Pada suatu hari dia berkelahi dengan orang Yahudi, berperang dan berhadap-hadapan satu sama satu.
Karena hebatnya perkelahian, kuat sama kuat, akhirnya terbantinglah Yahudi itu jatuh dan dengan secepatnya Sayyidina Ali telah duduk di atas perut lawannya dan mengemasi kedua belah tangannya sehingga tldak dapat bergerak lagi, tinggal hendak menikamnya saja.
Orang Yahudi itu pun tidak berdaya lagi hendak mempertahankan dirinya.
Tiba-tiba karena akal lain tidak ada lagi, dari sangat murka dan gemasnya, orang Yahudi telah meludahi wajah Sayyidina Ali.
Setelah mukanya diludahi dan basah kena air ludah, Sayyidina Ali terdiam.
Lalu tidak berapa lama kemudian, dia pun tegak. Diambilnya serbannya, dihapusnya mukanya dan musuhnya itu dibiarkannya berdiri.
Dengan keheranan musuhnya, Si Yahudi itu bertanya, "Mengapa tidak engkau bunuh aku? Padahal kesempatan yang sebaik-baiknya? Dan aku meludah engkau karena tidak berdaya lagi?"
Sayyidina Ali menjawab,
"Saya berkelahi dengan engkau tadi karena mempertahankan agama Allah. Saya akan bunuh engkau selama engkau menentang Allah.
Tetapi setelah engkau meludahi mukaku, soalnya bukan lagi karena mempertahankan agama Allah. Dia telah berganti dengan soal pribadi.
Aku sangat murka kepada engkau karena meludahiku.
Maka kalau aku bunuh engkau karena kemurkaan berkenaan dengan urusan diri sendiri, tidaklah berarti lagi perjuanganku.
Karena tidak lagi karena mempertahankan agama Allah, melainkan karena mempertahankan harga diri."
Sikap yang seperti ini pun adalah sikap seorang yang berjiwa besar seakan-akan beliau berkata,
Aku sendiri boleh engkau maki-maki, aku tidak akan marah.
Tetapi kalau agama Allah yang engkau singgung, engkau akan mendapat bagianmu yang setimpal!
(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 171-177, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).
Post a Comment