Vulgar dalam Masyarakat Jawa


Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang heterogen. Selain dikenal adanya tingkatan sosial (priyayi dan wong cilik), masyarakat Jawa juga dapat dibedakan ke dalam golongan orang kota (wong negara) dan orang desa (wong désa, manca negara), orang kaya (wong sugih) dan orang miskin (wong mlarat, kêsrakat), serta orang terpelajar (wong pintêr) dan orang kurang terpelajar (wong bodho). Orang-orang kaya biasanya juga tergolong orang yang terpelajar karena mereka selalu menyekolahkan anak-anaknya, sebaliknya orang miskin biasanya juga tergolong orang yang kurang terpelajar karena mereka tidak mampu bersekolah. 

Vulgar dalam bahasa Jawa banyak dipergunakan oleh masyarakat yang kurang terpelajar, dengan demikian juga yang miskin. Vulgar bagi golongan priyayi Jawa dinilai sebagai bahasa yang tidak sopan. Sopan santun (tata krama) Jawa agaknya memang identik dengan golongan priyayi. Golongan priyayi dalam segala tindakannya harus selalu menjaga sopan santun, termasuk santun berbahasa. Hal itu disebabkan karena para priyayi adalah golongan yang dekat dengan raja dan keraton yang dikenal sebagai pusat budaya Jawa. Dalam segala hal para priyayi harus bersikap halus. Sebaliknya golongan wong cilik, apalagi yang kurang terpelajar, dan tinggal di desa cenderung kurang menguasai tata krama, sehingga segala tindakannya kasar, termasuk di dalam berbahasa. Oleh karena orang-orang yang kurang terpelajar itu kurang mengenal tata krama maka ia tidak merasa janggal atas kekasaran dalam berbahasa, mereka telah terbiasa dalam berlaku demikian.

Contoh Vulgar dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:

A : Dhasaré lanangan ngglathak! Mung buruh gêrji waé gêgêdhèn tékat nyunduki prawan! Mbok nyêbut! O uwong ki yèn thukmis!
B : Sum! Aja sêru-sêru, iki ki nèng kampung!
A : Sing gawé ramé dhisik sapa? Yèn wédokanmu ora nganti mêtêng ya ora bakal dadi ramé! Bèn waé! Kabèh bèn dha ngêrti. Mbah…Mbah Sima, Gito ngêtêngi prawan! Lik… Lik Jiah, gilo iki si Gito ngêtêngi bocah!
B : Sum, cangkêmmu bisa mênêng ora ta Sum!
A : Apa kuwi … Karêpé golèk gratisan! Grayangan nèng pêtêngan, mbok diakoni waé nèk ora kuwat nglonthé! Lha, sukur saiki bocahé mêtêng! Rumangsané apa dha ora ngêrti.
B : Cocotmu sida tak suwèk, mêngko!
A : Bèn! Wis sakkarêpmu dhéwé! Tanggungên dhéwé! Ning aku ra sudi mbok maru. Ora sudi! Aku minggat! Sumpêg nèng kéné! Wong lanang ki yèn wis kêbrongot birahiné dadi kaya kéwan kontholé! Gatêl ya gatêl, ning diampêt sêdhéla apa ya ra bêtah. Sêmêlang dadi akik pa piyé! Njur apa gunané bêbojoan, kok ndadak golèk turuk liyané! Béda apa jênêngé, béda apa ambuné, béda apa rupané!

Terjemahan:

A : Dasar laki-laki rakus! Hanya tukang jahit saja bertekad menumpuk gadis! Mbok menyebut! O orang itu kalau hidung belang!
B : Sum! Jangan keras-keras, ini di kampung!
A : Yang lebih dulu membuat ramai siapa? Jika pacarmu tidak sampai hamil ya tak akan jadi ramai! Biar saja! Semua biar tahu. Mbah … Mbah Sima, Gito menghamili gadis! Lik … Lik Jiah, ini lho Gito menghamili gadis!
B : Sum, mulutmu bisa diam tidak to Sum!
A : Apa itu … inginnya mencari gratisan! Meraba-raba di kegelapan, diakui saja jika tidak kuat (membayar) pelacur! Lha, rasakan sekarang anaknya hamil. Dikiranya apa tidak pada tahu ….
B : Mulutmu jadi kusobek nanti!
A : Biar! Sudah sekehendakmu saja! Tanggung saja sendiri! Tapi aku tidak mau dimadu. Tidak mau! Aku pergi! Gerah di sini! Laki-laki itu kalau sudah terbakar birahi jadi seperti hewan kemaluannya! Gatal ya gatal, tapi ditahan sebentar apa ya tidak kuat. Takut jadi akik apa gimana! Lalu apa gunanya berkeluarga, kok masih cari kemaluan yang lain! Beda apa namanya, beda apa baunya, beda apa bentuknya!


Demikianlah, dari kutipan Vulgar di atas tampak bahwa termuat leksikon yang bernuansa kasar. Ditinjau dari tingkat tutur, bahasa kasar tergolong dalam tingkat Ngoko. Bahasa kasar dalam bahasa Jawa memang selalu berbentuk Ngoko yang tercampur kata-kata kasar (Antunsuhono, 1953: 9). Kosakata memang merupakan penentu bentuk bahasa atau tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Jika bahasa itu menggunakan kosakata Ngoko maka ia tergolong tingkat Ngoko. Jika bahasa itu menggunakan kosakata Krama maka masuk tingkat Krama. 

Masyarakat tutur Jawa mengenal adanya kosakata Ngoko, Madya, Krama, dan Krama Inggil. Selain itu juga dikenal kosakata kasar. Beberapa kosakata kasar antara lain adalah sebagai berikut.

Kasar Ngoko Arti
cocot cangkêm ‘mulut’
gêrangan tuwa ‘tua’
goblog bodho ‘bodoh’
mbadhog mangan ‘makan’
micêk turu ‘tidur’
modar mati ‘mati’
picêk wuta ‘buta’
wadhuk wêtêng ‘perut’


Selain itu, kata-kata kasar juga sering dipungut dari kata-kata untuk binatang yang diterapkan untuk manusia, misalnya suthang yang berarti ‘kaki belalang’ digunakan untuk menyebut kaki manusia. Kata nguntal yang berarti ‘makan’ untuk ular digunakan untuk manusia. Dalam hal ini kekasarannya disebabkan oleh penurunan derajat manusia ke tingkat binatang.



Gizi dalam Kesehatan Masyarakat

Terkait erat dengan ”gisi kesehatan masyarakat” adalah ”kesehatan gizi masyarakat,” yang mengacu pada cabang populasi terfokus kesehatan masyarakat yang memantau diet, status gizi dan kesehatan, dan program pangan dan gizi, dan memberikan peran kepemimpinan dalam menerapkan publik kesehatan prinsip-prinsip untuk kegiatan yang mengarah pada promosi kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pengembangan kebijakan dan perubahan lingkungan.

Definisi Gizi kesehatan masyarakat merupakan penyulingan kompetensi untuk gizi kesehatan masyarakat yang disarankan oleh para pemimpin nasional dan internasional dilapangan.

Gizi istilah dalam kesehatan masyarakat mengacu pada gizi sebagai komponen dari cabang kesehatan masyarakat , ”gizi dan kesehatan masyarakat” berkonotasi koeksistensi gizi dan kesehatan masyarakat, dan gizi masyarakat mengacu pada cabang kesehatan masyarakat yang berfokus pada promosi kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat dengan menyediakan layanan berkualitas dan program-program berbasis masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan yang unik dari komunitas yang berbeda dan populasi. Gizi masyarakat meliputi program promosi kesehatan, inisiatif kebijakan dan legislatif, pencegahan primer dan sekunder, dan kesehatan di seluruh rentang hidup.




sumber

Makna Sosial

Manusia adalah makhluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, menafsirkan makna-makna obyek-obyek di alam kesadarannya dan memutuskannya bagaimana ia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu. Bahkan seseorang melakukan sesuatu karena peran sosialnya atau karena kelas sosialnya atau karena sejarah hidupnya. Tingkah laku manusia memiliki aspek-aspek pokok penting sebagai berikut :

(1) Manusia selalu bertindak sesuai dengan makna barang-barang (semua yang ditemui dan dialami, semua unsur kehidupan di dunia ini);

(2) Makna dari suatu barang itu selalu timbul dari hasil interaksi di antara orang seorang;

(3) Manusia selalu menafsirkan makna barang-barang tersebut sebelum ia biasa bertindak sesuai dengan makna barang-barang tersebut.

Atas dasar aspek-aspek pokok tersebut di atas, interaksi manusia bukan hasil sebab-sebab dari luar. Hubungan interaksi manusia memberikan bentuk pada tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul saling mempengaruhi. Mempertimbangkan tindakan orang lain perlu sekali, bila mau membentuk tindakan sendiri(Schlegel,1977: 5).

Blumer dalam premisnya menyebutkan bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain dan disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung (Poloma, 1992 : 261). Makna dari sesuatu berasal cara-cara orang atau aktor bertindak terhadap sesuatu dengan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan situasi di mana dia ditempatkan dan arah tindakannya.



sumber