Pandangan Islam Terhadap Kemiskinan |
Dapat kita lihat saat ini dari harga kebutuhan-kebutuhan pokok sehari-hari, seperti minyak goreng, minyak tanah, kedelai, terigu, telor, dan lain-lainnya melangkah naik dengan santai. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tersebut membuat masyarakat sulit untuk menjangkaunya dari hari ke hari.
Pemerintah dan semua lapisan masyarakat tentu tidak menghendaki kemiskinan dalam hidupnya. Oleh karena itu pemerintah pun telah berusaha meminimalisir angka kemiskinan dan masyarakat pun tengah bersusah payah keluar dari bayang-bayang kemiskinan. Lantas, apa yang salah dengan negara kita yang rakyatnya terus miskin? Harus kita akui bahwa kemiskinan muncul bukan lantaran persoalan ekonomi saja, tapi karena persoalan semua bidang: struktural (baca: birokrasi), politik, sosial, dan kultural, dan bahkan pemahaman agama.
Kita pun tahu dampak dari adanya kemiskinan ini, seperti kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, perampokan, patologi, dan lain sebagainya, di mana semua itu semakin hari semakin meningkat saja intensitasnya di sekitar kita. Tak mudah seperti membalikkan telapak tangan untuk mengatasi kemiskinan. Diperlukan semua segi, di antaranya ekonomi, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, teknologi, dan tentu saja, ketenagakerjaan. Selain itu ada segi lain yang tak boleh kita lupakan juga dalam mengatasi masalah ini, yaitu agama. Islam memberikan pesan-pesannya melalui dua pedoman, yaitu Alquran dan Hadits. Melalui keduanya kita dapat mengetahui bagaimana agama (Islam) memandang kemiskinan.
Alquran menggambarkan kemiskinan dengan 10 kosakata yang berbeda, yaitu al-maskanat (kemiskinan), al-faqr (kefakiran), al-’ailat (mengalami kekurangan), al-ba’sa (kesulitan hidup), al-imlaq (kekurangan harta), al-sail (peminta), al-mahrum (tidak berdaya), al-qani (kekurangan dan diam), al-mu’tarr (yang perlu dibantu) dan al-dha’if (lemah). Kesepuluh kosakata di atas menyandarkan pada satu arti/makna yaitu kemiskinan dan penanggulangannya. Islam menyadari bahwa dalam kehidupan masyarakat akan selalu ada orang kaya dan orang miskin (QS An-Nisa/4: 135). Sungguh, hal itu memang sejalan dengan sunatullah (baca: hukum alam) sendiri. Hukum kaya dan miskin sesungguhnya adalah hukum universal yang berlaku bagi semua manusia, apa pun keyakinannya. Karena itu tak ubahnya seperti kondisi sakit, sehat, marah, sabar, pun sama dengan masalah spirit, semangat hidup, disiplin, etos kerja, rendah dan mentalitas.
Kemiskinan, menurut Islam, disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya karena keterbatasan untuk berusaha (Q.S. Al-Baqarah/2: 273), penindasan (QS Al-Hasyr/59: 8), cobaan Tuhan (QS Al-An’am/6: 42), dan pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan (QS Al-Baqarah/2: 61). Namun, di negara kita sesungguhnya faktor-faktor di atas sudah mulai dibenahi, walaupun ada yang secara sungguh-sungguh maupun setengah-setengah.
Mulai dari program pemerintah dan masyarakat sendiri sama-sama berjuang memerangi kemiskinan. Tapi, harus disadari bahwa perjuangan melawan kemiskinan di negara kita, apa pun caranya, sesungguhnya sama dengan perjuangan seumur hidup. Masih panjang sekali perjalanan untuk mencapai hasilnya. Mengapa demikian? Karena kenyataan di lapangan berbeda dengan hasil data survey penelitian. Di atas kertas angka kemiskinan di negeri ini berhasil diturunkan, namun dalam perkembangan lebih lanjut juga memperlihatkan peningkatan.
Kembali pada persoalan hukum alam di atas tentang keniscayaan adanya orang kaya dan orang miskin, maka sudah sepatutnya orang kaya (termasuk pemerintah) membantu orang miskin. Menurut Islam, dengan adanya bantuan orang kaya tersebut, agar orang miskin tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang dapat merendahkan martabatnya sendiri (QS Al-Baqarah/2: 256). Islam sesungguhnya telah menyadari bahwa terkadang kefakiran (dan kemiskinan) akan menjadikan manusia pada kekufuran.
Post a Comment