Faktor-faktor Penentu Usaha Peternakan

Menurut Hernanto (1995) faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam usaha ternak adalah ; peternak sebagai pengelola, tanah usaha ternak, tenaga kerja, modal, tingkat tekno-logi, kemampuan peternak mengalokasikan penerimaan keluarga dan jumlah anggota ke-luarga. Dalam usaha ternak di negara kita faktor produksi tanah mempunyai kedudukan penting, seperti halnya dengan modal dan tenaga kerja. Dalam perjalanan waktu situasi dan kondisi sektor peternakan pada posisi yang bersaing ketat dengan sektor lain seperti industri, perumahan, prasarana umum, perkantoran dan bangunan-bangunan pendidikan, sosial dan lain-lain. Tanah yang sempit dengan kualitas tanah yang kurang baik meru-pakan beban bagi peternak pengelola.

Kebutuhan lahan bagi pengembangan ternak ruminansia dirasakan sangat penting terutama sebagai sumber hijauan pakan, akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa dengan semakin padatnya penduduk, lahan yang tersedia untuk hijauan pakan ternak semakin menyempit. Akibatnya didaerah padat penduduk ternak lebih banyak tergan-tung pada limbah pertanian walaupun pada kenyataannya tidak seluruh limbah pertanian tersedia efektif untuk makanan ternak (Arfa`i, 2005).Faktor produksi penting ke dua adalah modal. Mubyarto (1994) menyatakan bahwa modal diartikan sebagai barang atau uang yang bersama-sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru dalam hal ini hasil peternakan. Modal peternak yang berupa barang di luar tanah adalah ternak beserta kandang, cangkul, bajak dan alat-alat peternankan lain, pupuk, bibit, hasil panen yang belum dijual, tanaman yang masih disawah dan lain-lain. Modal terbagi atas modal tetap dan modal lancar, modal tetap adalah jenis-jenis modal yang terdiri dari : lahan, bangunan, alat-alat perta-nian, tanaman dilapangan, ternak kerja dan ternak produksi. Sedangkan modal lancar adalah modal yang sewaktu-sewaktu dapat dijadikan uang tunai.

Sumberdaya manusia juga merupakan faktor penting dalam usaha peternakan karena hal ini sangat berkaitan dengan tenaga kerja. Yang dimaksud dengan tenaga kerja dalam usahatani adalah tenaga kerja yang diperlukan untuk menyelesaikan berba-gai macam kegiatan produksi dalam rangka menghasilkan barang dan jasa yang berasal dari tanaman dan ternak. Dalam usahatani sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri, yang terdiri dari ayah, istri dan anak-anak petani (Mubyarto, 1994). Hernanto (1995) menyatakan bahwa tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak dan mekanik. Adapun tenaga kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan, pengalaman, keterampilan, kesehatan, faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan usahatani. Potensi tenaga kerja petani adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia pada satu keluarga petani. Kegiatan tenaga kerja untuk usaha ternak sapi meliputi pembuatan kandang, pemeliharaan ternak dan panen



sumber

Sapi Potong


Sapi potong merupakan salah satu sumberdaya penghasil bahan makanan berupa daging yang memeliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya dalam kehidupan masyarakat. Ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan terutama bahan makanan berupa daging disamping hasil ikutan lain seperti pupuk, kulit, tulang, dan saebagainya (Sugeng 1999). Sedangkan menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) ternak sapi dalam jangka waktu yang cukup panjang akan tetap mempunyai peranan penting bagi sektor pertanian di Indonesia. Ternak ini sangat sesuai untuk berbagai segi kehidupan usahatani di Indonesia yang kegunaannya antara lain sebagai sumber tenaga, pengubah hasil limbah pertanian dan rumput alam, tabungan dan cadangan uang tunai dan sumber pupuk organik.

Pemeliharaan sapi potong di Indonesia dilakukan secara ekstensif, semi intensif dan intensif. Pada umumnya sapi-sapi yang dipelihara secara intensif hampir sepanjang hari berada dalam kandang dan diberikan pakan sebanyak dan sebaik mungkin sehingga cepat gemuk, sedangkan secara ekstensif sapi-sapi tersebut dilepas dipadang pengem-balaan dan digembalakan sepanjang hari (Sugeng, 1999).
Program pengembangan sapi potong dimasa datang harus dilakukan secara efek-tif dan efisien sehingga produk yang dihasilkan mampu bersaing dengan produk luar negeri. Hal ini dapat dicapai apabila pemanfaatan sumberdaya dilakukan secara tepat dan optimal serta pemanfaatan teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan agroklimat setempat. Sementara itu faktor-faktor lain-nya baik yang bersifat kelembagaan, sarana dan prasarana serta peraturan-peraturan yang ada harus mendukung secara baik dan konsisten (Soetirto, 1997).

Mengingat kondisi Indonesia yang merupakan negara agraris maka sektor per- tanian tidak dapat terlepas dari berbagai sektor yang lain diantaranya sub sektor peter- nakan. Faktor pertanian dan penyebaran penduduk di Indonesia menentukan penye-baran usaha ternak sapi. Masyarakat peternak yang bermata pencaharian bertani tidak bisa lepas dari usaha ternak sapi, baik untuk tenaga, pupuk dan sebagainya, sehingga maju mundurnya usaha ternak sapi tergantung pada usahatani. Usahatani maju berarti menunjang produksi pakan ternak berupa hijauan, hasil ikutan pertanian berupa biji-bijian atau pakan penguat (Sugeng, 1999).



sumber

Peternakan Sapi Potong


Pola pengembangan sapi potong dapat dilakukan dengan cara sinkronisasi daerah pengembangan agribisnis peternakan dengan komoditas lain menentukan prioritas pengembangan sapi potong pada daerah tertentu seduai daya adaptasi ternak dengan tidak mengalihfungsikan lahan penggembalaan menjadi daerah pertanian dan hutan industry bahkan bila mungkin meningkatkan status lahan penggembalaan umum baik dari aspek legal maupun kualitasnya.

Peluang usaha beternak sapi potong sangat menjanjikan karena dengan melihat meningkatnnya permintaan bahan makanan yang berasal dari hewan sebagai sumber protein hewani khususnya daging.Dengan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sebagai pendukung peluang usaha beternak sapi potong.Peluang tersebut membuat para pengusaha besar maupun kecil berlomba-lomba untuk mencari keuntungan dari berternak sapi potong. Pemotongan sapi dilakakukan di Rumah Potong Hewan karena untuk menstandarisasi daging yang akan dikonsumsi. Dengan proses pemeriksaan kesehatan ternak sebelum di potong dan pemberian cap bahwa daging telah melewati pemotongan di Rumah Potong Hewan. Dan proses pemotongan sapi di Rumah Potong Hewan dilakukan oleh petugas yang terampil, menggunakan semi modern, sehingga mampu memotong puluhan ternak saat waktu pemotongan. Walaupun begitu, petugas tetap memegang kendali penuh atas proses pemotonganya. Dari Rumah Potong Hewan yang dikunjungi, bisa diketahui bagaimana standar pelaksanaan pemotongan yang baik, untuk kemanan pangan from stable to table.
Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu ke- waktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambanan jumlah penduduk, penda-patan, kesadarangizi, dan perbaikan tingkat pendidikan. Sementara itu pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi meningkatnya jumlah permintaan dalam negeri.

Pengembangan peternakan di suatu daerah umumnya harus dipertimbangkan dari berbagai segi seperti karakteristik wilayah berupa iklim, topografi,jenis komoditi, tanah dan kecenderungan penggunaannya serta kondisi masyarakat suatu daerah, ketersediaan modal, pola pengembangan, ketrsediaan pakan, infrastruktu dan kelembagaan. Secara spesifik pelaksanaan pengembangan peternakan dapat melalui berbagai cara yaitu perwilayahan produksi, wilayah sumber bibit, pengembangan system pola, sarana, pemberdayaan peternak dan pengembangan pakan ternak. Pengembangan ternak sapi potong ada tiga prinsip yang harus dipenuhi yakni menjaga keseimbangan supply-demand daging, prinsip pelestarian dan prinsip mengurangi ketergantungan impor. Penyediaan daging sapi bagi kebutuhan masyarakat perlu dikendalikan agar prinsip pelestarian untuk peningkatan populasi dapat dicapai dan ketergantungan semakin dikurangi.

Pola pengembangan ternak sapi potong takyat pada prinsipnya terdapat dua model, yakni pola swadaya dan pola kemitraan. Pola swadaya merupakan pola pengembangan peternakan rakyat yang mengandalkan swadaya dan swadana peternak baik secara individu maupun kelompok. Sedangkan pola kemitraan (PIR-NAK) merupakan kerjasama antara perusahaan inti dengan peternak rakyat sebagai plasma dimana dalam kerjasama atau kemitraan ini, seluruh kegiatan pra-produksi, produksi hingga pasca produksi dilakukan dengan kerjasama antara plasma dan inti. Pertumbuhan ternak potong meliputi pertumbuhan pre natal dan post natal. Pertumbuhan pre natal adalah pertumbuhan yang terjadi atau berlangsung di dalam kandungan induk dan pertumbuhan post natal adalah pertumbuhan yang terjadi atau berlangsung mulai ternak dilahirkan sampai mati. Fase pertumbuhan pada umur pedet, cempe atau genjik berbeda dengan fase pertumbuhan pada ternak muda dan dewasa.



sumber

Analisis Usaha Peternakan

Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur, yaitu bibit, pakan, dan manajemen atau pengolaan. Manajemen mencakup pengelolaan perkawinan, pemberian pakan, perkandangan dan kesehatan ternak. Manajemen juga mencakup penanganan hasil ternak, pemasaran dan pengaturan tenaga kerja (Abidin, 2002).

Metode Suatu usaha pada dasarnya selalu diarahkan untuk mendapatkan keuntungan atau laba. Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dan biaya produksi. Biaya produksi adalah nilai dari semua korbanan ekonomi yang dapat diperkirakan dan dapat diukur untuk menghasilkan suatu produk (Rodjak, 2006).

R/C ratio adalah alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dikatakan layak jika nilai R/C lebih besar dari 1. Semakin tinggi nilai R/C, maka tingkat keuntungan suatu usaha semakin tinggi (Mahyuddin, 2009). Analisis usaha mutlak dilakukan bila seseorang hendak memulai usaha. Analisis usaha dilakukan untuk mengukur atau menghitung apakah usaha tersebut menguntungkan atau merugikan. Analisis usaha memberi gambaran kepada peternak untuk melakukan perencanaan usaha. Dalam analisis usaha diperlukan beberapa asumsi dasar. Asumsi dasar dapat berubah sesuai dengan perkembangan waktu (Supriadi, 2009).

Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994) gambaran mengenai usaha ternak yang memiliki prospek cerah dapat dilihat dari analisis usahanya. Analisis dapat juga memberikan informasi lengkap tentang modal yang diperlukan, penggunaan modal, besar biaya untuk bibit (bakalan), ransum dan kandang, lamanya modal kembali dan tingkat keuntungan yang diperoleh.



sumber

Usaha Ternak Babi

Menurut Bunter dan Bennett (2004) babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging. Babi memiliki sifat-sifat dan kemampuan yang menguntungkan antara laina dalah memiliki laju pertumbuhan yang cukup cepat dan juga memiliki jumlah anak per kelahiran (litter size) yang tinggi. Sehingga, jika dilihat dari kelebihan-kelebihannya tersebut maka babi memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai penghasil daging.

Ternak babi merupakan ternak pemakan butir-butiran dan hijauan, termasuk hewan profolik karena cepat sekali berkembang. Ternak ini secara komersil banyak diusahakan di Sumatera Utara, Jawa Tengah dan beberapa provinsi lainnya. Sangat disayangkan data statistik babi tidak membedakan jenis babi lokal dan babi hybrid. Babi merupakan ternak yang mempunyai daya pertumbuhan dan perkembangan yang relatif pesat, selain itu babi merupakan sumber daging yang sangat efisien sehingga arti ekonominya sebagai ternak potong sangat tinggi. Potensi ternak babi di Sumatera Utara pada tahun 2001 sebanyak 847.375 ekor, dilihat sementara populasi yang terdapat di propinsi tersebut maka masih terbuka peluang investasi untuk budidaya ternak babi di propinsi itu sebanyak 40.000 ekor. Oleh karena itu banyak penduduk Sumatera Utara yang beternak babi baik secara intensif maupun semi intensif sebagai usaha dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Yusdja dan Ilham, 2006).

Babi merupakan ternak omnivora monogastrik yaitu ternak pemakan semua pakan dan mempunyai satu perut besar yang sederhana (Sihombing, 2006). Ternak babi merupakan salah satu dari sekian jenis ternak yang mempunyai potensi sebagai suatu sumber protein hewani dengan sifat-sifat yang dimiliki yaitu prolifik (memiliki banyak anak setiap kelahiran), efisien dalam mengkonversi bahan makanan menjadi daging dan mempunyai daging dengan persentase karkas yang tinggi (Siagian, 1999). Bangsa ternak babi yang sudah dikenal dan banyak dikembangkan, yaitu Yorkshire, Landrace, Duroc, Hampshire, dan Berkshire. Bangsa ternak babi adalah sumber genetik yang tersedia bagi peternak. Hampir semua ternak babi yang dikembangkan sekarang ini merupakan bangsa babi hasil persilangan (Siagian, 1999). Usaha peternakan babi akan dapat mendatangkan keuntungan ekonomi apabila dikembangkan dengan serius. Menurut Sihombing (2006), dua syarat yang harus dipenuhi dalam memulai usaha ternak babi, adalah pengadaan makanan yang cukup dan tempat pemasaran yang dekat. Varietas babi yang diketahui sebanyak 312 tetapi hanya 87 yang resmi diakui sebagai bangsa babi (recognized breeds) dan yang 255 lagi belum dianggap sebagai yang resmi. Tiap varietas maupun bangsa babi ini memiliki ciri-ciri khas dan beberapa diantaranya masih menempati geografis tertentu (Sihombing, 1997).

Pemeliharaan ternak babi memerlukan biaya yang cukup besar terutama dalam hal pemberian makanan. Biaya ongkos makan menduduki tempat tertinggi dari ongkos produksi total yang kadang-kadang mencapai 80%. Hal ini disebabkan oleh babi tumbuh begitu cepat sehingga keperluan akan makanan sangat tinggi. Misalnya saja untuk kategori anak baru lahir sampai dipasarkan, pada waktu babi lahir beratnya 1,4 kg (berat lahir 1,0-1,5 kg) dan mencapai 163 kg setelah 18 bulan (Williamson dan Payne, 1993).

Ternak babi merupakan salah satu sumber daging dan untuk pemenuhan yang sangat efisien diantara ternak-ternak yang lain, sehingga arti ekonomi sebagai ternak potong cukup tinggi: Babi memiliki konversi pakan yang cukup tinggi. Ternak babi sangat peridi (profilik), satu kali beranak dapat melahirkan 6-12 ekor, dan satu ekor babi dapat beranak dua kali dalam setahun. Presentase karkas cukup tinggi, dapat mencapai 65-80%, sedangkan domba dan kambing 45-50% dan kerbau 38%. Kandungan lemak babi cukup tinggi, dengan demikian kadar energinya juga lebih tinggi. Ternak babi sangat efisien dalam megubah sisa pakan serta hasil ikutan pertanian, pabrik dan lainnya. Ternak babi mudah beradaptasi terhadapsistem pemakaian alat-alat perlengkapan kandang (Sihombing, 2006).
Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa bobot potong yang paling disukai oleh para pengusaha saat ini telah berubah dari bobot potong optimal sebelumnya sebesar 90-100 kg menjadi 100-115 kg. Alasan utama perubahan ini adalah karena menyangkut efisiensi dan kecenderungan produk-produk olahan daging yang menggunakan karkas yang lebih berat.

Pada umumnya tenaga kerja pada industri kecil mempunyai kelemahan pada pengetahuan dan ketrampilan yang rendah, sehingga mengalami kesulitan dalam menciptakan motif dan hiasan baru dalam menghasilkan produk, dan hanya mengandalkan pengalaman kerja sehingga dapat menghambat perkembangan industri kecil (Depdikbud, 1992). Peningkatan besar usaha atau jumlah ternak yang dipelihara, umumnya para peternak diperhadapkan dengan berbagai kendala. Hal ini terutama terbatasnya modal untuk biaya produksi disamping pemasaran produk ternak serta penguasaan keterampilan beternak yang profesional (Rahardi et al., 1999).

Modal merupakan bentuk kekayaan baik berupa uang ataupun barang yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses produksi. Penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Keuntungan, adalah selisih penerimaan dan semua biaya (Soekartawi, 2006).

Laju perkembangan dan sukses atau gagalnya usaha peternakan babi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat dinamis. Hasil pengamatan ditentukan aspek penentu, yaitu tipe dan pola usaha yang meliputi, skala usaha, kondisi dan kemampuan sumber daya produksi, tipe, ukuran, dan kondisi perkembangan serta fasilitasnya, keadaan pasar dan transportasi, besar modal, kecepatan perputaran modal, dan tingkat pembeliannya, stabilisasi permintaan, selera dan preferensi masyarakat akan tipe produk yang dihasilkan dan kondisi ekonomi, macam dan jumlah makanan yang tersedia, efisiensi ternak dalam mengubah makanan menjadi produk daging (Aritonang, 1997).



sumber

Pengelolaan Usaha Peternakan

Pengelolaan usaha tani pada hakikatnya akan dipengaruhi oleh perilaku petani yang mengusahakan. Perilaku tersebut tergantung dari banyak faktor diantaranya: watak, suku dan kebangsaan dari petani itu sendiri, tingkat kebudayaan bangsa dan masyarakatnya, dan juga dari kebijaksanaan pemerintah (Tohir, 1991).

Ternak sebagai komoditas, sekelompok ternak yang dihasilkan dari turunan ternak sumberdaya melalui suatu perkawinan tertentu atau kelompok ternak yang telah terpilih melalui satu jalur perkawinan tertentu atau seleksi genetis tertentu berdasarkan ciri-ciri karakteristk yang diunggulkan. Ternak komoditas berfungsi menghasilkan bakalan unggul. Contoh kelompok ini adalah ayam ras GPS (Grand Parent Stock). Ternak sebagai penghasil produk adalah kelompok ternak yang berfungsi menghasilkan daging, susu, telur secara efisien. Contoh kelompok ini adalah sapi bakalan impor, ayam ras pedaging, ayam petelur dan lain-lain (Yusdja dan Ilham, 2006).

Usaha tani adalah kegiatan usaha manusia untuk mengusahakan tanahnya dengan maksud untuk memperoleh hasil tanaman atau hewan tanpa mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah yang bersangkutan untuk memperoleh hasil selanjutnya (Adiwilaga, 1982). Usahatani adalah kegiatan mengorganisasikan atau mengelola aset dan cara dalam pertanian. Usahatani juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang mengorganisasi sarana produksi pertanian dan teknologi dalam suatu usaha yang menyangkut bidang pertanian (Moehar, 2001).

Tujuan utama dari usaha ternak adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, baik berupa uang maupun berwujud hasil. Usaha ternak bisa digolongkan menjadi dua: Hasil Pokok, yaitu dapat berupa makanan seperti : daging, susu, dan telur. Berupa tenaga kerja seperti tenaga kerbau dalam membajak. Hasil Ikutan (by product), pada umumnya, dari usaha ternak, kecuali memberikan hasil utama, juga memberikan hasil sampingnya yang bisa dimanfaatkan antara lain: Pupuk, dari hewan ternak menyusui dan unggas dapat diperoleh kotorannya yang sangat besar manfaatnya bagi usaha pertanian. Kulit untuk sepatu, tas, alat musik dan wayang. Tangkai tanduk digunakan untuk tangkai kipas, tangkai wayang, sisir, kancing baju dan masih banyak lagi. Tulang, dapat digunakan sebagai tepung tulang yang digunakan sebagai pakan ayam dan babi (Sihombing, 2006).

Faktor-faktor produksi dalam usahatani terdiri atas empat unsur pokok, yaitu tanah, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan. Keempat faktor produksi tersebut dalam usahatani mempunyai kedudukan yang sama pentingnya (Hernanto, 1988).

Menurut Saragih (2000), berdasarkan corak usaha tani, kegiatan usaha ternak di Indonesia, telah berkembang 4 tipologi usaha, yaitu : Usaha tani ternak sebagai usaha sambilan, yaitu petani ternak mengusahakan berbagai macam komoditi terutama tanaman pangan, dimana ternak sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri dengan tingkat pendapatan dari usaha tani ternak kurang dari 30%. Usaha tani ternak sebagai cabang usaha, yaitu petani ternak mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usaha tani dengan tingkat pendapatan dan budidaya ternak 30-70% (semi komersial). Usaha tani ternak sebagai usaha pokok, yaitu petani ternak mengusahakan ternak sebagai usaha sambilan (single commodity) dengan tingkat pendapatan dari ternak sekitar 70-100%. Usaha tani ternak sebagai usaha industri, yaitu peternak mengusahakan ternak sebagai industri komoditas ternak secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan 100% dari usaha ternak pilihan.

Aritonang (1993) berpendapat bahwa corak usahatani yang sub-sistem umumnya menerapkan pola pe-nanganan ternak yang bersifat tradisional (penerapan teknologi yang rendah) dengan skala usaha yang kecil. Semakin besar skala usaha, tujuan ekonomi semakin menonjol sehing-ga prinsip ekonomi intensif diperhatikan.


sumber

Ayam Petelur

Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari produksi yang banyak dalam seleksi tadi mulai spesifik. Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul.

Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab dengan pola kehidupan masyarakat dipedesaan. Memasuki periode 1940-an, orang mulai mengenal ayam lain selain ayam liar itu. Dari sini, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia. Ayam liar ini kemudian dinamakan ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung karena keberadaan ayam itu memang di pedesaan. Sementara ayam orang Belanda disebut dengan ayam luar negeri yang kemudian lebih akrab dengan sebutan ayam negeri (kala itu masih merupakan ayam negeri galur murni). Ayam semacam ini masih bisa dijumpai di tahun 1950-an yang dipelihara oleh beberapa orang penggemar ayam. Hingga akhir periode 1980-an, orang Indonesia tidak banyak mengenal klasifikasi ayam. Ketika itu, sifat ayam dianggap seperti ayam kampung saja, bila telurnya enak dimakan maka dagingnya juga enak dimakan. Namun, pendapat itu ternyata tidak benar, ayam negeri/ayam ras ini ternyata bertelur banyak tetapi tidak enak dagingnya.

Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini adalah ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa produktifnya. Antipati orang terhadap daging ayam ras cukup lama hingga menjelang akhir periode 1990-an. Ketika itu mulai merebak peternakan ayam broiler yang memang khusus untuk daging, sementara ayam petelur dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula. Disinilah masyarakat mulai sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai petelur handal dan pedaging yang enak. Mulai terjadi pula persaingan tajam antara telur dan daging ayam ras dengan telur dan daging ayam kampung. Sementara itu telur ayam ras cokelat mulai diatas angin, sedangkan telur ayam kampung mulai terpuruk pada penggunaan resep makanan tradisional saja. Persaingan inilah menandakan maraknya peternakan ayam petelur.

Ayam kampung memang bertelur dan dagingnya memang bertelur dan dagingnya dapat dimakan, tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai ayam dwiguna secara komersial-unggul. Penyebabnya, dasar genetis antara ayam kampung dan ayam ras petelur dwiguna ini memang berbeda jauh. Ayam kampung dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa baiknya. Sehingga ayam kampung dapat mengantisipasi perubahan iklim dengan baik dibandingkan ayam ras. Hanya kemampuan genetisnya yang membedakan produksi kedua ayam ini. Walaupun ayam ras itu juga berasal dari ayam liar di Asia dan Afrika.

Pemeliharaan Ayam Broiler

Agar mampu terus bertahan di bidang usaha ternak ayam broiler, kita harus tahu faktor-faktor apa saja yang merupakan penentu keberhasilan usaha ternak tersebut. Fakta membuktikan dari tahun ke tahun kebutuhan masyarakat terhadap daging broiler terus meningkat. Seiring dengan meningkatnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi daging broiler, terjadi juga peningkatan terhadap usaha peternakan ayam broiler. Tetapi sangat disayangkan animo peternak terhadap komoditi yang satu ini tidak disertai kestabilan keuntungan yang dapat diraih oleh peternak, sehingga seringkali kita dengar banyak peternak yang gulung tikar.

Menurut Wirama Yuda (1996), ada banyak hal yang perlu diperhatikan oleh peternak atau calon peternak, agar usahanya dapat berkesinambungan, diantaranya adalah (Anonim, 2000) :

· Kandang
Sebelum memulai usaha ternak broiler, kita harus mempunyai kandang yang memenuhi syarat-syarat teknis dan kesehatan ternak, antara lain : tidak bocor waktu hujan, ventilasi cukup dan sinar matahari tidak dapat masuk secara langsung ke dalam kandang. Jarak antar kandang tidak terlalu rapat, dengan jarak minimal antar kandang selebar satu kandang. Saluran-saluran air atau pembuangan di sekitar kandang harus lancar. Lantai kandang harus miring ke satu atau dua arah untuk mempercepat proses pembersihan dan mencegah menggenangnya air di dalam kandang. Bahan-bahan dan konstruksi kandang harus kuat dan tahan lama sehingga tidak cepat rusak ataupun membahayakan pekerja (Priatno, 2004).

· Peralatan kandang
Peralatan kandang yang vital seperti tempat pakan (feeder), tempat minuman (drinker), pemanas, seng pelindung anak ayam (chick guard), layar/tirai penutup kandang dan alat semprot desinfektan (sprayer) harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Sebab jika peralatan tersebut kurang dari kebutuhan berdasarkan jumlah ayam yang dipelihara, dapat menimbulkan problem- problem (Priatno, 2004) :

1. Berat badan standar akan sulit tercapai. Jumlah ayam yang kerdil akan tinggi.
2. Problem penyakit yang timbul akan lebih sering dan sulit untuk diatasi.
3. Angka kematian tinggi serta kualitas rata-rata ayam ecara keseluruhan akan jelek.

· Anak Ayam DOC
Anak ayam umur sehari (DOC) yang baik mempunyai ciri-ciri : bulu kering dan bersih, berat tidak dibawah standar (minimal ± 39 gr/ekor), lincah, tidak mempunyai cacat tubuh dan tidak menunjukkan adanya penyakit-penyakit tertentu seperti ompalitis, ngorok ataupun pullorum yang dapat dilihat dari adanya kotoran berwarna putih (Anonim, 2000).

· Pakan
Pakan yang baik adalah yang cukup mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh ayam (protein, lemak, abu, serat kasar, energi, vitamin dan asam-asam amino).Hal ini dapat dilihat dari standar kebutuhan zat-zat makanan pada masing-masing eriode pemeliharaan yang dapat dipenuhi oleh pakan tersebut. Yang juga tidak kalah penting tapi sering terlupakan adalah pakan tersebut harus tidak menyebabkan diare, sebab diare dapat menyebabkan litter menjadi basah sehingga konsentrasi amoniak di dalam kandang meningkat. Pada akhirnya dapat menimbulkan penyakit dan problem berat badan (Anonim, 2002).

· Obat-obatan
Meliputi antibiotika, vaksin dan vitamin yang dibutuhkan untuk membantu mempertahankan kesehatan ayam, ataupun mengobati ayam bila terserang penyakit.

Pemilihan dan pemakaian obat-obatan yang digunakan harus tepat sesuai dengan kasus yang dihadapi. Oleh sebab itu, diagnosa penyakit tidak boleh salah untuk keefektifan terapi pengobatan yang dijalankan. Yang wajib untuk dipahami peternak, adalah obat-obatan ini hanya sebagai pendukung, bukan faktor utama yang menyebabkan ayam menjadi sehat. Sebab, faktor utama untuk menghasilkan ayam yang sehat adalah sanitasi dan tata laksana pemeliharaan yang benar. Obat-obatan yang bagus dan mahal tidak akan bermanfaat banyak bila sanitasi dan manajemen pemeliharannya buruk. Malah dapat menimbulkan kerugian, karena problem penyakit akan sering muncul dan sulit untuk diatasi, yang pada akhirnya biaya produksi menjadi tinggi (Anonim, 2011).

· Manajemen pemeliharaan
Faktor-faktor di atas dapat berfungsi dengan baik bila manajemen atau tatalaksana pemeliharaan yang dijalankan benar. Manajemen yang baik akan meningkatkan efisiensi faktor-faktor produksi, sehingga memperkecil beban pengeluaran, yang pada akhirnya dapat memperbesar keuntungan yang diperoleh (Cahyono, 1995).

· Pemasaran
Akhir dari masa pemeliharaan ayam broiler akan bermuara pada pemasaran, sehingga tahap pemasaran ini tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan suatu usaha. Akan sia-sia kerja yang baik apabila penanganan pemasaran broilernya dilakukan kurang rapi dan terencana karena dapat mengurangi perolehan peternak. Pemasaran yang baik adalah yang tepat waktu, memakan waktu yang sesingkat-singkatnya dan dengan harga jual yang relatif tinggi. Akan tetapi harga jual di sini tentu saja mengikuti pasaran yang berlaku. Oleh sebab itu, faktor ketepatan waktu dan lamanya proses pengangkatan ayam dari kandang sangat penting diperhatikan. Pemasaran yang terlambat, walau hanya satu-dua hari, akan memperbesar biaya produksi terutama untuk pakan. Sedang proses pengangkutan ayam dari kandang yang berlarut-larut akan menimbulkan stres pada ayam sehingga akhirnya akan meningkatkan angka kematian, yang tentu saja menjadi beban peternak.Ayam Pedaging (Broiler) adalah ayam ras yang mampu tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu relatif singkat (5-7 minggu). peranannya yang penting sebagai sumber protein hewani. Pemberian Vitamin Organik untuk Budidaya Ternak Ayam berupaya membantu peningkatan produktivitas, kuantitas, kualitas dan efisiensi usaha peternakan ayam broiler secara alami (non Kimia) (fadilla, 2007).

Ayam Broiler

Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Ayam broiler adalah ayam tipe pedaging yang telah dikembangbiakan secara khusus untuk pemasaran secara dini. Ayam pedaging ini biasanya dijual dengan bobot rata-rata 1,4 kg tergantung pada efisiensinya perusahaan. Menurut Rasyaf (1992) ayam pedaging adalah ayam jantan dan ayam betina muda yang berumur dibawah 6 minggu ketika dijual dengan bobot badan tertentu, mempunyai pertumbuhan yang cepat, serta dada yang lebar dengan timbunan daging yang banyak. Ayam broiler merupakan jenis ayam jantan atau betina yang berumur 6 sampai 8 minggu yang dipelihara secara intensif untuk mendapatkan produksi daging yang optimal. Ayam broiler dipasarkan pada umur 6 sampai 7 minggu untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan permintaan daging. Ayam broiler terutama unggas yang pertumbuhannya cepat pada fase hidup awal, setelah itu pertumbuhan menurun dan akhirnya berhenti akibat pertumbuhan jaringan yang membentuk tubuh. Ayam broiler mempunyai kelebihan dalam pertumbuhan dibandingkan dengan jenis ayam piaraan dalam klasifikasinya, karena ayam broiler mempunyai kecepatan yang sangat tinggi dalam pertumbuhannya. Hanya dalam tujuh atau delapan minggu saja, ayam tersebut sudah dapat dikonsumsi dan dipasarkan padahal ayam jenis lainnya masih sangat kecil, bahkan apabila ayam broiler dikelola secara intensif sudah dapat diproduksi hasilnya pada umur enam minggu dengan berat badan mencapai 2 kilogram per ekor (Fadillah, 2007).

Untuk mendapatkan bobot badan yang sesuai dengan yang dikehendaki pada waktu yang tepat, maka perlu diperhatikan pakan yang tepat. Kandungan energi pakan yang tepat dengan kebutuhan ayam dapat mempengaruhi konsumsi pakannya, dan ayam jantan memerlukan energy yang lebih banyak daripada betina, sehingga ayam jantan mengkonsumsi pakan lebih banyak. Hal-hal yang terus diperhatikan dalam pemeliharaan ayam broiler antara lain perkandangan, pemilihan bibit, manajemen pakan, sanitasi dan kesehatan, recording dan pemasaran. Banyak kendala yang akan muncul apabila kebutuhan ayam tidak terpenuhi, antara lain penyakit yang dapat menimbulkan kematian, dan bila ayam dipanen lebih dari 8 minggu akan menimbulkan kerugian karena pemberian pakan sudah tidak efisien dibandingkan kenaikkan/penambahan berat badan, sehingga akan menambah biaya produksi. Ada tiga tipe fase pemeliharaan ayam broiler yaitu fase starter umur 0 sampai 3 minggu, fase grower 3 sampai 6 minggu dan fase finisher 6 minggu hingga dipasarkan (Cahyono, 1995).

Ayam broiler atau pedaging memiliki beberapa cirri, yaitu diantaranya (Anonim, 2002) :
  • Bobot relatif besar
  • Membutuhkan asupan makanan yang tinggi
  • Pertumbuhan sangat cepat
  • Mengandung banyak lemak pada tubuhnya
Ayam broiler sebagai jenis ayam pedaging yang paling populer dan paling banyak diternakkan mempunyai ciri senang makan atau tingkat konsumsi ransumnya sangat tinggi. Bila ransum (makanan) diberikan tidak terbatas atau ad libitum, maka ayam akan terus menerus makan hingga merasa kenyang. Karenanya, untuk mengurangi beban produksi pengadaan pakan dan sekaligus untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan yang baik pada ayam broiler yang diternakkan, maka peternak hanya akan memberikan ransum pada batas tertentu sesuai umur dan arah pembentukan bibit yang kemudian disebut dengan konsumsi standar atau baku.

Dengan cara ini pula, tingkat konversi ransum pada ayam yang umurnya sama dari waktu ke waktu akan terus diperbaiki sesuai harapan peternak, yaitu tingkat pertumbuhan yang relatif cepat dengan jumlah porsi makanan yang kurang lebih sama atau malah lebih sedikit (Andri, 1994).

Intinya, peternak akan menginginkan agar ayam broiler (pedaging) yang dipeliharanya akan lebih cepat dipanen dengan menghabiskan pakan seminimal mungkin. Ayam broiler sebenarnya akan tumbuh baik dan optimal bila diternakkan pada temperatur lingkungan 19-21°C. Namun, karena rata-rata suhu di Indonesia terbilang tinggi, maka ayam broiler terlalu banyak minum tapi nafsu makanya berkurang, di mana hal tersebut tidak baik bagi ayam. Maka dari itu, tidak mengherankan bila sebagaian peternak lebih senang membuka peternakan di daerah dataran cukup tinggi dengan suhu yang sejuk dan tidak terlalu panas.

Bila dipelihara dengan baik dan mendapatkan ransum yang berkualitas, maka ayam broiler usia di atas 6 minggu bisa menghasilkan persentase karkas (hasil potongan daging utuh tanpa mengambil darah, bulu, kepala, cakar, maupun isi perut dan rongga dada) yang sangat tinggi, yakni antara 65-75%. Selain faktor pemeliharaan, tingkat kecepatan pertumbuhannya, dan persentase karkas tersebut sangat bergantung pada faktor keturunan. Karena itulah, para peternak ayam broiler akan selalu berusaha untuk mengambil bibit ayam broiler dari bangsa (strain) yang unggul.ntoh ayam pedaging adalah starbro, plymouth rock, cornish, Sussex (Fadillah, 2007).

Ayam Broiler di Indonesia

Tidak semua orang memahami asal-muasal atau seluk-beluk perkembangan ayam broiler, meskipun hampir setiap harinya orang mendengar atau bahkan bisa jadi mengkonsumsi daging dan telur ayam broiler. Bagi mereka ketidakpahaman tersebut memang tidak perlu dipersoalkan, tetapi bagi peternak atau calon peternak pengetahuan tentang asal-muasal atau seluk-beluk perkembangan ayam broiler dari waktu ke waktu penting dimiliki. Hal itu penting karena pemahaman yang baik tentang karakteristik atau sifat-sifat ayam broiler dapat membantu dalam melancarkan usahanya dalam beternak ayam broiler, baik untuk tipe ayam pedaging maupun petelur. Terlebih lagi, pemahaman mengenai jenis-jenis ayam broiler yang unggul perlu diketahui oleh setiap peternak agar dalam usaha ternaknya dapat mendatangkan keuntungan.

Berkaitan dengan hal itu saat ini dikenal adanya istilah ayam broiler komersial karena usaha peternakan hewan unggas ini tidak terlepas dari orientasi atau tujuan mendatangkan keuntungan. Dengan pernyataan lain, usaha peternakan ayam broiler tidak hanya diperuntukkan bagi konsumsi sendiri melainkan untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan sehingga diperoleh suatu keuntungan finansial (keuangan).

Usaha peternakan ayam broiler komersial dewasa ini tumbuh subur dibeberapa negara, termasuk di Indonesia. Usaha peternakan ayam broiler komersial dilakukan menggunakanstrains atau bibit ayam broiler unggulan. Strains ayam broiler unggulan diperoleh dari usaha penyilangan ayam unggulan. Semula strains ayam broiler unggulan diperoleh dengan melakukan penetasan alami atau menitipkan pada induk ayam. Pada perkembangan waktu-waktu selanjutnya yakni pada tahun 1844, di amerika didirikan pabrik penetasan (hatcheri) telur ayam untuk pertama kali. Saat ini telah dikenal berbagai jenis strains ayam broiler unggul yang dikembangkan di berbagai negara. Contohnya, di Italia dikenal terdapat strains ayam Leghorn paling diunggulkan dan banyak dikembangkan sebagai hewan unggas yang diternakkan secara komersial (Anonim, 2011).

Di Amerika Serikat terdapat beberapa jenis atau strains ayam unggulan sepertiRhode Island Red, Cobb, Arbor Arcres, dan Avian yang sekarang ini diunggulkan dan banyak diternakkan secara komersial. Di Australia saat ini terdapat strains Australorp sebagai primadona hewan unggas untuk diternakkan secara komersial. Di Prancis mempunyai strains ayam unggulan yang dinamakan Isa Veddete dan Shaper. Di Belanda dikenal strains ayam Hybro dan Hubbart sebagai strains ayam yang diunggulkan untuk diternakkan secara komersial, dan masih banyak lagi yang lain (Khaeruddin, 2009).

Perkembangan dan penyebaran ayam broiler komersial ke seluruh dunia amat disokong oleh diberlakukannya sistem pasar bebas di era globalisasi. Para ahli genetika secara terus-menerus dilakukan penelitian, persilangan, dan seleksi yang ketat sehingga pada akhirnya dihasilkan varietas ayam broiler unggulan yang khusus menghasilka salah satu produk komersial yaitu daging atau telur. Trend beternak ayam broiler komersial waktu-waktu selanjutnya dilakukan lebih khusus, misalnya beternak ayam broiler komersial penghasil daging atau telur saja, tidak kedua-duanya. Dengan begitu hasilnya dapat maksimal. Dewasa ini telah dihasilkan tidak kurang dari tiga ratus bibit ayam broiler murni dan varietas ayam terseleksi dari potensi genetikanya. Jenis atau varietas ayam broiler unggulan tersebut telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Beberapa potensi genetik pada ayam broiler (Khaeruddin, 2009)

unggulan yang telah ditingkatkan tersebut meliputi ukuran tubuh ayam broiler unggulan lebih besar, ayam memiliki proporsi daging karkas yang tinggi, ayam memiliki kerangka tulang yang lebih kuat, pertumbuhan badan ayam terhitung lebih cepat, ayam mempunyai warna kulit putih atau kuning yang bersih, lebih tahan terhadap penyakit, dan yang lebih penting sebagai ayam broiler komersial memiliki konversi pakan yang baik sehingga lebih mendatangkan keuntungan besar bagi setiap peternak.

Perkembangan ayam broiler di Indonesia dapat dimulai abad ke- 19. Pada saat itu benua Eropa dan ebnua Amerika sangat familiar dengan ayam Sumatra. Kondisi tersebut mendorong para pakar perunggasan kedua benua tersebut untuk melakukan penelitian terhadap ayam Sumatra. Pada abad ke-20 para pakar kedua benua itu menugaskan salah seorang pakar perunggasan yang terkenal pada waktu itu bernama J.F. Mohede mengadakan penelitian tentang ayam Sumatra. Beberapa jenis ayam Sumatra memang terkenal di masa lalu karena berbagai kelebihannya. Selain meneliti ayam Sumatra, pakar dari negara asing itu juga meneliti ayam Kedu. Bahkan tidak hanya J.F. Mohede yang mengadakan penelitian terhadap ayam Kedu, tetapi juga disertai ahli yang lain yakni J. Menkens. Penelitian kedua orang pakar perunggasan tersebut dilakukan pada tahun 1937. Saat itu ayam Kedu terkenal mempunyai kelebihan-kelebihan atau keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan ayam yang lain, di antaranya tahan terhadap berbagai jenis penyakit, tingkat pertumbuhan tinggi, produksi telur tinggi, cita rasa daging yang enak, dan pemeliharaan yang mudah. Tidak heran jika ayam Kedu merupakan salah satu nenek moyang dari ayam ras yang terbentuk di Amerika dan Inggris seperti ayam Sussex,ayam Cornish, ayam Orpington, ayam Australorp, dan ayam Dorking (Khaeruddin, 2009).

Perkembangan populasi ayam komersial di Indonesia tercatat dimulai pada pertengahan dasawarsa 1970-an. Perkembangan itu mencapai puncaknya pada awal 1980-an. Faktor-faktor yang menentukan perkembangan populasi ayam broiler komersial di berbagai daerah di Indonesia antara lain sejalan dengan pertumbuhan populasi penduduk, pergeseran gaya hidup, tingkat pendapatan, perkembangan situasi ekonomi dan politik, serta kondisi keamanan suatu wilayah atau daerah di Indonesia. Daerah perkembangan ayam broiler saat itu belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Daerah pusat penyebaran ayam broiler di wilayah Indonesia. Daerah pusat penyebaran ayam broiler di wilayah Indonesia bagian barat meliputi wilayah Pulau Jawa dan sebagian Sumatra (Anonim, 2011)