kehendak untuk menciptakan keberagaman bukan datang dari manusia, melainkan justru datang dari Tuhan, dengan segala maksud dan tujuan-Nya. Apabila semua orang memeluk Islam, atau sebaliknya jika semuanya bukan Islam, bagaimana konteks ”Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS Al-Kafirun: 4)[3]

Tanpa keberagaman, tidak bisa dibayangkan bagaimana bentuk kehidupan dunia. Yang akan terjadi hanya kejenuhan, stagnan, kebosanan, bahkan kehancuran. Homogenitas yang dikembangkan sistem komunis pun terbukti hancur. Apabila semua orang kaya, siapa yang bisa menjalankan rukun Islam keempat (zakat), karena tidak ada lagi fakir-miskin?

Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad Saw telah memberi teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Di Madinah, Rasulullah punya tetangga seorang Yahudi. Ketika menyembelih kambing, Nabi mengirim daging yang sudah dimasak kepada orang Yahudi tadi. Apa itu artinya?
Komunitas di luar Islam, sepanjang berperilaku baik dan tidak memusuhi Islam, harus diperlakukan secara baik pula. Fanatisme dalam beragama tidak harus menghilangkan sikap saling menghormati dengan umat beragama lainnya. Kesadaran ini juga berlaku dalam menyikapi berbagai aliran dalam suatu agama, apakah Islam, Nasrani, Hindu, dan sebagainya.
Dalam Perang Khaibar, melawan orang-orang Yahudi yang memusuhinya, Rasulullah menemukan sebuah Taurat. Dia langsung memerintah sahabatnya agar mengembalikan kitab suci itu kepada pemiliknya, siapa tahu diperlukan untuk mendidik anak-anaknya.
Dalam sebuah hadis, riwayat Ibnu Abbas, seorang lelaki datang kepada Nabi, meminta izin untuk memaksa anaknya yang beragama Nasrani agar beralih menjadi muslim. Apa jawab Nabi? Beliau menolak permintaan itu, sambil membacakan ayat yang melarang pemaksaan seseorang dalam beragama. “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dari jalan yang sesat.”

Tidak ada paksaan untuk (memasuki agama Islam), Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS Al-Baqarah: 256)[4]

Selanjutnya yang paling humanis adalah peristiwa Rasulullah dalam suatu majelis. Tiba-tiba ia berdiri, saat menyaksikan serombongan orang membawa jenazah. Para sahabat mengetahui jenazah tersebut adalah orang Yahudi. ”Ya, Rasulullah, bukankah itu jenazah orang Yahudi?” Apa jawab Nabi? ”Dia juga jiwa (manusia).”
Dalam Islam sendiri terdapat pluralisme, misalnya adanya Syiah, Sunni, dan sebagainya, mereka sama-sama bagian dari Islam. Dalam hal ini, Imam Syafi’i pun telah memberi teladan yang baik. Imam Syafi’i, yang mazhabnya menjadi panutan mayoritas umat Islam Indonesia, tidak melakukan doa qunut, ketika jadi imam salat subuh di sebuah masjid di Irak. Dia tahu, masyarakat Irak adalah pengikut mazhab Imam Hanafi yang tidak menyetujui qunut.
Maka, kalau Imam Syafi’i saja bisa luwes, mengapa umat muslim di Indonesia tidak mau melakukan seperti panutannya? Dalam analisa Buya Hamka, Imam Syafi’i lebih mengutamakan keharmonisan dalam bermasyarakat. Dia tak ingin mengganggu perasaan dan kebiasaan warga Irak yang tidak berqunut. Tidak perlu ada sikap saling mengecam, menyalahkan, dan menganggap diri sendiri sebagai paling benar.
Melihat contoh-contoh di atas, mestinya tak ada keraguan sedikit pun bahwa Islam secara doktriner adalah agama yang sangat toleran. Komaruddin bahkan menyebutnya paling toleran, sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menganggap pluralisme sebagai suatu sunatullah mesti didorong atas dasar saling memahami, menghargai, dan toleran. ”Islam justru memberikan jaminan dalam beragama maupun tidak beragama,” ujarnya.
Akhirnya yang jadi persoalan adalah sikap umat Islam tak selalu konkruen.Sebagian menganggap pemahamannya selalu benar, padahal kebenaran absoluthanya milik Tuhan. Maka, beragama tidak pernah usai, dan selalu berada dalam proses. Sepanjang yang beragama itu manusia, maka manusia akan selalu berkembang.
Di sinilah kita perlu mengubah mindset (kerangka berpikir) yang masih keliru. Kita mesti belajar untuk duduk bersama, saling mendengar dan bertukar pikiran, baik dengan sesama muslim maupun nonmuslim. Upaya untuk mencairkan kebekuan wacana pluralisme juga bisa dipercepat dengan jalan mengintensifkan pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di sekolah-sekolah. Lembaga pendidikan dianggap media yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang. Misalnya diawali dari sejarah agama-agama lebih detail. Dengan memahami sejarah, seseorang cenderung sulit menjadi radikal terhadap agama maupun penganut agama lain.[5]






[1] Q.S. Yunus: 99.
[2] Q.S. An-Nahl: 93.
[3] Q.S. Al-Kafirun: 4.
[4] Q.S. Al-Baqarah: 256.
[5] Ibid.



Makalah Tafsir Al-Qur'an

 Makalah Tafsir Al-Qur'an

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir.

Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri. Dalam makalah yang singkat ini penulis berusaha membahas tentang pengertian tafsir, sejarah perkembangan tafsir, bentuk metode corak tafsir, kitab-kitab tafsir berbahasa indonesia syarat-syarat seorang mufassir.

B. Rumusan Masalah
  1. Pengertian tafsir
  2. Sejarah perkembangan tafsir
  3. Bentuk, metode dan corak tafsir
  4. Kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia
  5. Syarat-syarat seorang mufassir
C. Tujuan Masalah
  1. Untuk mengetahui pengertian tafsir
  2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tafsir
  3. Untuk mengetahui bentuk, metode dan corak tafsir
  4. Untuk mengetahui kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia
  5. Untuk mengetahui syarat-syarat seorang mufassir

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TAFSIR

Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, berarti penjelasan (al-idhah wa at-tabyin), sebagai mana terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi :
(٣٣) وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Artinya:
“tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqan 25:33).

Dari segi terminologis bermacam definisi dibuat oleh para ulama, antara lain sebagai berikut :
  1. Abu Hayyan, menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan tentang arti dan makna dari lafazh-lafazh tersebut, baik kata perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya.
  2. Az-Zarkasyi, menurutnya tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
  3. Az-Zarqani, menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT sebatas kemampuan manusia.
Sekalipun telah diungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi ketiga definisi di atas sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia.

Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di sampig dibatasi oleh kemampuan masing-masing sebagai manusia, para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pedidikan, sosial budaya yang berbeda-bed, sehingga bentuk, metode dan corak penafsir an mereka juga berbeda-beda.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat menggunakan beberapa cara, antar lain.
  1. Menelitinya dalam’ Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan.
  2. Merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammmad SA, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
  3. Apabila mereka tidak ditemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah SA, para sahabat berijtihat dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri.
  4. Sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh ah;i Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar dan lain-lain.
Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri’ masih merupakan bagian dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal sekarang. Di samping belum sistematis pada masa sahabat ini pun Al-Qur’an belum ditafsirkan secara keseluruhan, dan pembahasannya pun belum luas dan mendalam. 

Sesudah periode sahabat, datangah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari Ahlul Kita. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa Tabi’in, tafsir masih merupakan bagian dari hadits, tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing.

Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin) hadits dimana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tefsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsir bi al-ma’tsur.

Setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsur, karena perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas dan memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan penggunaannya pada bentuk bi al-ma’tsur. Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi.

Dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilm bahasa Arab, ilmu Qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqih, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.

C. BENTUK, METODE DAN CORAK TAFSIR

1. Bentuk Penafsiran Al-Qur’an

Sebagaimana sudah disinggung dalam uraian perkembangan tafsir diatas, dari segi bentuk dikenal dengan dua bentuk penafsiran, yaitu :

a. Tafsir bi al-ma’tsur

Tafsri Tafsir bi al-ma’tsur adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in. Dinamai dengan bi al-ma’tsur (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena banyak mennggunakan riwayat, maka tafsir dengan meode ini dinamai tafsir bi ar-riwayah.

Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau ayat dengan ayat adalah firman Allah dalam Surat Al An’am ayat 82 ditafsirkan oleh surat Luqman ayat 13. Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُواإِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanandan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am 6:82)

Penafsiran ayat dengan ayat tidak selamanya berdasarkan petunjuk Nabi seperti dalam contoh di atas, tetapi bisa juga atas pemahaman para sahabat atau tabi’in seperti dalam penafsiran maksudkalimatin dalam Surat Al-Baqarah 37. Allah SWT berfirman:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Artinya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah 2:37)
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Hadits Nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir dan lain-lain dari ‘Adi bin Hati, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang firman Allah SWT: ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, Nabi menjelaskan bahwa ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, adalah Yahudi, dan wa la adh-dhallin adalah Nashara.

b. Tafsir bi ar-Ra’yi

Tafsir biar ar-ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan mrnggunakan kemampun ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al_Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hdits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengtahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi- ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.

2. Metode Penafsiran Al-Qur’an

Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu:

a. Metode Ijmali

Metode ijmali adalah metode yang paling awal muncu karena sudah digunakan sejak Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak memberikan rincian yang detail, hanya secara ijmali atau global. 

Dengan metode ijmali, seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna yang diungkapkan ayat-ayat dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh Al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an itu sendiri.

b. Metode Tahlili

Setelah metode ijmali, dikenal metode tahlili. Dengan menggunakan metode ini, seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek, mulai dari aspek bahasa, asbab an nuzul, munasabah dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan sistematika mushaf Al-Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat.

c. Metode Muqarin

Setelah metode ijmali dan tahlili, muncul metode muqarin atau perbandingan. Dengan metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara (1) teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memilki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; (2) ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.

d. Metode Maudhu’i

Yang terakhir muncul adalah metode maudhu’i atau tematik. Berbeda dengan metode ijmali dan tahlili yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhu’i ini membahas ayat-ayat yang dalam berbagai surat yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu. Dengan metode ini seorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang am dan khas, antara yang muthlaq dan yangmuqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.

3. Corak Penafsiran Al-Qur’an

Di samping bentuk dan metode yang sudah dijelaskan di atas, dikenal juga corak pnafsiran. Karena yang dominan dalam at-tafsir bi-ar-ra’yi adalah pemikiran musafir, baik yang orisinal dari yang bersangkutan atau mengutip dari sumber-sumber lain, maka tentu saja hasil penafsiran beragam sesuai latar belakang pengetahuan, sosial budaya dan kecenderungan masing-masing. Dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an keragaman itu diistilahkan dengan al-laun yang secara harfiah berarti warna. Dalam bahasa Indonesia, oleh M. Quraish Shihab digunakan istilah Corak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti corak antara lain berjenis-jenis warna pada warna dasar, faham, macam,bentuk.

Menurut hemat penulis, kata corak lebih tepat digunakan dibanding warna. Warna dasarnya adalah at-tafsir bi-ar-ra’yi di atas warna dasar itu ada warna warni lain yang beragam, dan itulah corak. Corak itu sekalipun menunjukkan faham penulisannya, macam atau bentuk tafsirnya.
Sejauh ini corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut:

a. Corak Sastra Bahasa

Corak sastra bahasa timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memelukagama islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibanding sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an.

b. Corak Fiqih dan Hukum

Corak fiqih dan hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan brusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.

c. Corak Teologi dan atau Filsafat

Corak teologi dan atau filsafat, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atua tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.

d. Corak Tasawuf

Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.

e. Corak Penafsiran Ilmiah

Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.

f. Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan

Corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tetapi indah didengar.

Demikianlah bentuk, metode dan corak penafsiran Al-Qur’an sepanjang zaman sampai zaman kita sekarang ini. Masing-masing mufasir telah berjasa menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan latar belakang masing-masing. Karena keragaman latar belakang para mufassir baik dari segi disiplin ilmu, kecenderungan maupun latar belakang sosial budaya dan keragaman persoalan dan kebutuhan zaman, maka kitab-kitab tafsir yag muncul sepanjang waktu pun mempunyai bentuk, corak dan warna yang berbeda-beda. Namun demikian, sekalipun terjadi keragaman, tidak berarti sau sama lain saling berbeda sepenuhnya. Ibarat lingkungan yang dipertautkan sambung bersambung, selalu ada bagian dua lingkaran yang menempati ruang yang sama. Bagian yang sama itulah yang akan menjadi benang merah dari seluruh penafsiran.

D. KITAB-KITAB TAFSIR BERBAHASA INDONESIA
Sejak pertiga awal abad XX di Indonesia telah lahir berbagai karya berbahasa Indonesia tentang Al-Qur’an, baik berupa terjemhan Al-Qur’an dengan beberapa anotasi di mana perlu maupun dalam bentuk tafsir Al-Qur’an sebagian atau keseluruhannya.
Dalam bentuk terjemahan Al-Qur’an dengan beberapa anotasi di mana perlu antara lain:
  1. Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an al-Karim (1930);
  2. A. Halim hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (1955);
  3. Zainuddin Hamidy dan Hs. Fachruddin, Tafsir Qur’an (1959);
  4. Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an (1978);
  5. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (1983);
  6. Team Penerjemah Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (1975).
Dalam bentuk tafsir Al-Qur’n sebagaian atau keseluruhannya, antara lain:
  1. Abdul Karim Amrullah, Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (1922);
  2. Ahmad Hassan, Al-Hidayah, Tafsir Juz ‘Amma (1930);
  3. M. Hashbi ash- Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur (1952) dan Tafsir Al-Bayan (1962);
  4. HAMKA, Tafsir Al-Azhar (1982);
  5. Team Penafsir Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya (1995);
  6. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (2000).
E. SYARAT-SYARAT SEORANG MUFASSIR

Para ahli dan ulama’ mensyaratkan agar setiap mufassir memenuhi hal-hal sebagai berikut:
  1. Memiliki aqidah yang benar
  2. Tidak dikuasai nafsu ananiya, ’asabiyah dan lain-lain
  3. Mengetahui ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya
  4. Mengetaui ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an
  5. Faham secara mendalam dan dapat mengistimbatkan makna sesuai dengan nash syari’ah.

KESIMPULAN

Secara etimologis Tafsir berarti penjelasan, sedangkan secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia. 

Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Gama Media: Yogyakarta
Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul Qur’an. Itqan Publishing: Yogyakarta




Makiyah dan Madaniyah Al-qur'an

Makiyah dan Madaniyah Al-qur'an
Surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi Makkiyah dan Madaniyah. Para ulama mendasarkan pembagian tersebut kepada salah satu dari tiga aspek berikut ini:
  • Berdasarkan masa turunnya. Yang diturunkan sebelum Hijrah dari Makkahke Madinah dan sekitarnya dan yang diturunkan sesudah Hijrah dinamai Madaniyah walaupun turunnya bukan di Madinah dan sekitarnya.
  • Berdasarkan tempat turunnya. Yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya disebut Makkiyah dan yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya dinamai Madaniyah.
  • Berdasarkan sasaran pembicaraan. Yang ditunjukan untuk penduduk Makkah dinamai Makkiyah dan yang ditujukan kepada penduduk Madinah disebut Madaniyah.

Setelah mempelajari surat dan ayat-ayat Makkiyah, para ulama merumuskan kriterianya sebagai berikut:
  • Ada ayat sajadah
  • Ada lafazh kalla (33x dalam 15 surat)
  • Ada ayat Ya Ayyuhannas, dan tidak ada Ya Ayyuhalladzina amanu (kecuali surat Al-Hajj)
  • Ada kisah para Nabi dan umat-umat sebelumnya (kecuali surat Al-Baqarah)
  • Ada kisah Nabi Adam dan Iblis (kecuali surat Al-Baqarah)
  • Setiap surat yang dibuka dengan huruf hujaiyah seperti Alif-lam-mim; Alif-lam-ra; Ha-mim dan semacamnya (kecuali surat Al-Baqarah dan)
  • Surat-surat yang ayatnya pendek-pendek, bersajak, i’jaz al ‘ibrahim dan padat isinya.
  • Bersisi ajaran tentang aqidah (tauhid menyembah Allah SWT semata, risalah Nabi Muhammad SAW, Hari Akhir, mujadalah kaum musyirikin dengan dalil-dalil akal dan ayat-ayat kauniyah)
  • Surat-surat yang berisi peletakan dasar-dasar tasyri’.
Setelah mempelajari surat dan ayat-ayat Madaniyah para ulama merumuskan kriterianya sebagai berikut:
  • Ada ayat Ayyuhalladzina amanu
  • Ada faridhah (kewajiban) dan sanksi pidana
  • Membahas tentang kaum munfikin (kecuali surat Al-Ankabut); mengungkap tentang perilaku mereka, memuka rahasia-rahasia mereka, dan menjelaskan bahaya kaum munafikin terhadap umat islam
  • Ada mujadalah Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani), seruan terhadapmereka untuk masuk islam, mengungkap pemalsuan al-kitab dlsb.
  • Ada ajaran tentang ibadah, mu’amalah, pidana, aturan berkeluarga, warisan, keutamaan, jihad dan lain-lain
  • Setiap surat yang ayatnya panjang-panjang dan bergaya prosa liris.
Dibawah ini uraian ringkas tentang urgensi kajian Makkiyah dan Madaniyah tersebut, antara lain:
  • Dengan mengetahui tempat dan priode turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, seorang mufasir dapat menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan tepat dan benar.
  • Dengan menelusuri tempat dan fase turunnya ayat-ayat Al-Qur’an melalui kajian Makkiyah dan Madaniyah kita dapat pelajaran bagaimana strategi dakwah yang tepat sehingga dakwah lebih efektif.
  • Dengan mempelajari ayat-ayat yang turun kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari ayat pertama pada priode Makkah sampai ayat terakhir pada priode Madinah, kita dapat mengikuti perjalanan hidup beliau.
  • Kajian terhadap Makkiyah dan Madaniyah menunjukkan betapa tingginya perhatian kaum muslimin sejak generasi awal terhadap sejarah turunnya Al-Qur’an.



sumber